"Saya tidak boleh menyerah pada keadaan." Itulah motivasi yang ditanamkan Ria Deviana pada dirinya  agar bangkit menjalani hidup setelah mengalami paraplegia, yaitu kelumpuhan karena cedera pada sumsum tulang belakang.

         Kelumpuhan yang ia alami akibat kecelakaan mobil yang terjadi  pada 23 September 2003 itu membuatnya harus beraktivitas menggunakan kursi roda.

         Namun demikian, perempuan kelahiran 5 April 1982 itu tidak menjadikan keterbatasan penghalang dalam  membantu keluarga dan membahagiakan adik-adiknya.

         "Selalu ada hal baik yang mengikuti, jangan pernah putus asa berusaha," ujar Ria.

         Berawal dari ibunya, Ade Farida, yang bekerja di hotel di Kota Bukittinggi sebagai pemijat tradisional, tamu-tamu sering bertanya rumah makan dengan hidangan rendang terlezat.

         Suatu ketika seorang tamu malah meminta ibu Ria membuatkan rendang. Ia menyanggupi dan setelah informasi dari mulut ke mulut, banyak tamu hotel yang mulai memesan rendang.

         "Saya melihat peluang usaha yang lebih besar," katanya.

         Ria mulai mempromosikan rendang tersebut melalui berbagai media sosial dan mendapatkan respons cukup baik.

         "Pemesanan rendang bisa mencapai 10 sampai 20 kilogram. Biasanya, para pelanggan menjual kembali rendang tersebut di daerahnya masing-masing," ujarnya.

         Walau menggunakan kursi roda, Ria tidak kesulitan memenuhi pesanan yang datang, menakar bumbu, mencuci daging hingga mengemas rendang yang akan dikirim ke berbagai wilayah di Tanah Air.

         Pelanggan paling banyak berasal dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Semarang. Juga ada pesanan untuk dibawa ke Malaysia dan Filipina. 

"Warga di sekitar juga banyak yang memesan untuk keperluan acara tertentu," ujarnya.

         Untuk menjaga kualitas rasa, ia hanya memproduksi rendang bila sudah ada yang memesan. Biasanya, selama Senin hingga Rabu, ia membuka pemesanan kemudian mulai membuat rendang pada Kamis dan melakukan pengiriman pada Jumat.

         Bila pesanan cukup banyak, Ria mempekerjakan satu hingga dua orang untuk membantu proses pembuatan rendang.

         Sementara, dari segi pengemasan, ia mengemas rendang dengan bungkus plastik dan dimasukkan ke dalam kotak makanan agar aman dan tetap dalam kondisi baik saat sampai ke tangan konsumen.

         Ia menceritakan pesanan akan ramai saat akan memasuki hari libur atau hari besar seperti Idul Fitri.

         "Kalau ada yang akan berangkat liburan ke luar negeri, mereka juga pesan untuk di bawa ke sana antisipasi sekiranya makanan di sana tidak cocok. Saya harap bisa menjadi sarana promosi juga agar kuliner Indonesia makin terkenal di luar negeri," katanya.

         Untuk memberikan kepuasan pada pelanggan, satu kilogram rendang yang dikemas berasal dari satu kilogram daging, tidak termasuk bumbu maupun bahan campuran rendang lainnya seperti kentang atau kacang.

         "Artinya, bila telah dikemas berat total untuk porsi satu kilogram bisa mencapai kira-kira 1,2 hingga 1,5 kilogram, yakni satu kilogram daging dan berat sisanya merupakan bumbu ditambah bahan campuran lainnya, sehingga konsumen puas menyantap daging tersebut," tambahnya.

         Sementara, bila harga daging naik, biasanya ia menghentikan sementara pembuatan rendang karena Ria hanya mematok harga jual Rp250.000 per kilogram.

         "Bila harga jual daging terlalu tinggi, keuntungan yang didapat tidak seberapa. Pelanggan juga memaklumi hal itu," katanya.

