Pantun merupakan salah satu produk dari kebudayaan masyarakat Melayu, termasuk etnis Minangkabau. Pada perkembangannya, pantun yang awalnya sebuah tradisi lisan, berkembang sangat pesat, termasuk pada tradisi tulis.
Hal itu terutama ketika bahasa Melayu digunakan menjadi dasar untuk membentuk bahasa persatuan, yang kemudian dikenal dengan nama Bahasa Indonesia.
Karya sastra para pujangga lama dalam kesusastraan Indonesia, banyak menggunakan pantun sebagai media penyampaian pesan, hingga penyebarannya semakin luas.
Namun seiring berjalannya waktu, gaya berbahasa masyarakat baik dalam keseharian maupun karya sastra juga bergeser. Pantun tidak lagi menjadi unsur utama dan perannya makin lama makin pudar.
Pantun seolah menjadi terasing di tengah kebudayaan yang melahirkannya. Ia kemudian hanya ditemukan dalam bab-bab khusus dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Juga pada acara-acara adat yang masih berpegang pada tradisi lama.
Hal itu juga terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau). Pantun hanya ditemukan dalam prosesi adat dan rangkaian prosesi pernikahan. Sementara dalam percakapan sehari-hari, pantun sudah mulai langka, digantikan frasa-frasa bahasa asing yang tidak berkejelasan seperti "kids jaman now,".
Kepiawaian Irwan tersebut membuahkan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai kepala daerah yang menciptakan pantun terbanyak. Perwakilan MURI menyebutkan rekor itu bukan rekor nasional, tetapi rekor dunia. Saat rekor itu diberikan Irwan Prayitno baru membukukan 18 ribu pantun dalam enam buku. Jumlah itu sudah jauh lebih banyak saat ini.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah menerbitkan sertifikat hak cipta untuk enam buku berisi 18 ribu pantun karya Irwan Prayitno tersebut.
Ia berharap lewat kebiasaan itu, masyarakat Sumbar kembali menjadikan pantun sebagai kebanggaan dan digunakan dalam keseharian.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Taufik Effendi menangkap keinginan itu yang diterjemahkannya dalam lomba pantun spontan untuk wartawan dan siswa SLTA untuk memeriahkan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 dengan total hadiah Rp50 juta untuk 12 pemenang dari dua kategori.
"Sumbar memiliki kekuatan dalam budaya berpantun. Ini menjadi salah satu pendorong untuk menggelar lomba, selain untuk memeriahkan HPN 2018," katanya.
Menurutnya lomba pantun itu juga akan melibatkan siswa SMA/SMK di Sumbar. Pelibatan generasi muda bertujuan untuk "membumikan" kembali pantun di Ranah Minang.
Selain itu kemampuan bahasa insan pers juga bisa diasah dalam lomba pantun tersebut. Wartawan yang kemampuan menulisnya tidak perlu diragukan lagi, ditantang untuk bisa mencoba pantun yang berakar pada tradisi lisan.
Kemampuan retorika dan berfikir cepat menjalin kata menjadi lirik yang berirama akan menjadi tantangan tersendiri bagi wartawan.
Sebelumnya lomba yang sama tingkat SMA pernah digelar beberapa waktu lalu, sebanyak 800 orang peserta yang mengirimkan pantun dengan jumlahnya mencapai 12 ribu pantun dalam waktu dua minggu.
Hal itu diharapkan juga akan terjadi pada saat festival pantun spontan yang dilaksanakan dalam rangka HPN yang juga diikuti para wartawan se-Indonesia.
Untuk mengikuti lomba pantun tersebut, peserta dapat mengirimkan 10 pantun karya sendiri ke email panitia, dinas_kebudayaan@sumbarprov.go.id. Seleksi awal akan dilaksanakan mulai tanggal 15 Desember 2017 hingga 15 Januari 2018.***
Hal itu terutama ketika bahasa Melayu digunakan menjadi dasar untuk membentuk bahasa persatuan, yang kemudian dikenal dengan nama Bahasa Indonesia.
Karya sastra para pujangga lama dalam kesusastraan Indonesia, banyak menggunakan pantun sebagai media penyampaian pesan, hingga penyebarannya semakin luas.
Namun seiring berjalannya waktu, gaya berbahasa masyarakat baik dalam keseharian maupun karya sastra juga bergeser. Pantun tidak lagi menjadi unsur utama dan perannya makin lama makin pudar.
Pantun seolah menjadi terasing di tengah kebudayaan yang melahirkannya. Ia kemudian hanya ditemukan dalam bab-bab khusus dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Juga pada acara-acara adat yang masih berpegang pada tradisi lama.
Hal itu juga terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau). Pantun hanya ditemukan dalam prosesi adat dan rangkaian prosesi pernikahan. Sementara dalam percakapan sehari-hari, pantun sudah mulai langka, digantikan frasa-frasa bahasa asing yang tidak berkejelasan seperti "kids jaman now,".
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah menerbitkan sertifikat hak cipta untuk enam buku berisi 18 ribu pantun karya Irwan Prayitno tersebut.
Ia berharap lewat kebiasaan itu, masyarakat Sumbar kembali menjadikan pantun sebagai kebanggaan dan digunakan dalam keseharian.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Taufik Effendi menangkap keinginan itu yang diterjemahkannya dalam lomba pantun spontan untuk wartawan dan siswa SLTA untuk memeriahkan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 dengan total hadiah Rp50 juta untuk 12 pemenang dari dua kategori.
"Sumbar memiliki kekuatan dalam budaya berpantun. Ini menjadi salah satu pendorong untuk menggelar lomba, selain untuk memeriahkan HPN 2018," katanya.
Menurutnya lomba pantun itu juga akan melibatkan siswa SMA/SMK di Sumbar. Pelibatan generasi muda bertujuan untuk "membumikan" kembali pantun di Ranah Minang.
Selain itu kemampuan bahasa insan pers juga bisa diasah dalam lomba pantun tersebut. Wartawan yang kemampuan menulisnya tidak perlu diragukan lagi, ditantang untuk bisa mencoba pantun yang berakar pada tradisi lisan.
Kemampuan retorika dan berfikir cepat menjalin kata menjadi lirik yang berirama akan menjadi tantangan tersendiri bagi wartawan.
Sebelumnya lomba yang sama tingkat SMA pernah digelar beberapa waktu lalu, sebanyak 800 orang peserta yang mengirimkan pantun dengan jumlahnya mencapai 12 ribu pantun dalam waktu dua minggu.
Hal itu diharapkan juga akan terjadi pada saat festival pantun spontan yang dilaksanakan dalam rangka HPN yang juga diikuti para wartawan se-Indonesia.
Untuk mengikuti lomba pantun tersebut, peserta dapat mengirimkan 10 pantun karya sendiri ke email panitia, dinas_kebudayaan@sumbarprov.go.id. Seleksi awal akan dilaksanakan mulai tanggal 15 Desember 2017 hingga 15 Januari 2018.***