Padang, 30/4 (Antara) - Pria itu  mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas. "Ini ada 12 nama silahkan  pilih satu orang yang disukai untuk jadi wakil saya, dia mau saja kok," ucap pria kepada petugas saat mendaftar ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).

        Tentu saja  petugas penerima pendaftaran calon bupati bingung. "Tidak bisa pak. Bapak kalau mendaftar harus bersama wakil, bukan kami yang memilihkan," jawab petugas.

         Akhirnya calon bupati yang hanya membawa selembar ijazah dan satu fotokopi KTP itu  pergi meninggalkan kantor KPU.

         Keesokan hari ia datang lagi untuk mendaftar bersama wakil melalui jalur perseorangan.

         Hebatnya calon ini menang, walaupun unik tapi dipilih masyarakat an malah mengalahkan petahana.

         Ketua KPU Husni Kamil Manik menceritakan kisah-kisah itu pada pelaksanaan pilkada serentak Desember 2015.

         Pada kesempatan lain, di suatu daerah ada pula seorang calon bupati yang datang sendirian ke kantor KPU untuk mendaftar.

         Saat ditanya petugas berkas pencalonan malah tidak membawa apa-apa. "Anda mau syarat apa ?, kalau nama dan tanggal lahir biar saya sebutkan saja  tolong tulis ya," ucap calon itu.

         Tentu saja jika tidak membawa berkas apapun petugas menolak, namun calon itu malah bersikeras untuk tetap mendaftar dengan alasan sudah didukung oleh partai-partai yang ada.

         Tidak hanya itu, KPU pernah didesak oleh salah seorang calon agar menerima pendaftaran yang telah terlambat dari batas waktu yang ditetapkan.

         Calon itu beralasan penerbangannya terlambat  akibat pesawat presiden mau mendarat, sedangkan waktu pendaftaran sudah tutup sehingga tidak terkejar lagi ke kantor KPU.

         Dari sekelumit kisah pelaksanaan pilkada serentak 2015  yang diselenggarakan pada 269 daerah di Tanah Air, Husni mengemukakan tahapan yang menjadi sorotan masyarakat ada dua yaitu proses pencalonan dan setelah pemungutan suara.

         Menurutnya  pencalonan menjadi perhatian publik  karena ada  banyak kepentingan  mulai dari  calon, partai politik hingga  kelompok masyarakat.

         Oleh sebab itu sebaiknya pencalonan disederhanakan saja dan lebih banyak proses diserahkan ke partai politik, katanya.

         Kemudian, setelah pemungutan suara selesai persoalan yang mengemuka adalah  ketidakpercayaan kepada penyelenggara.

         Begitu sudah ada yang mengumumkan hasil perolehan suara maka mulai ribut, dikumpulkanlah daftar "dosa" penyelenggara pemilu, ucapnya bahkan sampai mengungkit tempat sarapan, tempat menginap b bahkan tempat minum kopi.

         Namun, lanjutnya, sengketa hasil pilkada yang digugat ke Mahkamah Konstitusi pada pelaksanaan pilkada serentak 2015 jauh berkurang dibandingkan periode sebelumnya.

         Ada sekitar 140 sengketa yang ditolak, orang pun akan berpikir ulang jika selisih suara lebih dari dua persen  bakal ditolak kalau dibawa ke MK, lanjutnya.

         Pada sisi lain, ia melihat bagi KPU selaku  penyelenggara,  pilkada serentak  membawa kemudahan karena dilaksanakan bersamaan sehingga koordinasi menjadi lebih efisien.

         Jika tidak serentak maka ada yang  sedang tahapan persiapan, sedangkan di daerah lain malah sudah selesai, akibatnya pelaksanaan bimbingan teknis tidak bisa bersamaan, ujarnya.

         Namun  pada sisi lain pelaksanaan pilkada serentak 2015 menyulitkan  pengurus partai tingkat pusat karena  kewalahan mencari calon untuk 269 daerah.

         Kemudian ia melihat efisiensi juga terjadi pada pasangan calon karena lebih sedikit mengeluarkan biaya sebab untuk logistik telah disediakan KPU.

         Kalau pilkada sebelumnya malah ada calon yang mengeluarkan biaya lebih besar dari KPU, sekarang ruang publik juga lebih tertib, tidak ada lagi perang atribut di jalan hingga pohon-pohon, katanya.

    
              Partisipasi Turun
    Terkait sorotan turunnya partisipasi politik pada pilkada serentak 2015 Husni memandang tidak terlalu signifikan.

         Partisipasi memang turun tapi tidak siginifikan, rata-rata secara nasional 68 persen, namun tidak siginifikan dibandingkan partisipasi saat alat peraga kampanye tidak dibatasi, kata dia.

         Apalagi  di Sumbar partisipasi hanya 58,65 persen, mungkin ada yang menjawab alasannya banyak warga merantau, lanjut dia.

