Sawahlunto, 19/3 (AntaraSumbar) - Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto, Sumatera Barat, menggelar Workshop Seni Tradisi "Randai" yang diikuti oleh perwakilan 13 kelompok kesenian Randai kota itu, Sabtu.
"Kegiatan ini merupakan langkah persiapan jelang dilaksanakannya Festival Randai Kota Sawahlunto yang direncanakan berlangsung pada 29 April 2016," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Efri Yanto di Sawahlunto, Sabtu,
Menurutnya, dengan mengikuti kegiatan tersebut maka seluruh peserta bisa memiliki pemahaman yang sama dan mampu melahirkan kesepakatan terkait materi penilaian pada festival itu nantinya.
Disamping itu, peserta juga dapat menimba ilmu dan pengalaman dari narasumber yang memiliki kualitas dan kemampuan yang terukur dalam membumikan seni tradisi khas Suku Minangkabau tersebut, sehingga bisa diterapkan dalam kemasan pertunjukan Randai masing-masing kelompok agar lebih menarik dan semakin layak ditampilkan.
Efri mengaku minat masyarakat semakin berkembang terhadap kesenian yang merupakan gabungan cerita, seni peran, seni musik dan gerakan bela diri aliran Silat khas suku-suku di Sumatera Barat tersebut.
"Salah satunya terlihat dari mulai munculnya kreasi-kreasi baru dalam penampilan masing-masing kelompok seni Randai baik dalam cerita yang dibawakan, musik dan dendang yang mengiringi penampilan para pemeran tokoh dalam kisah yang dimainkan serta variasi gerakan pun sudah mulai dikemas lebih menghibur dan modern," jelas dia.
Ia berharap kegiatan tersebut mampu membentuk karakter serta keberanian dalam melakukan inovasi para pelaku seni tradisi tersebut dalam mempertahankan nilai-nilai seni tradisi ditengah derasnya arus perubahan yang melanda dunia kesenian khususnya seni tradisi nusantara.
Sementara itu, salah seorang budayawan Sumatera Barat yang tercatat sebagai dosen salah satu perguruan tinggi ternama bidang kesenian di provinsi itu, Zulkifli Dt Sinaro Nan Kuniang S Kar M Hum, yang hadir sebagai narasumber pada kegiatan tersebut, mengatakan seni tradisi Randai diawali dengan adanya penampilan rombongan kesenian bangsawan Melayu dari Kerajaan Malaka, yang menampilkan sebuah bentuk kesenian merupakan gabungan antara seni peran dan seni karawitan pada tahun 1920.
"Kesenian tersebut diperagakan kepada seluruh kelompok masyarakat etnis Melayu yang ada di Asia, termasuk suku Minangkabau di Sumatera Barat, dan menjadi cikal bakal lahirnya sejumlah aliran kesenian sejenis oleh kelompok ras melayu seperti Randai di Sumatera Barat, Dul Muluk di Sumatera Selatan serta seni Ketoprak, Ludruk dan Lenong di Pulau Jawa," kata dia.
Bahkan, lanjutnya, penampilan kesenian oleh bangsawan melayu tersebut juga dipercaya telah menginspirasi budayawan dan ahli tata bahasa pada masa itu, untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai cikal bakal penyusunan Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan negara Republik Indonesia setelah dicetuskan pada teks Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928.
Dia mengatakan khusus untuk seni tradisi Randai dalam bentuk pertunjukan teaterikal yang dikenal saat ini merupakan hasil kesepakatan para pelaku seni tradisi tersebut dalam kegiatan Sarasehan Randai yang diselenggarakan di Batu Taba Kabupaten Agam, pada 1972.
"Dalam kesepakatan tersebut dijelaskan ada empat unsur dasar yang harus ditampilkan dalam sebuah seni tradisi Randai, yakni kisah yang diceritakan atau biasa disebut dengan "Kaba", dialog dan akting, cerita yang dinyanyikan atau "Gurindam" serta gerak melingkar atau biasa disebut dengan "Galombang"," jelasnya.
Selain itu, untuk dendang yang dibawakan juga sudah disepakati sebanyak tiga jenis yaitu dendang pembuka atau "Pasambahan" yang dimainkan adalah Dendang Dayang Daini, sebagai pengantar pada saat kisah dimainkan maka dendang yang digunakan adalah Dendang Simarantang Randah dan pada bagian penutup penampilan adalah Dendang Simarantang Tinggi.
Dia berpendapat, ketika seluruh unsur itu sudah ada dalam penampilan kesenian tersebut maka sudah bisa dinamakan dengan Randai, tanpa harus membedakannya dalam kelompok Randai tradisi atau kreasi seperti lazim dilakukan oleh generasi sekarang.
Menurutnya, penambahan unsur komedi, musik dan tarian atau variasi gerakan silat yang membuat sebuah kreasi Randai menjadi lebih hidup dan menarik untuk ditonton, pada dasarnya belum bisa dikatakan hal itu merupakan sebuah Randai kreasi baru sepanjang unsur - unsur pendukung utama kesenian itu tetap dibawakan.
"Pelaku seni tradisi Randai dituntut mampu menyesuaikan kreasi yang ditampilkan dengan situasi dan perkembangan seni setiap era atau zaman dan tetap mempertahankan nilai tradisi yang menjadi unsur utama kesenian ini, jika tidak demikian maka Randai akan semakin tidak diminati dan lambat laun keberadaannya akan punah akibat tidak mampu lagi bersaing dengan kesenian modern lainnya," kata dia.