Padang, (ANTARA) - Program pengembangan lumbung pangan kembali digencarkan pemerintah pusat sejak beberapa tahun terakhir, dalam upaya penguatan petani. Bagi kalangan petani di Sumatra Barat, tentu bukan suatu hal yang baru dalam menjalankan program Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) tersebut, karena dianggap mengulang kaji lama yang telah pernah diwariskan. Pada tempo dulu di setiap rumah gadang Minangkabau, terdapat bangunan kecil yang bergonjong di sisi kiri atau kanan arah halaman rumah gadang yang dikenal dengan rangkiang. Rangkiang merupakan lumbung tempat menyimpan padi milik kaum adat khas di Minangkabau, pengawasan pada mamak, dan kekuasaan penuh dipegang Bundo Kanduang. Bangunan rangkiang memiliki pintu kecil yang terletak di bagian atas dari salah satu dinding. Bahkan, ada empat macam lumbung/rangkiang di Minang, yang fungsinya satu sama lain berbeda-beda. Rangkiang Sitinjau Laut yang gabah (padi) disimpan di sana kegunaan untuk kebutuhan keluarga, misalnya membeli kebutuhan rumah tangga yang tak dapat dibuat sendiri. Kemudian ada rangkiang Si Bayau-bayau, guna menyimpan padi usai panen dan dapat digunakan untuk kebutuhan sehar--hari keluar di rumah gadang tersebut. Selanjutnya rangkiang Si Tangguang Lapar, tempat menyimpan padi cadangan yang dapat digunakan pada musim paceklik, baik disebabkan terjadi bencana alam maupun peperangan. Berikutnya rangkiang yang khusus untuk menyimpan benih masa tanam berikutnya, disebut rangkian kecil. Rangkiang atau lumbung padi di Minang multifungsi, bukan saja hanya disegi aspek sosial ekonomi, tapi juga politik. Program pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) oleh pemerintah pusat, kini mendapat tanggapan cepat dari petani. Keberadaan LPM yang sasarannya kelompok tani di kabupaten dan kota di Sumbar mulai dirasakan manfaatnya terutama dalam situasi terjadinya bencana alam. Kelompok tani sudah mulai merasakan manfaatnya LPM, karena saat menghadapi masa paceklik atau bencana tidak terlalu banyak membutuhkan bantuan, kata Petugas Pendamping LPM Palito, Lakitan, Kecamatan Lengayang Pesisir Selatan, Zaiful Asni baru-baru ini. Anggota kelompok Pelito ada pula yang terkena dampak bencana banjir bandang pada November 2011, namun tidak terlalu banyak membutuhkan bantuan. Konsep dalam pengembangan LPM bahwa saat masa paceklik anggota bisa meminjam untuk melanjutkan usaha pertaniannya. Namun, hingga kini belum ada terjadi serangan hama atau gagal panen sejak berdirinya LPM pada 2010. "Setiap petani yang masuk kelompok tani sepakat untuk menitipkan sebanyak satu karung gabah kering giling panen (GKP) ke LPM," katanya. Pola itu diterapkan sebagai modal dasar bagi kelompok dalam pengembangan LPM, sehingga saat ini GKP yang berada pada gudang LPM sebanyak 80 karung atau setara 4.000 kilogram. Biasanya, kata Asni, GKP ditaruh dalam gudang paling lama dua bulan dan harus dijual ke pedagang, karena apabila dibiarkan lama waktunya di gudang bisa berjamur. Selain itu, GKP dijual apabila ada tanda-tanda rusak, meskipun dalam keadaan tersebut harga belum memberi untung kepada kelompok. Kelompok Palito sejak menjalankan program LPM, sudah mendapatkan dua kali kucuran dana bantuan dengan sistem grand dan langsung ke rekening kelompok setiap tahap sebesar Rp20 juta. Ia menjelaskan, dana tersebut dipergunakan LPM untuk membeli gabah anggota dan masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Khusus di nagari (desa adat) Lakitan terdapat seluas 310 hektare sawah masyarakat. Petugas Pendamping Kelompok Napa Sepakat di Solok, Eli Marni mengatakan petani mulai merasakan pentingnya LPM, meskipun sejak dua tahun terakhir tak ada kejadian serangan hama maupun bencana. Kini GKP yang tersedia di gudang LPM Kelompok Napa Sepakat sebanyak 3.770 kg yang ditumpuk sejak Juli lalu, karena belum ada dijual sebab memasuki masa tanam. Dana tahap awal sudah dibelikan ke GKP dan masih tersisa sekitar Rp2 juta di rekening pengurus dan dana tahap dua belum dapat dicairkan karena belum banyak petani yang panen di sentra itu. Jumlah Kelompok Napa Sepakat sebanyak 19 orang, dan LPM ini sudah pernah menjual GKP dan hasil kotornya berkisar Rp5 juta sampai Rp6 juta. Ia mengatakan, kini harga GKP pada tingkat petani di sentra Bukit Sundi, Kabupaten Solok, berkisar Rp5.000 sampai Rp6.000 per sukek (setara satu kilogram beras). LPM yang dikembangkan kelompok tani di Sumbar, jumlahnya tentu bukan dua kelompok tani itu, tapi setidaknya sampai sekarang sudah puluhan. Perkembangan LPM dilihat bukan saja sebatas sosial tetapi sudah masuk ke aspek ekonomi, hanya saja bagaimana instansi terkait di daerah memberikan perhatian lebih fokus lagi terhadap kelompok tani. Program pengembangan LPM, tentulah sejalan dengan program pemerintah untuk mencapai target swasembada beras dan ketahanan pangan nasional. Multistrategi Wujud dari dukungan pemerintah daerah itu dilihat dalam bentuk nyata dengan multistrategi yang diusungnya. