Mungkin awalnya masyarakat tidak banyak yang mengenal wilayah Sawahlunto, Sumatera Barat, karena daerahnya terpencil dan berlokasi di sekitar hutan belantara yang tidak memiliki potensi apapun dengan jumlah penduduk hanya 500 orang pada pertengahan abad ke-19.

         Tapi setelah geolog asal Belanda, W H de Greve, menemukan areal pertambangan batu bara di Sawahlunto pada 1867, maka daerah itu   menjadi pusat perhatian pemerintah Belanda.

         Pemerintahan kolonial Belanda melihat adanya potensi pertambangan batu bara yang mencapai 205 juta ton di Sawahlunto, sehingga membuka pertambangan pertama sekitar tahun 1891.

         Ahli geologi asal Belanda itu, memperkirakan deposit batu bara tersebar di daerah Parambahan, Sikalang, Sungai Durian, Sigaluik, Waringin, Rantiah hingga Sijunjung.

         "Mungkin tambang pertama pada zaman penjajahan Belanda ada di Sawahlunto," kata Wali Kota Sawahlunto Amran Nur saat berbincang dengan wartawan di Sawahlunto, Sumatera Barat, akhir pekan lalu.

         Amran menuturkan Sawahlunto menjadi salah satu pusat perekonomian masyarakat Sumatera Barat, setelah adanya kegiatan penambangan batubara.

         Setelah lebih dari satu abad terjadi eksplorasi pertambangan, kuantitas sumber daya batu bara semakin menipis sehingga tidak memberikan harapan kehidupan bagi masyarakat Sawahlunto.

         Guna mengatasi persoalan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Kota Sawahlunto melalui wali kota dan segenap perwakilan rakyat merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2002 tentang visi dan misi Kota Sawahlunto "Menjadi Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya".

         Terdapat empat konsep utama Sawahlunto guna melaksanakan visinya, yakni kota wisata, ekonomi kerakyatan berkelanjutan, kota yang berbudaya dan kota sejahtera.

         Amran menjelaskan, Kota Sawahlunto memiliki daya saing pariwisata dengan objek wisata yang berkualitas dan memanfaatkan potensi bangunan tua, serta kawasan bersejarah sebagai museum yang memiliki karakteristik wisata.

         "Banyak bangunan bekas lahan pertambangan batubara yang punya nilai sejarah," ujar Amran.

         Amran menceritakan hampir seluruh lahan pertambangan batubara di Sawahlunto pada jaman penjajahan Belanda dengan memberdayakan pekerja paksa dari daerah Jawa yang disebut "Orang Rantai" dengan nilai investasi sekitar 5,5 juta Golden dan fasilitas perusahaan tambang "Ombilin" pada 1887.

         Pemerintah Kota Sawahlunto beserta perangkat Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dan anggota DPRD merencanakan pengembangan wisata tambang, wisata sejarah, wisata rekreasi, wisata seni dan budaya.

         Terdapat sejumlah strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya dan bangunan bersejarah pada jaman pemerintah kolonial Belanda, salah satunya membentuk perusahaan pengelola obyek wisata, yakni PT Wahana Wisata Sawahlunto pada 2009.

         PT Wahana Wisata berperan mengembangkan, menjaga dan mengelola seluruh potensi wisata, serta membentuk Sawahlunto menjadi kota wisata tambang yang berbudaya.

         Contoh lokasi wisata bernilai sejarah yang dikelola PT Wahana Wisata, yakni Museum Gudang Ransum yang tercatat bekas tempat dapur umum untuk menyuplai makanan bagi para pekerja tambang batubara dan pasien rumah sakit pada tahun 1918.

         Museum Gudang Ransum tersebut menyimpan koleksi peralatan masak bersejarah yang digunakan pada jaman Belanda tersebut, antara lain alat memasak air dan nasi berkukuran diameter sekitar 1,5 meter.

         Sawahlunto juga memiliki Wisata Lubang Tambang Soero yang diperkirakan dibangun sejak tahun 1891 oleh para pekerja yang terkena hukuman.

         Seorang mandor bernama Soero bekerja menjaga lubang tambang tersebut, sehingga wisata tersebut dinamakan Mbah Soero.

         Pemerintah menjadikan Mbah Soero menjadi lokasi wisata sejak 2007, setelah Kementerian Pariwisata memberikan bantuan anggaran untuk penggalian dan pengelolaan lokasi tujuan wisata.

         Pemerintah Kota Sawahlunto melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan membentuk kota tua peninggalan bersejarah jaman penjajahan Belanda yang dibangun sejak 1917-1920.

         Aset bangunan yang menjadi peninggalan bersejarah, antara lain rumah dinas walikota, Mesjid Agung Nurul Islam, Mes Bujangan, Gedung Pegadaian, Museum Kereta Api, Rumah Pek Sin Kek, gedung Koperasi Ombilin, Kantor PT Bukit Asam dan bangunan Rumah Sakit Sawahlunto.