         Di samping berbisnis rendang, Ria yang tinggal di Kelurahan Puhun Tembok, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan (MKS), Bukittinggi juga mencoba berjualan baju yang juga dipromosikan melalui media sosial.

         Menurutnya, usaha yang dilakukannya tersebut telah mampu membantunya dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan membantu empat orang adiknya.

Semangat Keluarga

    Ria menceritakan, kecelakaan yang ia alami pada 2003 itu terjadi saat umurnya masih 21 tahun.

         Sebagai anak pertama dari lima bersaudara, ia menjadi tulang punggung keluarga.

         "Akibat kecelakaan itu, berdasar hasil pemeriksaan saya mengalami sejumlah luka robek dan patah tulang punggung ruas ke tujuh hingga 12 yang akhirnya menyebabkan kelumpuhan mulai dari dada hingga kaki," jelasnya.

         Saat itu, keempat adiknya terpaksa berhenti sekolah demi membiayai pengobatannya. Berbagai perabotan rumah tangga juga dijual untuk menambah biaya pengobatan.

         Pada akhirnya, setelah berbagai upaya, pengobatan terpaksa dihentikan dan ia dirawat di rumah oleh adik-adiknya.

         Secara bergantian, adik pertama hingga ketiga membantu mengurusnya sementara yang bungsu diputuskan untuk terus sekolah karena masih duduk di bangku sekolah dasar.

         "Saat itu rasanya begitu berat. Saya punya cita-cita yang tinggi untuk adik-adik saya sehingga memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Apalagi akibat kecelakaan itu, dalam waktu cukup lama saya hanya berbaring di tempat tidur," ujarnya.

         Setelah dibawa pulang dari rumah sakit, ia mengatakan, tidak tahu harus berbuat apa terlebih adik-adiknya masih terlalu muda untuk memahami perawatan apa yang harusnya diberikan kepadanya.

         Terhitung sejak 2003 hingga 2013, dunianya hanya sebatas di tempat tidur saja.

         "Namun semangat dari keluarga selalu menjadi penguat bagi saya. Keberadaan mereka menjadi motivasi untuk bangkit," katanya.

         Pada 2014, ia membaca artikel tentang penderita penyakit yang sama, dari sana Ria mulai belajar melatih diri untuk bergerak dan cara merawat diri bagi penderita paraplegia.

         "Tidak mungkin rasanya hidup terus bergantung pada orang lain. Saya mulai tanamkan pada diri sendiri bahwa harus hidup memberi manfaat pada orang lain paling tidak bagi keluarga sendiri sehingga termotivasi untuk bangkit dan mengingat usia orang tua yang terus bertambah, tentu saya tidak boleh menjadi beban baginya," ujarnya.

         Selain itu, keinginan untuk membahagiakan saudara-saudaranya masih begitu besar sehingga ia rutin melatih tubuh agar aktif bergerak.

         Ria yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Cabang Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Bukittinggi berharap agar siapa pun yang memiliki keterbatasan, tidak membiarkan keterbatasan tersebut sebagai penghalang untuk menjadi lebih maju.

         "Pada intinya, siapa pun harus berpikir yang baik dan melakukan yang terbaik karena setelahnya ada hal baik pula yang mengikuti," ujarnya.

         Untuk usaha rendangnya, ia berharap, semakin banyak konsumen yang meminati bahkan para pengusaha rendang lain bisa turut penasaran mencicipi rendang olahan ia dan ibunya.

         Seorang konsumen, Kurnia, mengatakan rendang produksi Ria memang terasa nikmat.

         "Bumbunya meresap ke dalam daging. Dagingnya pun lembut dan rasa pedasnya pas," katanya.

         Ia berharap, Ria dapat terus menjalankan usahanya walau dalam keterbatasan dan semangatnya menular bahkan bagi mereka yang dalam kondisi normal. (*)

Pewarta : Ira Febrianti
Editor :
Copyright © ANTARA 2024