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno beberapa bulan terakhir begitu gencar mendatangi kelompok tani di kabupaten dan kota, seperti di sentra Pasaman Barat, Limapuluh Kota, Sijunjung dan Tanah Datar. Rata-rata produksi lahan sawah petani yang telah tergabung dalam Sekolah Lapangan Pengolahan Tani Terpadu (SLPTT) mencapai 7,2 ton/hektare, kendati sebelumnya hanya 4-5 ton/hektare. "Kita sudah menyiapkan berbagai program untuk mendorong petani untuk meningkatkan produksi beras. Bukan saja mendorong SLPTT tetapi ada stimulan dana kontigensi dan stimulan cetak sawah baru, serta mengajak ulama untuk menyampaikan kurangi konsumsi beras," kata gubernur. Paradigma petani dalam pola tanam padi diminta diubah, bagi yang masih sekali tanam agar dapat dilaksanakan dua kali tanam setahun. Menurut dia, dengan memaksimalkan potensi pertanian, Insya Allah ke depan bisa terjadi peningkatan produksi lahan sawahnya. Perlu ada pendekatan yang konsisten dari para petani, agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam setiap panen, baik itu dari pemilihan bibit, perawatan, maupun pemeliharaan. Peningkatan produksi padi atau beras setiap tahun pun perlu ditingkatkan, mengingat terjadinya peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, sehingga ketahanan pangan masyarakat bisa terus terjamin dengan baik. Selain itu, sebagai salah satu provinsi penyangga produksi padi nasional, kata gubernur, maka harus bisa surplus beras dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional. Dalam rangka menyukseskan program surplus 10 juta ton beras pada 2014, saat ini Sumbar telah menyumbang sebanyak 600 ribu ton. Kini hanya tinggal sebanyak 250 ribu ton lagi dari target yang diberikan pemerintah sebanyak 850 ribu ton. Maka dua tahun ke depan harus dipacu pencapaian yang tersisa tersebut. Pembangunan pertanian di Sumbar menjadi prioritas, karena merupakan tulang punggung ekonomi dan telah terbukti sebesar 23,84 persen sumbangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi setiap tahun. Beberapa arah kebijakan yang perlu dilakukan, antara lain swasembada pangan, diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing, peningkatan penyejahteraan petani dan pemberdayaan SDM pertanian. Sawah Baru Lahan rawah yang masih terlantar jangan disia-siakan dan manfaatkan untuk mencetak sawah baru, karena kelompok tani akan diberi stimulan Rp3 juta/hektare. Kepala Dinas Pertanian Sumbar, Djoni mengatakan program cetak sawah baru, telah dimulai sejak tahun seluas 850 hektare. Pada 2012 ditargetkan seluas 2.500 hektare, saat ini sudah selesai sekitar 650 hektare. Sentra program cetak sawah baru pada tahun ini pada empat kabupaten, yakni Dharmasraya seluas 1.100 hektare, Pesisir Selatan seluas 1.050 ha dan Solok Selatan dan Agam masing-masing seluas 50 hektare. Ia mengatakan, target penambahan luas sawah baru di Sumbar sampai 2015 mencapai 8.250 hektare, dengan rata-rata 2.000 ha/tahun, dan tersebar pada sejumlah kabupaten/kota. Sementara target surplus beras Sumbar sampai 2015 sebesar 895.441 ton dan optimistis dapat dicapai apabila mampu menekan 2,5 persen konsumsi beras setiap tahun. Jadi, dengan target tersebut sehingga Sumbar punya ketersediaan beras untuk pada 2015 sebanyak 1.471.542 ton dengan konsumsi normal sebesar 637.131 ton. Jika mampu menekan konsumsi 2,5 persen atau sebesar 576.100 ton, maka surplus sebanyak 895.441 ton pada empat tahun ke depan, artinya cukup tinggi konstribusi terhadap surplus nasional dibandingkan provinsi lain. Namun, apabila target menekan konsumsi 2,5 persen tak berjalan sesuai rencana, maka surplus beras secara normal sebesar 834.411 ton pada 2015. Djoni menjelaskan, sedangkan target pada 2014 surplus beras Sumbar berada pada posisi 860.663 ton dengan menekan konsumsi 2,5 persen. Jika penekanan konsumsi tak terwujud, maka surplus normalnya diproyeksikan mencapai 814.911 ton dengan beras tersedia sebanyak 1.443.844 ton. Surplus beras Sumbar pada 2011, katanya, sudah mencapai 663.788 ton setelah ditekan 2,5 persen dengan ketersedian beras sebesar 1.268.535 ton. Sedangkan pada 2012 ditargetkan ketersediaan beras sebanyak 1.363.172 ton, dari jumlah tersebut surplus sekitar 765.621 ton setelah ditekan konsumsi 2,5 persen. Menurut dia, upaya pencapaian target per tahun tersebut, makanya berbagai program pendukung telah dan sedang dilaksanakan. Dalam sebulan terakhir Pemprov Sumbar telah mulai menyalurkan dana kontigensi atau peningkatan produksi beras untuk 880 kelompok tani tersebar di sentra padi daerah ini. Dana yang bersumber dari APBN itu, kata Djoni, secara keseluruhan yang harus disalurkan dalam waktu sebulan sekitar Rp56 miliar, sehingga setiap kelompok tani mendapatkan Rp57,7 juta. Semuanya itu diharapkan bermuara pada penyuksesan program pengembangan lumbung pangan, sekaligus menghidupkan kembali tradisi orang Minangkabau dalam menyimpan padi di lumbung Rumah Gadang. (*) |
Pengembangan Lumbung Pangan Menjaga Tradisi Leluhur
Panen padi. (ANTARA)