Aya Abeid seperti tak punya rasa takut.

         Gadis Palestina berusia 18 tahun itu mengaku terluka saat turut dalam aksi Pawai Akbar Kepulangan pada Jumat ke-enam, 20 Maret 2018, namun datang kembali pada Jumat berikutnya.

        "Pada dua pekan lalu, paha saya terluka saat menggelindingkan ban. Semoga saya bisa datang pada Jumat ini dan melakukan yang biasa saya lakukan. Ketapel saya sudah siap," kata dia kepada Reuters.

        Sudah dua kali Abeid berhasil mengibarkan bendera Palestina di pagar kawat berduri yang memisahkan Gaza dengan wilayah pencaplokan. Padahal, tidak banyak orang yang berani mendekati tempat itu, terutama setelah lebih dari 40 warga Palestina tewas ditembak oleh tentara penjajah Israel.

        "Beberapa orang bilang bahwa kami tidak bisa melakukan tugas seperti pria, beberapa yang lain khawatir kami akan terluka. Tapi, ada juga yang memberanikan kami," kata Baeid bersemangat.

        Perempuan Palestina selalu menjadi bagian dari perjuangan merebut kemerdekaan dan tanah air mereka dari penjajah Israel yang telah memerangi negeri itu secara masif sejak 1948.

        Aya Baeid bukan satu-satunya perempuan yang ikut dalam aksi tersebut. Dalam sebuah tenda di Khan Younis, seorang perempuan lainnya bernama Taheyah Qdeih mengisi botol-botol kosong dengan air untuk dibagikan kepada pengunjuk rasa yang menginap di dalam tenda di sepanjang perbatasan.

        Perempuan berusia 49 tahun yang sempat punya rumah di Jaffa, tidak jauh dari Tel Aviv itu, berjanji akan terus melakukannya hingga demonstrasi itu usai.

        "Saat masih muda dulu, saya biasa melempar batu ke arah para tentara Israel. Saya berasal dari Jaffa dan saya masih menaruh harapan untuk kembali. Apakah saya gila? Tidak," kata dia tegas.

        Sementara itu, seorang ibu Palestina lain yang berusia 48 tahun bernama Jehad Abu Muhsen membawa 15 ban dengan dokar. Dia mengumpulkannya dari bengkel-bengkel mobil.

        "Saya melakukannya tiga atau empat hari dalam satu pekan. Ini yang bisa saya lakukan untuk membantu," kata dia kepada Reuters.

        Selain menggunakan cermin untuk mengganggu penglihatan penembak jitu Israel yang berada di belakang pagar pembatas antara Gaza dan wilayah pencaplokan, warga Palestina juga membakar ban untuk menghalangi pandangan para tentara Israel tersebut.   
   Sementara itu, Sharouq Abu Musameh, mahasiswi keperawatan, bersama 15 temannya memutuskan untuk menjadi petugas kesehatan yang merawat korban akibat ditembaki peluru aktif (live bullet) dan dilempari bom-bom gas air mata yang berisi racun yang dapat mematikan syaraf oleh tentara Israel.

        "Saya ingin menyumbang dalam aksi pawai akbar kepulangan ini," kata Musameh dalam seragam putih penuh bercak darah.

    
    Pemuda
    Pawai Akbar Kepulangan telah berlangsung selama enam pekan sejak pertama kali digelar pada Jumat, 30 Maret 2018 di Jalur Gaza sepanjang sekitar 65 kilometer yang berbatasan dengan wilayah Palestina yang telah dicaplok oleh Israel.

        Aksi membela tanah air Palestina yang digelar setiap Jumat itu selalu diikuti oleh lebih dari 10.000 warga Palestina tanpa senjata militer seperti yang dimiliki oleh para tentara Zionis.

        Namun, semangat membela tanah air telah mendorong kaum perempuan dan para pemuda, juga anak-anak untuk turun dalam aksi tersebut meski bertaruh nyawa.

        Azzam Aweida yang berusia 15 tahun akan dikenang sebagai pejuang remaja Palestina. Dia menghembuskan napas terakhir pada 28 April setelah sehari sebelumnya ditembak oleh pasukan Israel di area unjuk rasa.

        Sebelum itu, Atallah Fayoumi, remaja 17 tahun dari bagian timur Kota Gaza, kehilangan satu kaki akibat peluru penembak jitu Israel yang mengenainya pada 13 April atau Jumat ke-tiga pada aksi tersebut.

        "Ketika saya ditembak, saya tidak tahu bahwa setelah tiga hari, kaki saya akan diamputasi," kata Fayoumi.

        Dia bukan satu-satunya warga dengan kasus kaki diamputasi selama empat pekan terakhir pawai, kata Sami Abu Sneima, Kepala Bagian Operasi di Rumah Sakit Eropa di bagian selatan Jalur Gaza.

        Banyak orang yang ditembak dengan amunisi aktif harus menjalani amputasi bagian atas atau bawah tubuhnya, kata Abu Sneima.

        Pekan lalu, anak lelaki yang berusia 11 tahun bernama Abul Rahman Noufal ditembak kaki kirinya dan menderita pendarahan parah serta tulangnya remuk. Ibunya mengatakan Noufl ditembak di kaki hanya gara-gara berdiri di dekat perbatasan dan menyaksikan pawai.

        Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza mengatakan 44 orang Palestina dan lebih dari 6.000 orang cedera dalam aksi protes sejak 30 Maret. Kebanyakan dari mereka yang gugur dalam aksi itu menderita luka tembak oleh peluru ledak yang disebut "butterfly bullet" (peluru kupu-kupu), yang merobek lapisan daging dan menghancurkan tulang.

        Meski demikian, Pawai Akbar Kepulangan akan terus digelar hingga 15 Mei 2018 yang diperingati oleh rakyat Palestina sebagai Hari Nakba atau Hari Bencana karena itulah saat Israel merayakan berdirinya negara Yahudi dengan mengusir dua-pertiga rakyat Palestina dan melakukan pembersihan etnik di 418 desa di Palestina pada 1948.

Pewarta : Libertina Widyamurti Ambari
Editor : Azhari
Copyright © ANTARA 2024