Istilah kata Minangkabau, benar-benar bertuah. Kemana pergi, termasuk ke luar negeri, bila ada pertanyaan, dimanakah negeri asal Anda ? Bila dijawab dengan Sumatera Barat, lawan bicara, agak kebingungan. Tapi bila disebut Minangkabau, lawan bicara kita akan langsung paham. Hal ini agaknya cukup menarik untuk dibicarakan, diseminatkan ataupun dijadikan kajian sejarah. Sebab, istilah Minangkabau akan menyambungkan kita pada satu visualisasi aksesoris kebudayaan daerah yang identik dengan tarian adat yang menarik, rumah adatnya yang bagus, seni ukirnya yang indah. Kata-kata dan pantun yang menyenangkan. Perempuannya yang cantik dan pandai menjaga harga diri. Ditambah keindahan alamnya yang memukau bila dibandingkan dari daerah lain. Sebaliknya, bila menyebut Sumatera Barat, lawan bicara kita sangat sulit untuk membayangkan apalagi mendeskripsikan seperti apa daerah itu, padahal yang dimaksud tidak lain adalah Minangkabau sendiri. Meski dengan segala kelebihan yang Allah karuniakan ke negeri ini. Sayangnya tidaklah sama besarnya apresiasi masyarakatnya. Sebenarnya, jika dikaji lebih jauh, ranah ini telah Allah berikan dengan banyak kemuliakan yang ditandai dengan banyaknya keistimewaan yang dimilikinya. Diantaranya melahirkan banyak tokoh hebat dari sini, baik mereka yang berprofesi sebagai ulama, politisi, pejuang dan sastrawan dengan kelebihan adat istiadatnya yang merupakan perpaduan Islam dan adat Minang itu sendiri. Kita juga bisa melihat, sejarah modern Indonesia, di pentas pemerintahan diawal kemerdekaan, utamanya di bidang pendidikan, organisasi massa Islam atau sosial termasuk partai politik, pelaku sejarah yang tampil selalu dari orang-orang hebat Ranahminang. Sebagai contoh, 29 ulama besar nan populer negeri ini yang sekarang telah rampung penulis susun hingga akan diterbitkan menjadi buku, semuanya adalah ulama yang berasal dari Minangkabau. Semisal, Tuanku Imam Bonjol, Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syekh Ahmad Taher Jalaluddin, Syekh M. Djamil Jambek, Haji Rasul, Abdullah Ahmad, Haji Agus Salim, Zainuddin Labay, Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, Rahmah el Yunusiyyah, Muhammad Thaib Umar, Abbas Abdullah, Daud Rasjidi, Moh. Natsir, Sulaiman Arrasuli, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Abdul Gafar Ismail, Isa Anshari, Buya Hamka, Mahmud Yunus dan lain-lain. Demikian dengan tokoh politik dan pejuang, kita himpun pula nama-nama tokoh baik yang dipuji sejarah maupun yang ditolak sejarah. Sebutlah Mohammad Hatta, Moh. Yamin, Moh Syafei, M. Djamil, Sutan Syahrir, Khatib Sulaiman, Rasuna Said, Siti Manggopoh, Rohana Kudus, Adnan Kapau Gani, Ismail Lengah, Ahmad Husein, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Dahlan Jambek dan sebagainya. Sementara dari kalangan sastrawan, tersebutlah Usmar Ismail, Marah Rusli, Asrul Sani, Nur Sutan Iskandar, Aman Dt Majo Indo, Taufiq Ismail, Rosihan Anwar dan lain-lain. Mereka semua, punya kenangan sejarah dengan kampung halamannya Minangkabau. Bila mereka jauh diperantauan, dan sudah tentu dimasa dahulu (sebelum perubahan menjadi Sumatera Barat), hanyalah istilah Minangkabau sebagai ungkapan yang tepat saat menjawab pertanyaan dari masa asal daerah mereka. Bukan dengan menyebutkan Sumatera Barat, sebab belum ada peta Sumatera Barat dimasa itu. Memang diakui, nama baik Minangkabau ini selalu harum bila disebut-sebut keluar. Bahkan nama Minangkabau lebih mendunia ketimbang nama Sumatera Barat. Dimana-mana negara termasuk di Malaysia sendiri, tepatnya di Negeri Sembilan, orang tidak kenal dengan Sumatera Barat, tetapi selalu hafal dengan istilah Minangkabau. Mereka dengan bangga menyebutkan asal muasal nenek moyangnya dari Minangkabau, bukannya Sumatera Barat. Jika ditanya kisah Raja Malewar, raja keturunan Pagaruyung, yang keturunannya masih berkuasa di sana. Rakyatnya jelas hafal biografi raja mereka, yang juga sempat penulis ziarahi makamnya Raja Malewar diawal bulan juni lalu (2009), saat bertandang ke sana. Minangkabau juga punya nostalgia sejarah bagi seorang ulama besar yang mengabdikan dirinya di Pusat peradaban Dakwah islam dimasa Raja Syarif Ainun Rafiq di Mekah, sebagaimana menurut Buya Hamka, ulama yang dimaksudnya adalah sang Guru Para Ulama Nusantara, yaitu Syekh Ahmad Khatib, putera Ampek Angkek Candung Agam, yang menjadi Imam dan Khatib di Masjidil Haram. Karena saking besar kerinduannya pada alam Minangkabau, diberi labellah diujung namanya dengan nama Al Minangkabawi. Jadi secara lengkap, ditulis namanya Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Karenanya, penulis merekomendasikan kepada pemerintah Provinsi Sumatera Barat, demi menghargai kebesaran sejarah Minangkabau, dan juga para ulama dan tokoh-tokohnya yang pernah hadir di tanah kelahirannya, Minangkabau nama provinsi Sumatera Barat layak untuk diganti dengan nama aslinya kembali, yakini dengan nama Provinsi Minangkabau. Terlepas secara demografi tidak bisa menjangkaui daerah Riau, hingga ke Jambi sebagaimana tambo dan kaba menceritakan. Tetapi tapal batas provinsi Sumatera Barat harus dikukuhkan dengan nama tapal Batas Provinsi Minangkabau. Dan ini penting, menyangkut harga diri orang Minang. Sebaliknya, adanya peralihan nama daerah ini ke Sumatera Barat, merupakan suatu kemunduran sejarah. Dan istilah Sumatera Barat itu tidak punya nilai dan kekuatan sejarah. Yang punya akar sejarah adalah istilah Minangkabau atau Ranahminang. Demikian juga para sejarawan dan pejabat kolonial Inggris dan Belanda, yang merupakan peminat sejarah dan berupaya mempelajari seluk beluk daerah yang dijajahnya ini, tidak pernah mencatatkan dalam sejarah mereka, nama daerah ini dengan sebutan selain Minangkabau. Kekuasaan kerajaan Alam Minangkabau Pagaruyung menjadi bukti pula bahwa, Minangkabau itu pernah ada dan jaya dahulunya, dan ini menjadi identitas kedaerahan dan kesukuan masyarakat negeri ini, disaat memang, susunan pemerintahan masih dibawah kerajaan Pagaruyung dengan segala panji-panji kebesaran dan pemerintahannya hingga ke pemerintahah terbawah, nagari. Kita juga ingat, masalah nama daerah bisa memantik kemarahan satu daerah bila sembarangan memposisikannya. Dahulu sejarah provinsi Aceh yang pernah digabungkan ke dalam provinsi Sumatera Utara ditolak dengan tegas oleh masyarakatnya sehingga melahirkan perlawanan yang kuat dari masyarakat Aceh kepada Pemerintahan Soekarno. Kemarahan ini timbul karena disanalah letak harga diri itu. Dan harga diri mereka telah kembali seiring dikukuhkan nama provinsi itu dari Daerah Istimewa Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam, Negara Aceh yang diberi selamat, sebuah nama yang amat indah. Inilah pentingnya kita perlu merubah nama provinsi Minangkabau. Walau perubahan itu hanyalah sebatas nama, dan akan bagus bila mengerucut kepada pembenahan adat dan budaya lokal yang kini mulai tergerus dengan budaya barat yang merusak, dengan mengajarkan kembali apa itu Minangkabau, yang telah bersenyawa dengan falsafah adat basandi syara/ basandi kitabullah. Artinya Minangkabau itu adalah islam. Penulis ingat, Menteri Besar Melaka, Moh Ali Rustam diawal tahun 2000-an menggagas pertemuan suku Melayu dalam satu wadah yang bernama Dunia Melayu Dunia Islam(DMDI), yang menjelaskan bahwa suku Melayu itu ternyata tidaklah hanya meliputi Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Malaysia dan Brunei semata, Juga melingkupi hampir ke Sulawesi, Maluku, Patani, dan Vietnam. Data ini diperkuat dengan beberapa brosur dan buku luks yang penulis dapatkan saat berkunjung ke Kantor Sekretariat Dunia Melayu Dunia Islam dipenghujung 2007 lalu, di Bukit Peringgit Melaka, Malasyia, bersama Pimpinan Perguruan Diniyyah Puteri, Fauziah Fauzan,SE, Akt, Msi, dan kepala Bidang pendidikan dan pengajaran, Hj Meuthia Nilda BA. Adanya pertemuan rumpun Melayu adalah untuk menghimpun ras atau suku Melayu untuk siap menghadapi kekuatan suku lain yang lebih besar, seperti