Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini sedang memperjuangkan terbukanya pintu masuk calon presiden perseorangan dalam kontestasi pemilihan presiden. Forum perjuangan itu melalui pintu amandemen kelima UUD 1945 yang saat ini digulirkan oleh DPD bersamaan dengan kewenangan lain yang dituntut oleh DPD agar seimbang dan sama dengan DPR. Dibukanya pintu masuk melalui jalur perseorangan dalam pemilihan presiden memeliki banyak keuntungan, yakni akan semakin terbukanya peluang dan kesempatan bagi warga negara yang mampu dan layak untuk maju dan ambil bagian memimpin negara ini dalam momentum kontestasi publik. Jabatan publik (baca: Presiden) tidak lagi menjadi hegemoni partai politik semata. Munculnya calon presiden perseorangan, akan menyehatkan partai politik yang selama ini belum berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan agregasi kepentingan masyarakat dan juga akan menstimulasi parpol melakukan pembenahan internal, baik terkait dengan system kaderisasi yang selama ini tidak tranparan, rekrutmen kepemimpinan yang syarat dengan kepentingan pragmatis-transaksional, dan masalah keuangan partai politik yang dinilai public belum transparan. Munculnya calon perseorangan akan menjadi sparing patner bagi partai dalam kontestasi pemilihan presiden sehingga partai mendapatkan saingan dan menjadi pelecut bagi parpol untuk semakin sehat, dan lebih peka terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Filosofi demokrasi akan tercipta, yakni tersedianya ruang bagi masyarakat untuk ikut dalam kontestasi publik dan ruang yang luas untuk memilih pemimpin dari jalur perseorangan selain jalur partai politik. Selama ini yang terjadi sesungguhnya adalah deparpolisasi, yakni ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik sudah kian tebal karena sikap dan perilaku elit-elit partai tidak lagi mencerminkan tindakan dan tingkah laku sebagai wakil rakyat. Saat rakyat didera kemiskinan dan kelaparan mereka ribut membangun gedung baru dengan dana trilunan rupiah, di saat rakyat sulit memenuhi kebutuhan pokok karena mahal dan kebutuhan pendidikan yang tidak terjangkau mereka sibuk melakukan studi banding yang tidak jelas tujuan dan manfaatnya. Berdasarkan perilaku dan sikap elit-elit partai di DPR tersebut maka kehadiran calon presiden perseorangan maka sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun, dan penghalang konstitusional harus dirubah melalui mekanisme yang konstitusional pula. Parpol keberatan Munculnya calon presiden perseorangan dalam percaturan politik, mendapat hambatan dari sejumlah partai politik mereka tak sudi dan alergi dengan kehadiran calon presiden perseorangan, mereka masih berpatokan pada pasal 6A UUD 1945 yang menyatakan bahwa, pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik sebelum pemilihan umum. Pasal tersebut sudah bertentangan dengan semangat demokrasi dan substansi demokrasi, yakni tidak memberikan kesempatan pada warga negara untuk mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 27 UUD 1945. Bunyi pasal tersebut telah melucuti keadilan konstitusional warga negara untuk berkiprah dalam memimpin republic ini. Hegemoni partai politik harus diakhiri karena sudah cacat demokrasi dan harus diselaraskan dengan pemilihan gubernur dan bupati yang telah dibuka kesempatan untuk jalur perseorangan sesuai dengan amanat Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Untuk calon bupati dan gubernur bisa, mengapa untuk calon presiden tidak?. Buktinya saat ini telah ada satu gubernur, yakni Gubernur Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD), Irwandi Yusuf, dan 25 bupati dan walikota yang menang dalam ajang pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan bupati/kota. Keberhasilan pemilihan calon gubernur dan bupati/walikota perseorangan ini yang ingin diteruskan di tingkat