Ibarat bunga yang tak kunjung mekar, begitulah penggambaran untuk pengrajin tikar pandan di Nagari (desa) Gando Paninggahan Jujung Sirih, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar).

         Bagaimana tidak, di tengah semangat-semangatnya pengrajin tikar pandan itu memproduksi dan promosi ternyata terkendala penjualan karena pewarnaan yang tidak tahan lama.

         Kendala pewarnaan membuat mereka pun kesulitan untuk mengeskpor produknya, membuat semakin melemahkan semangat pengerajin untuk selalu konsisten berproduksi. Mungkinkah dengan adanya kendala pewarnaan merupakan bukti dari tidak konsistennya pengrajin?

    Sentral pengrajin tikar pandan di Kabupaten Solok, terletak di Nagari Paninggahan. Nagari ini berada 5 kilometer dari Jalan Lintas Padang-Jambi. Untuk mencapai nagari itu, harus menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam lamanya dengan kondisi jalan berkerikil.

         Hal pertama yang bisa kita saksikan saat memasuki nagari itu adalah hamparan sawah yang ketika berkunjung ke sana sedang menguning, menandakan akan masuknya musim panen. Tidak hanya itu, suguhan warna biru dari air Danau Singkarak membuat pemandangan mata tambah berwarna.

         Ketika memasuki nagari itu, tidak akan terlihat geliat para pengrajin tikar pandan. Barulah terlihat saat telah masuk ke dalam rumah-rumah kecil milik warga, gelaran tikar setengah jadi yang tengah dianyam oleh pengrajinnya, serta tumpukan bergulung-gulung tikar, dan jenis produk anyaman lain terlihat.

         Misnawati merupakan salah seorang pengrajin tikar pandan, yang memulai usaha tikar pandan ini sejak tahun 1992. Perempuan berusia 50an tahun ini memulai usahanya diawali dari kecintaanya pada kegiatan menganyaman helaian daun pandan sejak kecilnya.

         "Keluarga saya memang keluarga menganyam pandan, sebab itu saya terbiasa dan menyukai kegiatan ini," katanya.

         Begitu banyak tanaman pandan yang tumbuh di nagarinya, membuat rata-rata penduduk di sana bermata pencarian sampingan sebagai pengrajin anyaman tikar pandan. Termasuk diantaranya Misnawati, yang hingga kini telah memiliki 10 anak pengrajin tetap di bawahnya.

         Mis, panggilan Misnawati, berpendapat bahwa kerajinan tikar pandan tradisonal, merupakan produk yang mempunyai nilai kerja dan keekonomisan yang tinggi. Kekhasan dan keunikan yang dimiliki oleh anyaman tikar pandan membuat banyak orang menyukai produk ini.

         Sehingga, ibu dari seorang putra ini, menjelaskan bahwa pengrajin tikar pandan merupakan salah satu komponen terpenting dalam sebuah sistem produksi industri di Sumbar.

         Wanita yang pernah menjadi instruktur pada pelatihan anyaman tikar pandan di beberapa kabupaten di Sumbar ini mengakui bahwa dalam memajukan industri anyaman tikar pandan, memang perlu mendapatkan perhatian dan dukungan dari pemerintah.

         Melalui berbagai pelatihan dan program pengembangan industri anyaman tikar pandan yang terfokus pada penyelesaian masalah pengrajin, setidaknya dapat memberikan secerca sinar bagi pengerajin, katanya.

         Diakuinya, pengrajin tikar pandan di Paninggahan saat ini menemui kesulitan mengekspor produknya karena pewarnaan yang tidak tahan lama.

         "Pada pewarnaan tikar pandan tidak bisa dijadikan satu warna karena setiap helai daun memiliki kadar air yang berbeda, sehingga hasil jemuran tidak serupa warnanya," katanya.

         Mis mengakui persoalan tersebut membuatnya kesulitan dalam bersaing dengan produsen besar.

         "Pewarnaan menjadi salah satu kendala kami dalam memasarkan produk ke luar negeri," katanya.

         Ia mengungkapkan dalam pewarnaan lembaran daun pandan yang telah dikeringkan dan siap untuk diwarnai, tidak semua helaian tersebut menghasilkan warna yang serupa meski nantinya akan dicampurkan dengan warna sama.

