Bandarlampung, (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Lampung menilai, banjir besar yang melanda Kota Bandarlampung beberapa hari ini adalah bukti adanya bencana ekologis, bukan karena Tuhan murka tapi merupakan petunjuk jelas bahwa alam telah mengalami kerusakan. Kepala Divisi Advokasi Jaringan dan Kampanye Eksekutif Daerah Walhi Lampung, Andi Khoirul Jaya Negara, mendampingi Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Bejoe Dewangga, di Bandarlampung, Minggu, menegaskan bahwa banjir besar yang kembali melanda Bandarlampung, 22 hingga 25 Januari 2013, seharusnya menjadi petunjuk yang jelas atas kondisi alam di daerah ini. Sebelumnya, ibu kota Provinsi Lampung ini pernah dilanda banjir besar pada tahun 2008, hanya saja tidak memakan korban jiwa sebagaimana banjir yang terjadi saat ini. Menurut Andi, terulang musibah banjir tersebut, bukan karena Tuhan murka, melainkan sebagai petunjuk bahwa alam telah mengalami kerusakan. "Kita bisa melihat kondisi nyata masih berlangsung penggerusan bukit, seperti Bukit Camang di Tanjungkarang Timur dan perbukitan di Kampung Umbul Kunci Telukbetung Barat di Bandarlampung," ujar dia. Apalagi, secara tragis kawasan hutan kota di sekitar Wayhalim Bandarlampung juga telah dialihfungsikan bagi peruntukan kawasan bisnis, kata dia. Demikian pula kawasan hulu, seperti di wilayah Kemiling terus dikembangkan bagi pembangunan permukiman, ujar Andi pula. Tindakan tersebut, menurut dia, telah memberikan gambaran nyata bahwa keberadaan dan kelestarian lingkungan hidup masih diabaikan. Walhi Lampung menilai, para pengambil kebijakan di daerah ini belum menunjukkan perspektif kebencanaan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam menjalankan praktik atas nama pembangunan. Bahkan, kata dia, dalam menyusun perencanaan pembangunan, analisis risiko bencana tidak sama sekali dicantumkan. Begitu pula terhadap Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) masih terabaikan, ujar Andi. Ia mengingatkan, sejatinya sebagai pelaksana, pemerintah wajib menjalankan mandat konstitusi khususnya Pasal 28 dan Pasal 20 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. "Jika undang-undang tersebut dijalankan, tentu banjir kali ini tidak pula memakan korban jiwa sebanyak tiga jiwa, dua anak-anak di Kelurahan Talang dan satu orang di jalan kawasan Gunung Mas di Telukbetung Bandarlampung," kata Andi pula. Kesiapsiagaan Kurang Walhi Lampung, menurut dia, melihat bahwa kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana khususnya bencana ekologis masih belum berjalan baik. Bahkan Walhi Lampung menyesalkan ketiadaan dana operasional bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung saat terjadi bencana tersebut. Padahal seharusnya, kata dia, Pemprov Lampung memahami bahwa alokasi dana untuk merespon bencana dibagi dalam tiga tahapan, yaitu pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana untuk rehabilitasi dan rekonstruksinya. Walhi Lampung mengingatkan pula, kondisi pengurangan luas bantaran sungai, dan berkurang ruang terbuka hijau (RTH) yang saat ini hanya sekitar 11 persen. Sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007, mensyaratkan minimal 30 persen RTH di daerah ini, sehingga menjadi faktor bencana ekologis terjadi di Bandarlampung, ujar Andi. Tidak heran lagi, jika kita melihat pemandangan Bandarlampung yang tergenang air dan banjir di mana-mana jika turun hujan. Jika turun hujan, kita akan menemukan banyak sampah berserakan di jalan-jalan dan lumpur di daerah permukiman, kata dia pula. Menurut dia, tentu saja kebijakan Pemkot Bandarlampung yang menjadi akar masalahnya. Buktinya, ujar dia lagi, banyak izin yang diberikan untuk pengembangan kawasan komersial yang menghancurkan kawasan terbuka hijau, pembangunan sistem drainase yang asal-asalan, dan tidak dipatuhi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Hasilnya, lanjut Andi, pembangunan Kota Bandarlampung berjalan sporadis dan bersifat menghancurkan lingkungan hidup. Berdasarkan pantauan Walhi Lampung, menunjukkan belum ada keseriusan dari pemerintah dalam menanggapi bencana ini. Banyak titik dari dampak banjir yang belum diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, menurut Andi, sejak awal Walhi Lampung telah mengingatkan akan ancaman banjir, karena kurang RTH di Bandarlampung yang hanya 11 persen, dan pembangunan yang tidak terkelola perencanaan dan pelaksanaannya dengan baik, sehingga sistem drainase tidak berfungsi secara maksimal. Karena itu, Walhi Lampung mengajak seluruh elemen dan komponen masyarakat untuk peduli dan dapat menjaga kelestarian lingkungan hidup di daerah ini. "Dimulai dengan tidak membuang sampah sembarangan, khususnya wilayah bantaran sungai, menjaga dan memperbanyak ruang terbuka hijau dengan cara menanam pohon, dan memberi ruang di sekitar halaman rumah, sekolah, kantor, dan kawasan lain sebagai kawasan resapan air," kata Andi Khoirul Jaya Negara pula. (*/jno)

Pewarta : 172
Editor :
Copyright © ANTARA 2024