Pada November tahun lalu, lembaga perlindungan hak asasi anak yang bermarkas di Belanda Terre des Homme, mengeluarkan siaran pers yang berhasil mengidentifikasi sekitar 1.000 predator seksual di dunia maya.
Melalui karakter rekaan bernama Sweetie, para peneliti lembaga itu menjebak pria dewasa pengidap pedofilia yang mencari korban pelecehan seksual atau predator melalui fasilitas kamera web.
Penelitian selama 10 pekan, berhasil mengidentifikasi pria dewasa yang memaksa Sweetie untuk beradegan seksi di depan kamera web itu. Sebanyak tiga pelaku itu berdomisili di Indonesia.
Manajer Terre des Homme untuk Indonesia, Sudaryanto, mengungkapkan kekhawatiran kejahatan yang dilakukan oleh predator tersebut semakin meningkat.
"Anak-anak Indonesia sangat rawan diburu predator," kata Sudaryanto.
Penyebabnya, Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan tingkat kekerasan seksual terhadap anak-anak. Pada 2005, Indonesia ada di peringkat ketujuh, pada 2007 di peringkat kelima, dan menjadi peringkat ketiga di 2009.
Kemudian, sepertiga pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak. Selain itu, pengguna internet di Indonesia sejak tahun 1998 naik 1.000 persen. Dari 500.000 pengguna internet di 1998, menjadi 55,2 juta pengguna internet di 2012.
Empat bulan setelah hasil penelitian tersebut disebarluaskan, kekhawatiran mengenai adanya predator seksual yang memangsa anak-anak di Tanah Air menjadi kekhawatiran.
Seorang anak berumur lima tahun, murid Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS), AK, mengalami pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pekerja alih daya yang bertugas menjaga toilet.
Saat itu korban yang hendak buang air kecil mendapat perlakuan tak senonoh sehingga kini mengalami trauma berat.
Pihak kepolisian telah menahan Agun Iskandar dan Virgiawan Amin alias Awan, yang diduga sebagai pelaku. Mereka dijerat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 82 tentang Pencabulan Anak di Bawah Umur, dengan ancaman 15 tahun penjara.
Polisi juga memeriksa dua orang petugas keamanan lainnya, AJ dan ZA, yang diduga melakukan pelecehan serupa.Untuk mencari sumber virus herpes yang menjangkit tubuh korban. Virus itu tidak ditemukan di tubuh dua orang tersangka.
Mengejutkan
Kasus yang menimpa AK tersebut sangat mengejutkan, pasalnya sekolah itu mempunyai penjagaan yang ketat dan dilengkapi 400 kamera pengawas di lingkungannya.
Menurut penuturan ibu korban, setiap bulan ia membayar uang sekolah sebesar Rp20 juta.Tetapi hal tersebut tidak menjamin keselamatan anaknya. Apalagi, kemudian diketahui sekolah itu tidak berizin atau ilegal.
Belakangan juga terkuak, bahwa kasus pelecehan seksual di sekolah itu bukan pertama. Hasil investigasi tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menunjukkan bahwa kasus itu sudah bertahun-tahun terjadi.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Usia Dini Non-Formal dan Informal Kemdikbud, Lydia Freyani Hawadi, mengatakan selama ini orangtua murid lebih memilih diam.
Berbeda dengan ibu AK, yang asli Surabaya, ibu-ibu korban lainnya memilih bungkam dan hanya berkomunikasi dengan pihak sekolah melalui surat elektronik.
Sekolah juga membiarkan siswa berpakaian bebas dan minim. Seharusnya, kata Lidya, sekolah harus membimbing siswa agar berpakaian rapi dan sopan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh meminta Kemdikbud untuk mengaudit sistem pendidikan di JIS.
"Ada laporan dari orangtua murid yang menggambarkan lingkungan sekolah yang memicu tindak kekerasan seksual. Di sekolah itu, ciuman dengan lawan jenis di area publik merupakan hal yang biasa," ujar Ni'am.