nasional melalui pemilihan calon presiden perseorangan. Namun, hambatan di DPR pasti akan ada, karena mereka yang akan merumuskan Undang-undang, yang diperlukan dalam hal ini adalah kesediaan partai politik untuk membuka ruang bagi calon presiden perseorangan yang tidak berasal dari partai politik. Letak keberatan parpol selama ini berada pada aspek teknis, yakni jika calon presiden dari perseorangan terpilih, bagaimana calon tersebut akan mendapat dukungan dari DPR ketika yang bersangkutan memerintah, pembahasan mekanisme pencalonannya juga akan membutuhkan banyak tenaga (Puan Maharani, Kompas, 29 Maret 2011). Keberatan yang dilontarkan oleh elit DPP PDI- Perjuangan tersebut sudah berada pada aspek teknis setelah calon tersebut terpilih menjadi presiden. Masalah teknis tersebut juga akan dibahas oleh pembentuk undang-undang secara lebih mendetail. Namun yang lebih penting adalah elit partai yang berada di Senayan mau membuka diri terlebih dahulu akan kehadiran calon presiden perseorangan, kemudian setelah itu baru dilakukan pembahasan mengenai aspek teknis, terutama yang berhubungan dengan syarat dan formulasi dukungan yang harus dipenuhi, bagaimana kriteria pencalonan, dan bagaimana syarat-syarat pencalonan, serta bagaimana pola koordinasi ketika terpilih dengan DPR. Terkait dengan kesulitan berkoordinasi dengan DPR, SBY yang meraih dukungan 75 persen dengan berkoalisi dengan enam partai politik yang tergabung di Setgab, ternyata juga tidak kompak dalam isu strategis, dan partai koalisi terlalu sulit untuk dijinakkan dalam hak angket mafia pajak yang hampir saja lolos, jika tidak ditopang oleh Partai Gerindra dan dua elit Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yakni Effendi Choirie, dan Lily Wahid yang sepakat dengan partai Demokrat untuk menolak usul angket mafia pajak tersebut. Selisih suara yang mendukung dan menolak tidak tajam, partai koalisi yang tergabung di Setgab pimpinan SBY berubah menjadi bola liar yang dapat menyerang partai berlambang segi tiga biru tersebut. Calon presiden perseoranganpun ketika terpilih menjadi presiden maka akan tetap melakukan koordinasi dengan DPR dalam rangka untuk melaksanakan program dan agenda yang telah dituangkan dalam kampanye. Dukungan DPR akan diraih ketika program tersebut berpihak kepada kepentingan masyarakat, jika pun tidak mendapat dukungan DPR, maka rakyat akan mendukung, dan dukungan rakyat akan lebih besar pengaruh dan dampaknya dari pada dukungan DPR. Sistem Presidensial Dimasukkannya calon presiden perseorangan dalam konstitusi harus didasarkan pada semangat untuk memperkuat sistem presidensial yang kita anut. Selama ini belum jelas sistem pemerintahan yang dianut, namun kenyataan politik kita menganut system presidensial dengan cita rasa parlementer. Artinya, kita menganut sistem presidensial tapi diikuti dengan multi partai, atau melaksanakan koalisi dalam pemerintahan untuk menjaga kestabilan pemerintahan, ciri-ciri tersebut hanya ada pada sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial tidak menganut paham koalisi, dan sejatinya hanya diikuti oleh sedikit partai. Sistem pemerintahan bagaimana yang kita anut harus dijelaskan dalam amandemen kelima UUD 1945, momentum untuk memperjelas system pemerintahan tersebut harus dilakukan pada amandemen kelima sembari mengakomodir calon presiden perseorangan dalam konstitusi. Jelasnya sistem pemerintahan yang dianut maka akan memperbaiki system ketatanegaraan yang selama ini terus mencari bentuknya, calon presiden perseorangan telah membuka pintu masuk, selain jalur partai politik untuk ikut dalam kompetisi calon presiden dalam agenda nasional yang akan datang. (*) *Penulis wartawan LKBN Antara perwakilan Pasaman, dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang.

Pewarta : Oleh: Zennis Helen, SH
Editor :
Copyright © ANTARA 2024