Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy baru saja menetapkan sistem pendidikan baru di Indonesia, yang memangkas hari sekolah namun menambah jam belajar siswa menjadi 40 jam seminggu.
Sistem pendidikan yang ditetapkan dengan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Hari Sekolah itu diarahkan untuk memperkuat karakter siswa.
Lazimnya sesuatu yang baru, tentu diharapkan juga memberikan pembaruan terhadap mutu dan hasil pendidikan di Indonesia, terutama untuk menyambut bonus demografi 2025-2030 dan generasi emas 2045.
Kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari bonus demografi, harus benar-benar bisa diraih oleh Indonesia melalui generasi yang dididik dengan sistem pendidikan yang diterapkan.
Jangan malah terbalik, keuntungan yang diharapkan tetapi beban yang didapatkan, karena sumber daya manusia (SDM) masyarakat tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Penerapan sistem sekolah yang baru tentu telah melewati kajian yang mendalam oleh pemerintah, baik secara teknis pelaksanaan hingga hasil yang diharapkan.
Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) yang diterapkan pada kebijakan baru itu, banar-benar diharapkan bisa menciptakan generasi yang tidak saja memiliki kemampuan, tetapi juga berkarakter.
Sistem ini juga akan memberikan kesempatan bagi guru untuk memenuhi ketentuan pertemuan tatap muka 24 jam seminggu, tanpa harus mencari jam mengajar ke sekolah lain.
Guru-guru yang belum bisa memenuhi ketentuan itu, nanti akan diberi alternatif untuk melaksanakan kegiatan lain di sekolahnya. Alternatif itu akan ditetapkan kemudian.
Roh dari peraturan itu, guru tetap mengajar di sekolahnya masing-masing sehingga waktu yang ada bisa dimanfaatkan seefektif dan seoptimal mungkin.
Pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat, Prof Syafruddin Nurdin, memiliki pandangan yang sama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia menilai program "full day school" itu bisa mengontrol perilaku anak dari perilaku negatif, karena menghabiskan waktu di sekolah dengan pengawasan guru akan lebih baik daripada di rumah tanpa pengawasan orang tua.
Ia menyebutkan tidak semua anak yang mempunyai banyak waktu di rumah dapat terawasi dengan baik oleh orang tua, sekalipun ada yang diawasi jumlahnya juga tidak seberapa.
Hal itu menyebabkan banyak anak usia sekolah yang melakukan kenakalan dan bahkan sudah mengarah pada tindak kriminal.
Salah satu yang meresahkan saat ini adalah geng motor. Arak-arakan kendaraan berpotensi memancing keributan dan tawuran.
Bahkan, sebagian geng motor tersebut mulai mengarah pada tindakan kriminal. Calon anggota geng disyaratkan untuk membacok orang di jalan, baru bisa diterima.
Syafruddin menilai hal itu disebabkan kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga terpengaruh oleh lingkungan.
Oleh sebab itu, menurutnya, program "full day school" yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan salah satu solusi dari persoalan yang ada.
Lagi pula, waktu delapan jam yang dihabiskan di sekolah, tidak semata-mata untuk belajar, tetapi juga untuk pembinaan kepribadian anak.
Pembinaan kepribadian itu seperti yang diterapkan oleh "boarding school", secara "face to face", sehingga lebih efektif dan anak terhindar dari perilaku negatif.
Namun, selain dukungan, pihak yang memiliki pemikiran berseberangan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga cukup banyak.
Sistem itu dinilai cocok untuk kota besar, tempat orang tua supersibuk hingga tidak sempat memberikan perhatian pada anak selepas sekolah.
Sedangkan untuk daerah, sistem itu dinilai berpotensi mengurangi waktu anak untuk berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan. Bahkan, pendidikan nonformal berbasis agama yang biasa dilaksanakan selepas pulang sekolah, terancam terpaksa ditinggalkan.
Padahal, pendidikan nonformal itu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman anak terhadap agama, sebagai benteng dari paham dan pengaruh buruk lingkungan.
Anggota Komisi V DPRD Sumbar Syaiful Ardi mengatakan jika kebijakan itu diterapkan maka siswa pulang sekolah sekitar pukul 15.30 WIB atau Rp16.00 WIB.
Sementara untuk wilayah Sumbar, kebanyakan anak-anak ketika pulang sekolah membantu orang tua serta bermain.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang selalu mencoba-coba formula baru untuk pendidikan sehingga siswa jadi korban.
Syaiful yang juga dosen Universitas Ekasakti (Unes) Padang itu, menyarankan pemerintah mengikuti sistem yang telah ada dengan terus berbenah memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
"Sebaiknya sekolah tetap enam hari namun dicari model yang terbaik karena kondisi sekarang anak-anak sudah cukup dipusingkan dengan kurikulum yang sering berubah," sebutnya.
Sementara itu, salah seorang tokoh masyarakat yang juga Sekretaris Daerah Provinsi Sumbar Ali Asmar meminta pengurus taman pendidikan Al Quran menyikapi dengan bijak penerapan sekolah lima hari seminggu pada tahun ajaran baru ini agar tidak mengganggu pendidikan nonformal yang berbasis agama.
Menurutnya, kelaziman di Sumbar sepulang sekolah, anak-anak mengikuti pendidikan nonformal di masjid melalui Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).
Sebagian kegiatan dilakukan sore hari setelah shalat asar, sebagian malam hari selepas maghrib hingga isya.
Dia mengingatkan bahwa pendidikan itu selain belajar membaca Al Quran, juga belajar sejarah Islam dan akhlak.
Hal itu, katanya, sejalan dengan falsafah yang dianut masyarakat Minang di Sumbar, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah atau adat bersendikan agama.
"Pendidikan formal dan nonformal harus dilaksanakan bersamaan agar kemampuan keilmuan ditunjang dengan pemahaman agama yang baik," ujar dia.
Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Burhasman Bur memiliki pandangan yang sama.
Menurutnya, belum semua sekolah di Sumbar bisa menerapkan sistem baru tersebut sehingga harus dilaksanakan secara bertahap.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bahwa sistem itu tidak dipaksakan untuk dilaksanakan semua sekolah.
Hanya sekolah yang dinilai siap yang melaksanakannya sementara sekolah lain yang belum, secara bertahap akan mempersiapkan diri.
Perbedaan pandangan terhadap sistem pendidikan yang baru tersebut tidak harus dijadikan suatu polemik yang menghabiskan stamina.
Agar bisa menetaskan generasi emas, semua pihak harus legawa, saling mengisi dan menyesuaikan, agar sistem pendidikan di Indonesia terus bertransformasi menjadi lebih baik. (*)