Sawahlunto, (Antara) - Sejumlah aktivis pegiat antikorupsi meragukan komitmen penyidik dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi di Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat.
"Pergerakan yang jelas dan terukur nyaris tidak terlihat baik oleh penyidik di lembaga kepolisian resor atau kejaksaan negeri di sini, jika ada prosesnya sangat lama dan seringkali hilang begitu saja seiring mengendur kontrol masyarakat terhadap kasus-kasus yang sempat mencuat ke permukaan," kata salah seorang pegiat antikorupsi dari LSM PEKAT Indonesia Baru Reza Trianova, saat dihubungi di Padang, Minggu.
Kasus-kasus tersebut, lanjutnya, antara lain dugaan penyelewengan dana penyertaan modal sebesar Rp1 miliar lebih kepada salah satu perusahaan daerah kota itu, PT Lembu Betina Subur (LBS) Sawahlunto, dan permasalahan pengerjaan proyek infrastruktur pengendali banjir dengan total anggaran sebesar Rp6,3 miliar.
Menurutnya, seluruh kasus tersebut dalam proses selanjutnya hampir dipastikan menemui jalan buntu dengan alasan yang dikemukakan beragam dan sulit diterima akal sehat, seperti lemah barang bukti, tidak bersedia pihak terperiksa menyerahkan dokumen pendukung, dan lain sebagainya.
Selain itu, ujar dia, tidak berdaya para pejabat yang duduk di lembaga legislatif, juga menjadi salah satu faktor lemah penegakan hukum di kota ini.
"Kami sering mendengar bagaimana para pejabat publik di lembaga tersebut memilih untuk bungkam dan melakukan pembiaran terhadap permasalahan yang terjadi hanya semata-mata takut menerima akibat secara politik apabila mereka turut berkomentar atau memberikan pendapat terkait kinerja lembaga penyidik dalam mengungkap kasus - kasus yang ada," ujarnya lagi.
Pegiat antikorupsi lainnya dari LSM FORTARAN Sumatera Barat Yuheldi Nasution SH menilai, masih lamban penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kota Sawahlunto juga dapat dikategorikan sebagai bentuk lain melakukan tindakan melawan negara yang dilakukan secara bersama-sama.
"Bagi masyarakat luas, pelanggaran HAM yang terjadi itu bisa berlaku dalam rentang waktu yang panjang, sebagaimana ditegaskan dalam kesepakatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia," kata dia.
Sedangkan bagi individu yang diduga sebagai pelaku kejahatan tersebut, ujarnya pula, mereka tidak bisa menggunakan hak-hak mereka selaku orang yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum terkait upaya melakukan pembelaan diri.
Menurutnya, pembiaran oleh lembaga legislatif serta penerapan proses hukum oleh penyidik dengan mengabaikan hak-hak individu orang yang diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut merupakan bentuk arogansi kekuasaan yang dilancarkan penguasa.
Tindakan itu, katanya lagi, sudah bisa dikatakan menjadi bentuk perbuatan teror pemerintah terhadap warga negaranya sendiri. (*)