India, China dan Eropa yang kini mengekspansi daerah-daerah Melayu. Karenanya, ekspansi itu tidak hanya persoalan imigrasi perpindahan manusia, juga membawa misi atau pesan–pesan kebudayaan dan agama yang berbeda. Bila orang Melayu yang identik dengan Islam tidak menggalang kekuatan yang sama, niscaya mereka akan dilahap oleh kebudayaan pendatang. Jadi identitas dan harga diri bisa hilang. Untuk itu identitas mesti diperjelas dan diperteguh agar tidak tergilas. Sejauh mana sepak terjangnya DMDI itu, kita pun belum bisa menilai. Namun setidaknya niat itu sudah terlaksana, tinggal mengoptimalkan wadah tadi. Kurang persis sama, identitas ke-Minangkabau-an kita yang telah dipersempit dengan istilah Padang, agak mengaburkan nilai sejarah daerah kita. Padang itu hanyalah sebuah tempat yang sekarang menjadi pusat pemerintahan daerah Sumatera Barat, yang belum tentu mewakili adat istiadat minang. Bahkan istilah Padang itu, kerap dilekatkan dengan nama rumah makan Padang, yang menurunkan derajat intelektual orang minang. Ahlinya orang minang dibidang wisata kuliner hanyalah satu dari sekian keahlian yang mereka miliki. Sesungguhnya orang minang itu dikenal lantaran ketajaman intelektual mereka yang telah diakui sejarah, bukan karena wisata kulinernya. Memang jika dirunut, istilah Padang itu sendiri sudah jauh dikenal pula. Misalnya orang Arab atau bangsa asing akan mengatakan, kita orang Minangkabau ini dengan sebutan Padang. Ketika tahun 1920-an, empat orang ulama Minangkabau di Kafirkan oleh ulama Mekkah karena ajaran pembaharuan islam yang diserukannya, seperti Haji Rasul (ayah Buya Hamka), Syekh Djamil Djambek, Abdullah Ahmad dan Zainuddin Labay, lantas mereka difatwakan ulama Makkah haram naik haji ke Makkah. Inilah yang diceritakan Angku Mudo Abdul Hamid Hakim saat mengajar di Thawalib, kepada murid-muridnya, termasuk di dalamnya Buya Hamka. Sejak itu, kalau ada orang dari Minang naik haji ke Makkah, lalu dipanggillah dia dengan julukan si Kafir Padang, kendati diantara empat ulama itu tidak ada yang bersedia pergi kesana lagi. Kalau pergi haji mungkin ditangkap, begitu tulis Buya Hamka dalam bukunya Adat dan Islam di Minangkabaunya. Di tahun 1950 an, ketika orang Minang belajar ke Makkah lebih seram lagi dipanggil dengan istilah orang Jawyi (Jawa) padahal antara Jawa dengan Minangkabau itu terbentang perbedaan suku, adat dan budaya yang jauh dan Jawi itu bukan pula identitas kita. Untuk melebarkan pengertian kekitaan sebagai orang Minang, yang tidak mungkin cukup dipanggil dengan istilah kata Padang semata, maka selayaknya, nama Minangkabau itu perlu kita apungkan kembali. Sebab, yang punya adat istiadat, dan kebudayaan yang utuh hanyalah Minangkabau sendiri, sedangkan Padang hanyalah nama sebuah daerah.lain dari alam Minangkabau yang amat luas Yang perlu dipahami dari gagasan ini adalah, kita tidak perlu susah-susah dan tidak harus kembali ke masa pemerintahan masa lalu, kita hanya ingin menggagas pengantian nama provinsi ini dari nama Sumatera Barat kepada provinsi Minangkabau, agar kita memiliki identitas yang jelas dan penuh makna ketimbang dengan nama Sumatera Barat atau cukup sekedar dipanggil sebagai orang Padang. Bila ini sukses, itu sudah cukup. Karena nama Minangkabau itu amat menggoda, mempesona, dan menawan peminat sejarah, tentunya menawan hati siapa saja. Kepala Humas Diniyyah Puteri Padang Panjang dan staf Ahli di Diniyyah Reseearch Centre. Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Independen Singgalang, Agustus 2009 lalu. Telah di posting di Korandigital Padang Panjang, 28 juni 2010, lalu, yang direaksi oleh banyak pihak, walau didominasi oleh pihak yang menolak. Penulis juga telah melahirkan karya berupa buku yang berjudul “ Perjuangan 29 Ulama Besar Ranah Minang,” maret 2010. (setebal 200 halaman, terbitan Diniyyah Research Centre). **Penulis adalah peminat sejarah dan pemerhati budaya Sumatera Barat.

Pewarta : Ahmad Rifa'i
Editor :
Copyright © ANTARA 2024