         Amran mengungkapkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sawahlunto mencapai 600.000 orang pada tahun 2010, kemudian terjadi peningkatan menjadi 650.000 pada 2011.

         Direktur Utama PT Wahana Wisata Sawahlunto, Agusrial menjelaskan Sawahlunto lahir 1 Desember 1888 yang dijadikan momen perayaan melalui tradisi kultural.

         Agusrial menyebutkan pemerintah setempat mengadakan kegiatan makan bersama atau "makan bajambah" untuk memperingati hari jadi Kota Sawahlunto.

         "Tradisi makan bajambah berjalan sejak 2006, untuk menjaga tali silaturahmi antarmasyarakat," tutur Agusrial.

         Seluruh masyarakat terlibat dalam agenda makan bersama tersebut dengan melibatkan pejabat pemerintahan setempat, anggota DPRD, muspida dan petinggi adat.

         Masyarakat terlibat langsung dalam persiapan makan bajamba mulai dari sumbangan dana, memasak, menyajikan hingga menyantap makanan secara bersama, namun pemerintah kota juga memberikan bantuan berupa hewan sapi.

         Agusrial menyatakan kegiatan makan bersama berhubungan dengan kulturasi dan histori Sawahlunto yang terdiri dari berbagai suku lokal, yakni Minangkabau dan Jawa.

         "Jumlah peserta makan bajambah pernah Museum Rekor Indonesia (Muri) dengan jumlah mencapai 16.980 orang pada tahun 2007," ucap Agusrial.

         Badan Statitistik Nasional (BPN) mencatat jumlah penduduk Kota Sawahlunto mencapai 57.000 dengan tingkat kemiskinan mencapai 2,4 persen atau menduduki peringkat kedua nasional sebagai daerah paling rendah tingkat kemiskinannya.

         Kota Sawahlunto memiliki Penghasilan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp28 miliar dari rumah sakit, pariwisata, rumah makan, pertambangan, sedangkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mencapai Rp300 miliar per tahun.


SIMFes Musisi Lima Benua


    Guna menarik minat wisatawan dan publikasi sektor pariwisata, Pemerintah Kota Sawahlunto menggelar Sawahlunto International Music Festival (SIMFes) sejak 2010, melibatkan para musisi dunia dari berbagai etnik.

         Panitia penyelenggara SIMFes pertama yang digelar 3-5 Desember 2010 mendatangkan musisi dari enam negara, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Jerman, Abijan, dan Mongolia.

         Selanjutnya, kurator SIMFes 2011, yakni Edy Utama dan Dr Hiltrud Cordes mengundang musisi dari lima benua Meksiko, Kamerun, Australia, Belgia, Taiwan, Uzbekistan, Korea Selatan, dan Indonesia.

          SIMFes kedua yang digelar 2-4 Desember 2011 memberikan kontribusi dan warna tersendiri bagi pengembangan sektor pariwisata Sawahlunto di mata wisatawan dalam maupun luar negeri.

         Para musisi dari lima benua tersebut, memainkan alat musik tradisional dan membawakan lagu yang menjadi ciri khas negaranya.

         Pertunjukkan musisi asal Korea Selatan, Jitae Erik Chung menghangatkan penonton yang sebagian besar datang dari Sawahlunto dan Pekanbaru itu.

         Erik menampilkan alat musik dan lagu tradisional Korea Selatan berjudul ?Ee Mungu Nguvu Yetu (Let One and All Arise)? yang seakan main di atas panggung megah di pusat kota.

         Musisi asal China Taipei, Luo Chou Yun pun sungguh piawai memainkan nada pentatonik melagamkan musik instrumental "Indonesia Raya dan lagu daerah asal Sumatera Barat "Ayam Den Lapeh", sehingga membuat penonton terkesima dengan penampilannya.

         Rombongan grup musik etnik asal Uzbekistan, Uzbeim Yoshlari mempertunjukkan perpaduan tarian dan musik yang menjadi ciri khas dari negara pecahan Uni Soviet.

         Penyanyi asal Meksiko, Martha Toledo melantunkan lagu dan tarian dengan iringan alat musik gitar yang pertunjukan hentakan khas negara Amerika Latin yang dimainkan pemusik asal Belgia, Remi Decker.

         Lain halnya, musisi yang mewakli Benua Australia, Christopher Basile dan wakil Afrika, Kareyce Fotso menampilkan dendangan musik bernuansa jazz, untuk menyapa masyarakat Sumatera Barat.

         Para kurator SIMFes 2011 juga menghadirkan pemusik asal Sumatera Barat, seperti M Halim dan Gambang Long See Tong Padang, Grup Sandi Suara, Grup Kota Arang Perkusi dengan memainkan perkusi dengan ciri khas musik etnik Minangkabau.

         Pemerintah Kota Sawahlunto akan tetap mengagendakan kegiatan tradisi makan bajamba, SIMFes dan turnamen balap sepeda "Tour de Singkarak secara rutin setiap setahun sekali, guna menarik minta kunjungan wisatawan domestik maupun internasional. (*)


Pewarta : Taufik Ridwan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024