         Hal tersebut karena proses pembuatan bahan baku mulai dari tahap awal hingga tahap akhir atau pewarnaan dilakukan secara manual dengan takaran yang disesuaikan sendiri.

         Oleh sebab itu, hasil yang didapatkan, dalam satu warna berbeda-beda, ada yang terlalu tua warnanya dan ada yang muda.

         "Contohnya, saya memberikan warna ungu pada beberapa lembaran daun yang sudah siap diwarnai, namun hasil yang didapatkan, berwarna ungu tua hingga ungu muda," katanya.

         Tidak hanya itu, hasil produk anyaman tikar pandan yang sudah mengalami pewarnaan juga tidak bisa bertahan lama apabila tidak dilakukan penyimpanan secara khusus, seperti dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan pada lemari yang sejuk.     

    Dengan kondisi itu, membuat pasar di luar negeri tidak menyukai hasil produk tersebut.

         Karena itu, ia sangat membutuhkan pelatihan tentang bagaimana cara pewarnaan yang baik sehingga menghasilkan kualitas warna yang seragam dan bertahan lama.

         Ia bersama 100 pengrajin tikar pandan di Paninggahan, tetap optimis untuk bersaing di pasar lokal.

Tak Lakukan Tahapan yang Dianjurkan

    Pada kesempatan terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PUMKM) Dinas Koperasi dan UMKM (Diskop dan UMKM) Sumbar, Desmadi Idrus mengatakan akan menindaklanjutinya kendala pewarnaan dihadapi pengrajin dengan langsung menemui laboratorium industri.

         "Kami akan tindaklanjuti segera untuk berkonsultasi ke laboratorium industri mengenai bagaimana cara pewarnaan kimia yang dapat bertahan lama dan sewarna," katanya.

         Diakuinya, pihaknya sangat memfokuskan penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh UMKM terutama yang dibinanya agar mereka terus bersemangat dalam pengembangan industrinya.

         Sekali seminggu pihaknya juga akan turun ke lapangan, dengan tujuan mendapatkan secara riil permasalahan yang dihadapi UMKM sehingga dapat secepatnya terpecahkan, dan tidak menjadi hambatan permanen.

         Sementara itu, hal yang berbeda didapatkan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumbar.

         Kepala Bidang Industri Non Agro, Rinaldi mengatakan bahwa kendala yang dijumpai oleh pengrajin tikar pandan Paninggahan tersebut dikarenakan pengrajin tidak melakukan tahapan dalam proses pewarnaan yang benar, sehingga tidak mengejutkan kalau pewarnaan mereka tidak bertahan lama dan tidak sewarna.

         "Mereka seharusnya paham akan kondisi ini, namun sejatinya mereka tidak konsisten akan usaha tersebut, jadi kebanyakannya asal jadi saja," katanya.

         Rinaldi melanjutkan, begitu banyak pewarna untuk industri anyaman ini yang bisa bertahan lama. Dimana zat pewarnanya memang dikhususkan untuk mewarnai barang-barang industri yang termasuk dalam kategori tekstil, termasuk bahan yang terbuat dari pandan  tersebut.

         Ia mengatakan bahwa kebanyakan para pengrajin tersebut tidak menggunakan zat pewarna yang seharusnya digunakan untuk pewarnaan tikar.

         Ia mengakui, bahwa zat pewarna kimia untuk tekstil bisa digunakan juga untuk pewarna pandan, sehingga hasil warna yang didapatkan dapat bertahan lama.

         "Ya, untuk zat warna seperti Naphtol, Indigosol dan lainnya yang khusus digunakan oleh pengrajin tektil, harganya mahal. Namun kalau menggunakan koperasi hal tersebut bisa menjadi ringan," katanya.

         Oleh sebab itu, ia menganjurkan agar para pengrajin tikar pandan di Paninggahan untuk membentuk kelompok pengerajin atau koperasi, sehingga permasalahan yang ditemui dapat dipecahkan bersama-sama.

         "UKM tersebut haruslah serius dalam melakukan industrinya, mulailah berpikir bagaimana cara mengembangkan industri tersebut secara berkelompok, dengan pemberdayaan berbasis kelompok ini, saya pikir permasalahan apapun dapat terselesaikan, termasuk kedalamnya pemerintah juga bisa merespon nya," katanya.  (*)


Pewarta : Wira Hospita
Editor :
Copyright © ANTARA 2024