Padang - Hari Pers Nasional (HPN) di Sumatera Barat pada 9 Februari 2018 makin dekat. Daerah berbenah menunggu ribuan insan pers dari ribuan media cetak, elektronik dan berbasis daring di Ranah Minang.
Tentu saja, peran ribuan orang yang sehari-hari bekerja dalam bidang kepenulisan itu diharapkan akan memberikan dampak positif bagi Sumbar, yang sedang giat-giatnya membangun di bidang pariwisata dan energi terbarukan.
Setidaknya, melalui tulisan dan ulasan insan pers itu nanti, masyarakat seluruh Indonesia bahkan dunia, lebih mengetahui potensi Sumbar dan memahami banyak bidang yang bisa dikembangkan oleh investor.
Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno memahami benar besarnya peran pers untuk membawa perubahan pada satu daerah, karena itu saat ada wacana untuk menjadikan provinsi itu sebagai tuan rumah HPN, ia memberikan dukungan penuh.
Pemahaman orang nomor satu di Sumbar itu tentang peran pers terlihat jelas dari artikel pada laman pribadinya, irwanprayitno.com yang diposting pada 17 Maret 2015.
Tulisan dengan judul "Pers di Sumatera Barat" itu mengulas sejarah pers dan perannya yang cukup vital tidak saja di Minangkabau, tetapi juga di Indonesia.
Menurut dia, peran pers di Minangkabau dimulai dengan terbit surat kabar berbahasa Melayu (koran pribumi) edisi perdana, Bintang Timoer pada 7 Desember 1864, yang kemudian rutin terbit setiap Rabu mulai 4 Januari 1865.
Penerbitan yang dilakukan setiap minggu itu sebagai respon atas penerimaan masyarakat yang cukup baik dan pasarnya yang dinilai bagus.
Berdasarkan fakta itu, sejarah pers di Minangkabau sebenarnya merupakan salah satu tonggak dunia persuratkabaran di Indonesia, bersama beberapa surat kabar lain yang terbit lebih dulu di Jawa seperti Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe (Semarang, 1860) dan Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863).
Tidaklah salah jika disebutkan saat sebagian besar orang Indonesia masih terpaku pada naskah (manuscript) beraksara Jawi, orang Minang sudah selangkah lebih maju dengan membaca koran berbahasa Melayu.
Agaknya benar pendapat Ketua Komisi Penyiaran (KPI) Indonesia, Yuliandre Darwis dalam disertasinya pada 2010 yang menyebutkan Padang sebagai kota pers tertua di Sumatera, dan termasuk kota perintis munculnya surat kabar di Indonesia.
Setelah Bintang Timoer, menurut Dr Suryadi, dosen Universitas Laiden asal Minang, beberapa surat kabar lain terbit pula di Ranah Minang seperti Pelita Ketjil (Padang, 1892-1894), Warta Berita (Padang, 1895), Tjahja Sumatra (Padang, 1906).
Tokoh pers yang menonjol saat itu antara lain, Mahyoeddin Datoek Soetan Maharadja, anak nagari Sulit Air, Abisin Abbas, Dja Endar Muda, dan Syekh Achmad Chatib.
Dalam perkembangannya menurut Sudarmoko (2005) surat kabar di Minangkabau juga terbit di tingkat nagari bahkan khusus untuk etnis tertentu. Penerbitannya juga sudah berkala.
Sejarah pers di Sumatera Barat amatlah panjang. Banyak sisi-sisi positif yang bermanfaat bagi daerah dan masyarakat Sumatera Barat. Mari kita tingkatkan semua aspek-aspek positif tersebut semaksimal mungkin dan kita minimalisir segala kelemahan dan sisi negatif yang ada. Orang yang sukses adalah mereka yang mampu mengoptimalkan semua kebaikan dan kelebihan serta meminimalisir kesalahan dan kelemahannya.
Ketua PWI Sumbar Heranof dalam kesempatan berbeda mengatakan penelitian terhadap pers di Minangkabau dan perannya dalam dunia pers di Indonesia sudah cukup banyak. Namun ia yakin masih banyak hal yang bisa digali dari sejarah itu.
