Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Wacana untuk mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke kawasan Timur Tengah harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku, kata anggota Komisi I DPR RI, Sukamta.
"Pengiriman TKI ini bukan hanya soal peluang kerja, tetapi yang tidak kalah penting adalah masalah perlindungan, karena tiap bulan terjadi ribuan kasus terhadap TKI," kata Sukamta, Senin, di Jakarta.
Menurut politikus PKS itu, dalam situasi saat ini di mana tenaga kerja asing banyak diakomodasi masuk ke Indonesia, maka pengiriman TKI ke luar negeri dengan jaminan keamanan minimum adalah keputusan yang kurang bijak.
Ia mengingatkan berdasarkan UU No.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran, Pasal 31 sudah menetapkan parameter baku untuk membuka/menutup penempatan TKI ke suatu negara, yaitu memiliki hukum yang melindungi tenaga kerja asing, memiliki perjanjian bilateral tertulis dan memiliki sistem jaminan sosial.
Selama 3 syarat parameter tadi belum terpenuhi, lanjutnya, moratorium pengiriman TKI tetap pilihan bijak. Jika parameter sudah terpenuhi, pengiriman TKI pun harus mempertimbangkan dan mengutamakan SDM yang memiliki keterampilan yang cukup serta kemampuan melindungi diri dengan baik.
Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy di Jakarta, Senin (14/5), mengatakan, TKI memerlukan pendidikan kewirausahaan sebagai bekal masa depannya dalam rangka mengefektifkan pengelolaan remitansi atau hasil jerih payah yang mereka dapatkan dari bekerja di luar negeri selama ini.
"Dengan adanya pendidikan kewirausahaan, mereka diharapkan memiliki kepercayaan diri dan modal untuk berwirausaha di Tanah Air. Pendidikan kewirausahaan juga sebaiknya diikuti dengan adanya akses untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah kepada mereka," kata Imelda Freddy.
Menurut Imelda, pendidikan kewirausahaan berpotensi membantu mereka mengidentifikasi bakat dan potensi yang dimiliki, baik dari diri sendiri maupun dari daerahnya, untuk diolah dan dimaksimalkan.
Dengan adanya modal untuk berwirausaha, lanjutnya, para pekerja migran diharapkan mampu memperbaiki ekonomi keluarga dan menggerakkan perekonomian daerah setempat.
"Para pekerja migran tentu tidak akan selamanya menjadi pekerja migran. Supaya remitansi yang mereka hasilkan bisa terus berkembang dan tidak hilang begitu saja, sangat penting bagi mereka untuk bisa mengelola hasil kerjanya menjadi sesuatu yang membawa manfaat secara terus menerus. Hal ini bisa dituangkan dalam bentuk wirausaha," ungkap Imelda.
Bank Dunia mencatat total remitansi pekerja migran Indonesia pada 2016 mencapai 8,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp118 triliun. Jumlah itu dinilai setara dengan 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Oleh karena itu, para pekerja migran dinilai harus berhati-hati dalam menggunakannya supaya bisa memberikan dampak jangka panjang untuk diri dan keluarganya. (*)
"Pengiriman TKI ini bukan hanya soal peluang kerja, tetapi yang tidak kalah penting adalah masalah perlindungan, karena tiap bulan terjadi ribuan kasus terhadap TKI," kata Sukamta, Senin, di Jakarta.
Menurut politikus PKS itu, dalam situasi saat ini di mana tenaga kerja asing banyak diakomodasi masuk ke Indonesia, maka pengiriman TKI ke luar negeri dengan jaminan keamanan minimum adalah keputusan yang kurang bijak.
Ia mengingatkan berdasarkan UU No.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran, Pasal 31 sudah menetapkan parameter baku untuk membuka/menutup penempatan TKI ke suatu negara, yaitu memiliki hukum yang melindungi tenaga kerja asing, memiliki perjanjian bilateral tertulis dan memiliki sistem jaminan sosial.
Selama 3 syarat parameter tadi belum terpenuhi, lanjutnya, moratorium pengiriman TKI tetap pilihan bijak. Jika parameter sudah terpenuhi, pengiriman TKI pun harus mempertimbangkan dan mengutamakan SDM yang memiliki keterampilan yang cukup serta kemampuan melindungi diri dengan baik.
Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy di Jakarta, Senin (14/5), mengatakan, TKI memerlukan pendidikan kewirausahaan sebagai bekal masa depannya dalam rangka mengefektifkan pengelolaan remitansi atau hasil jerih payah yang mereka dapatkan dari bekerja di luar negeri selama ini.
"Dengan adanya pendidikan kewirausahaan, mereka diharapkan memiliki kepercayaan diri dan modal untuk berwirausaha di Tanah Air. Pendidikan kewirausahaan juga sebaiknya diikuti dengan adanya akses untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah kepada mereka," kata Imelda Freddy.
Menurut Imelda, pendidikan kewirausahaan berpotensi membantu mereka mengidentifikasi bakat dan potensi yang dimiliki, baik dari diri sendiri maupun dari daerahnya, untuk diolah dan dimaksimalkan.
Dengan adanya modal untuk berwirausaha, lanjutnya, para pekerja migran diharapkan mampu memperbaiki ekonomi keluarga dan menggerakkan perekonomian daerah setempat.
"Para pekerja migran tentu tidak akan selamanya menjadi pekerja migran. Supaya remitansi yang mereka hasilkan bisa terus berkembang dan tidak hilang begitu saja, sangat penting bagi mereka untuk bisa mengelola hasil kerjanya menjadi sesuatu yang membawa manfaat secara terus menerus. Hal ini bisa dituangkan dalam bentuk wirausaha," ungkap Imelda.
Bank Dunia mencatat total remitansi pekerja migran Indonesia pada 2016 mencapai 8,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp118 triliun. Jumlah itu dinilai setara dengan 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Oleh karena itu, para pekerja migran dinilai harus berhati-hati dalam menggunakannya supaya bisa memberikan dampak jangka panjang untuk diri dan keluarganya. (*)