Bengkulu, sejak penelitian "Tsunami Investigation using Deep Seismic Evaluations" (TIDES) pada 2009, dikenal sebagai daerah rawan bencana gempa bumi yang berpotensi terjadinya tsunami.

        Memang penelitian TIDES yang bisa mencitrakan struktur sumber kegempaan hingga kedalaman 50 kilometer di bawah permukaan laut menemukan adanya rangkaian gunung bawah laut di lepas pantai Bengkulu.

        Kendati demikian, masih ada beberapa masyarakat Indonesia yang salah menilai bahwa gunung bawah laut yang berada di perairan Bengkulu itu sebagai gunung api aktif yang berpotensi untuk erupsi serta menimbulkan gempa besar.

        "Setahu saya gunung yang ada di bawah laut Bengkulu itu tinggi dan aktif serta sering menimbulkan gempa," kata Syaifullah Yusuf yang mengunjungi LIPI Expo di Bengkulu, Jumat (27/9).

        Syaifullah yang berstatus sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Bengkulu mengatakan baru mengetahui jika rangkaian gunung bawah laut yang ada di perairan Bengkulu bukanlah gunung api masif seperti Gunung Krakatau di perairan selatan Lampung.

        Dalam LIPI Expo tersebut Syaifullah mendapat penjelasan dari sejumlah peneliti asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai struktur geologis dan pengenalan bahaya bencana di Bengkulu.

        "Dengan datang ke LIPI Expo, kami jadi mengetahui jika gunung itu tidaklah aktif. Selain itu masyarakat juga bisa mendapat pengetahuan tentang kegempaan dan dihibur dengan 'disaster games'," kata Syaifullah.

        Sementara itu, Pakar Geologi LIPI Hery Harjono dalam penjelasannya di Seminar Hasil Riset LIPI mengungkapkan bahwa rangkaian gunung bawah laut yang terbentuk merupakan akibat dari lempengan bumi yang terdorong oleh tekanan magma.

        "Proses terbentuknya gunung bawah laut di lepas pantai Bengkulu bukanlah melalui letusan atau ledakan dahsyat melainkan melalui proses peleleran magma di zona lemah kerak samudera," kata Hery.

        Dia mengatakan bahwa lempengan bumi yang bergerak mengarah ke Pulau Sumatera dari wilayah Samudera Hindia membentuk gundukan ke atas karena dorongan magma dari dalam bumi.

        Gundukan tersebut lama kelamaan mendekati daratan Sumatera karena pergeseran lapisan kerak bumi.

        Area dorongan magma dari perut bumi yang tidak berpindah menyebabkan terbentuknya gundukan yang menciptakan gunung bawah laut lain di belakang gunung pertama yang terbentuk.

        "Adanya rangkaian gunung bawah laut itu juga menjadi penanda bagi peneliti tentang arah pergerakan lempeng bumi," kata Hery yang menambahkan kecepatan pergerakan lempeng bumi di wilayah barat Sumatera adalah sekitar 5 centimeter per tahun.

        Dia menambahkan bahwa pencitraan seismik penetrasi menunjukkan adanya struktur gunung bawah laut yang telah terseret masuk ke dalam zona subduksi di bawah dasar laut di utara Pulau Enggano pada kedalaman 30 - 40 kilometer.

        Kendati demikian, Hery menjelaskan bahwa tidak ada aktifitas kegempaan yang teramati baik di atas maupun di bawah gunung laut yang tersubduksi atau melesap ke dalam lempengan bumi itu.

<b>Keliru</b>

   Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Prof. Iskandar Zulkarnain mengatakan masyarakat selama ini keliru mengartikan gunung bawah laut sebagai gunung api yang berbahaya.

        "Kami pastikan bahwa gunung bawah laut bukan gunung api yang akan menghasilkan erupsi maupun letusan berbahaya di Sumatera," kata Iskandar.

        Dia menjelaskan gunung bawah laut yang ada di Bengkulu memiliki ketinggian sekitar 3.000 meter dengan diameter sekitar 56 kilometer persegi.

        Namun, kehadiran rangkaian gunung bawah laut di Bengkulu juga memberikan keuntungan lain, yakni banyaknya ikan yang melakukan pemijahan di area tersebut.

        "Itu karena ikan melakukan pemijahan di wilayah yang berair hangat seperti contohnya ikan sidat. Mereka akan memijah di wilayah gunung bawah laut dan kembali ke wilayah muara Bengkulu setelah mereka dewasa," kata Iskandar.

        Dia mengatakan selama ini persepsi masyarakat tentang keberadaan gunung api di perairan Bengkulu adalah keliru.

        Masyarakat harus bisa mengerti perbedaan antara gunung api dengan gunung bawah laut sehingga tidak membuat kepanikan, jelas Iskandar.

<b>BPBD Antisipasi Bencana</b>

   Kendati LIPI menjelaskan gunung bawah laut bukanlah gunung api yang memiliki tipe ledakan masif, namun lempeng yang ada di bawah laut barat Sumatera tetap mengalami pergeseran yang menyebabkan terjadinya gempa bumi.

        Tumbukan di bawah laut tersebut menyebabkan gempa bumi karena pertemuan lempeng di bawah Samudera Hindia dengan daratan Sumatera.

        Hal itu disadari oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Bengkulu sehingga lembaga itu melakukan berbagai persiapan terbaik dalam penanggulangan bencana.

        Kepala Bidang Pra-Bencana BPBD Bengkulu, Ahmad Devi, mengatakan kendati tidak ada potensi gempa akibat gunung bawah laut, namun lembaganya tetap bersiap seandainya terjadi bencana gempa bumi di Sumatera dengan menyiapkan sirine serta tempat pengungsian darurat.

        "Jika sirine berbunyi menandakan telah terjadi gempa yang berpotensi tsunami, maka penduduk telah dilatih untuk mengikuti jalur evakuasi yang telah kami tentukan," kata Ahmad kepada Antara.

        Selain itu, Ahmad mengatakan pemerintah provinsi Bengkulu juga telah membangun tembok pemecah tsunami sepanjang 15 kilometer di tepi Pantai Panjang.

        Pemecah gelombang tersebut dibangun di sepanjang pantai wisata di Bengkulu untuk melindungi wisatawan jika terjadi gelombang tsunami kecil.

        "Insya Allah tsunami dengan ketinggian sekitar lima meter akan terhalangi oleh pemecah gelombang itu sehingga tidak akan membahayakan penduduk yang berada di pesisir pantai ini," kata Ahmad.

        Lembaga tersebut juga sedang menunggu anggaran dari pemerintah provinsi untuk mendirikan menara penampungan darurat (shelter) di tepi Pantai Panjang.

        "Untuk shelter kami berharap tahun ini bisa membangunnya dengan anggaran dari pemerintah provinsi," jelas Ahmad.

        Hal yang diharapkan BPBD Bengkulu adalah dengan melakukan persiapan sematang mungkin sebelum bencana itu datang merupakan hal yang wajib menjadi prioritas ketimbang terenggutnya korban jiwa akibat ketidaktahuan dalam menanggapi bencana. (*/jno)


Pewarta : Bayu Prasetyo
Editor :
Copyright © ANTARA 2024