Berkumpulnya ribuan insan pers di Sumbar pada HPN 2018 menurut dia bisa jadi sebuah momentum untuk penggalian lebih jauh terhadap sejarah pers di Minangkabau dan Indonesia secara umum hingga bisa menjadi pelajaran untuk wartawan-wartawan muda*
Tentu saja, peran ribuan orang yang sehari-hari bekerja dalam bidang kepenulisan itu diharapkan akan memberikan dampak positif bagi Sumbar, yang sedang giat-giatnya membangun di bidang pariwisata dan energi terbarukan.
Setidaknya, melalui tulisan dan ulasan insan pers itu nanti, masyarakat seluruh Indonesia bahkan dunia, lebih mengetahui potensi Sumbar dan memahami banyak bidang yang bisa dikembangkan oleh investor.
Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno memahami benar besarnya peran pers untuk membawa perubahan pada satu daerah, karena itu saat ada wacana untuk menjadikan provinsi itu sebagai tuan rumah HPN, ia memberikan dukungan penuh.
Pemahaman orang nomor satu di Sumbar itu tentang peran pers terlihat jelas dari artikel pada laman pribadinya, irwanprayitno.com yang diposting pada 17 Maret 2015.
Tulisan dengan judul "Pers di Sumatera Barat" itu mengulas sejarah pers dan perannya yang cukup vital tidak saja di Minangkabau, tetapi juga di Indonesia.
Menurut dia, peran pers di Minangkabau dimulai dengan terbit surat kabar berbahasa Melayu (koran pribumi) edisi perdana, Bintang Timoer pada 7 Desember 1864, yang kemudian rutin terbit setiap Rabu mulai 4 Januari 1865.
Penerbitan yang dilakukan setiap minggu itu sebagai respon atas penerimaan masyarakat yang cukup baik dan pasarnya yang dinilai bagus.
Berdasarkan fakta itu, sejarah pers di Minangkabau sebenarnya merupakan salah satu tonggak dunia persuratkabaran di Indonesia, bersama beberapa surat kabar lain yang terbit lebih dulu di Jawa seperti Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe (Semarang, 1860) dan Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863).
Tidaklah salah jika disebutkan saat sebagian besar orang Indonesia masih terpaku pada naskah (manuscript) beraksara Jawi, orang Minang sudah selangkah lebih maju dengan membaca koran berbahasa Melayu.
Agaknya benar pendapat Ketua Komisi Penyiaran (KPI) Indonesia, Yuliandre Darwis dalam disertasinya pada 2010 yang menyebutkan Padang sebagai kota pers tertua di Sumatera, dan termasuk kota perintis munculnya surat kabar di Indonesia.
Setelah Bintang Timoer, menurut Dr Suryadi, dosen Universitas Laiden asal Minang, beberapa surat kabar lain terbit pula di Ranah Minang seperti Pelita Ketjil (Padang, 1892-1894), Warta Berita (Padang, 1895), Tjahja Sumatra (Padang, 1906).
Tokoh pers yang menonjol saat itu antara lain, Mahyoeddin Datoek Soetan Maharadja, anak nagari Sulit Air, Abisin Abbas, Dja Endar Muda, dan Syekh Achmad Chatib.
Dalam perkembangannya menurut Sudarmoko (2005) surat kabar di Minangkabau juga terbit di tingkat nagari bahkan khusus untuk etnis tertentu. Penerbitannya juga sudah berkala.
Ketua PWI Sumbar Heranof dalam kesempatan berbeda mengatakan penelitian terhadap pers di Minangkabau dan perannya dalam dunia pers di Indonesia sudah cukup banyak. Namun ia yakin masih banyak hal yang bisa digali dari sejarah itu.
Berkumpulnya ribuan insan pers di Sumbar pada HPN 2018 menurut dia bisa jadi sebuah momentum untuk penggalian lebih jauh terhadap sejarah pers di Minangkabau dan Indonesia secara umum hingga bisa menjadi pelajaran untuk wartawan-wartawan muda*