         Ia menyebutkan partisipasi pemilih tertinggi pada pilkada serentak 2015 terjadi di Mamuju Utara mencapai 92 persen dan terendah di Medan hanya 25 persen.

         Di Mamuju itu suara pemenang mencapai 97 persen, jadi kandidat lawan hanya memperoleh suara tiga persen.

         Sementara pengamat politik Universitas Negeri Padang (UNP)  Eka Vidya Putra  mengemukakan turunnya partisipasi masyarakat pada pilkada gubernur Sumbar  terjadi akibat krisis kepercayaan terhadap elit, partai politik dan sistem demokrasi.

         Selama ini yang selalu diajarkan kepada masyarakat pemilu dan pilkada adalah jalan keluar untuk perubahan, tetapi faktualnya setelah pilkada selesai tidak ada perubahan terjadi sehingga timbul ketidakpercayaan, kata dia.

          Karena tidak terjadi banyak perubahan yang terjadi dari pemilu ke pemilu menyebabkan kejenuhan di masyarakat dan ini merupakan faktor  yang bisa menjelaskan kenapa partisipasi memilih rendah.

          Ia mengutarakan memang ada faktor lain seperti fragmentasi politik, sosialisasi yang tidak optimal tapi yang lebih dominan adalah telah mundurnya kepercayaan masyarakat terhadap elit dan sistem politik.

         Persoalan hari ini adalah kepercayaan, untuk kualitas pilkada mungkin kesalahan kebijakan, tapi soal partisipasi ada pada tingkat kepercayaan, lanjut dia.

         Selama elit politik tidak memperbaikinya maka akan terus terjadi penurunan partisipasi pemilih walaupun  sistem pelaksanaan telah diperbaiki.

         
              Politik Uang
    Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy  menilai praktik politik uang masih dominan  dalam pelaksanaan Pilkada serentak yang digelar 9 Desember 2015 .

         Berdasarkan pantauan, praktik politik uang masih menggurita dan menjadi faktor penting kemenangan seorang calon sehingga perlu rambu-rambu ketat mencegah hal ini, kata  dia.

         Semangat pilkada serentak itu harus antipolitik uang sehingga perlu  edukasi kepada masyarakat agar tidak menjatuhkan pilihan berdasarkan faktor uang.

         Ia juga  mengkritik aturan calon kepala daerah yang berstatus sebagai anggota legislatif, PNS, TNI dan Polisi yang wajib mundur ketika mencalonkan diri.

         Aturan ini harus diubah  karena partisipasi calon menjadi rendah  dan menghambat rekrutmen kader pemimpin bangsa.

         Menyikapi pelaksanaan Pilkada serentak 2015  DPRD Sumbar  menerbitkan enam rekomendasi meliputi enam aspek yang perlu diperbaiki mulai dari pencalonan hingga lembaga penyelenggara.

         Wakil Ketua DPRD Sumbar Arkadius menyampaikan  rekomendasi pertama adalah soal kewenangan calon petahana dan rekening khusus dana kampanye yang memerlukan aturan  lebih tegas, sehingga tidak menimbulkan banyak tafsir oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

         Berikutnya perlu penyempurnaan pada proses pelaksanaan pilkada seperti penyediaan dan pemasangan atribut kampanye menjadi tanggung jawab calon.

         Ia menilai perlu dirumuskan metode dan jadwal kampanye yang cocok dengan karakter masyarakat Minang mengingat  partisipasi hanya mencapai 59,30 persen.

         Kemudian, DPRD menilai pilkada adalah perwujudan kedaulatan rakyat sehingga frasa dipilih secara demokratis dapat diartikan dipilih langsung atau melalui DPRD.

         Oleh sebab itu kami merekomendasikan kepada pemerintah agar Pilkada Gubernur dipilih DPRD dan pilkada bupati dan wali kota secara langsung, lanjut dia.

         Selanjutnya DPRD melihat  aturan wajib mundur bagi anggota DPRD, DPD dan DPR dinilai tidak adil karena petahana tidak diharuskan mundur.

         Oleh sebab itu kami mengusulkan anggota DPR, DPD dan DPRD dinyatakan berhenti jika sudah ditetapkan sebagai pemenang, katanya.

         Lalu seseorang dalam status tersangka, terdakwa hingga terpidana tidak dibenarkan jadi calon kepala daerah.

         Terakhir DPRD memandang perlu dilakukan revisi tugas KPU agar tidak rangkap sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan.

         Pilkada merupakan salah satu sarana mencari hadirnya pemimpin baru yang memberi harapan bagi masyarakat. Namun mengutip pernyataan seorang pengarang James Freeman Clarke, seorang politisi berpikir tentang pemilihan umum berikutnya, seorang negarawan akan berpikir tentang generasi yang akan datang. (*)

Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024