Daerah Solok dalam Tambo Minangkabau dikenal dengan nama Kubuang Tigo Baleh yang merupakan bagian dari Luhak Tanah Datar. Daerah ini tidak berstatus “Rantau” (daerah yang membayar upeti), malah mempunyai rantau dan pesisirnya sendiri. Daerah rantaunya adalah Alam Surambi Sungai Pagu (Solok Selatan) dan pesisirnya adalah daerah Padang Luar Kota dan sebagian daerah Pesisir Selatan. Dalam pepatah adat disebut, Aso Solok duo Salayo, ba-Padang ba-Aia Haji, Pauah Limo Pauah Sambilan, Lubuak Bagaluang Nan Duo Puluah. Dari naskah Tjuraian Asal Mula Negeri Solok dan Salajo, diperoleh keterangan bahwa nama Kubuang Tigo Baleh berasal dari datangnya 73 orang dari daerah Kubuang Agam ke daerah yang sekarang disebut Kabupaten dan Kota Solok. Tiga belas orang di antaranya tinggal di Solok dan Selayo serta mendirikan negeri-negeri di sekitarnya, sedangkan 60 orang lainnya meneruskan perjalanan ke daerah Lembah Gumanti, Surian, dan Muara Labuh. Ketiga belas orang ini menjadi asal nama Kubuang Tigo Baleh. Mereka pula yang mendirikan nagari-nagari di sekeliling Nagari Solok dan Selayo. Kedua nagari ini disebut “Payung Sekaki” bagi nagari-nagari di sekitarnya. Tiga belas nagari yang menjadi inti daerah Kubuang Tigo Baleh, yang merupakan cikal bakal Kabupaten Solok, adalah Solok, Selayo, Gantungciri, Panyakalan, Cupak, Muaropaneh, Talang, Saoklaweh, Guguak, Koto Anau, Bukiksileh, Dilam, dan Taruangtaruang. Beberapa nagari lainnya yang merupakan pemekaran dari ketiga belas nagari yang disebut di atas adalah Tanjuangbingkuang, Kotobaru, Kotohilalang, Gauang, Bukiktandang, Kinari, Parambahan, Sungaijaniah, Limaulunggo, Batubajanjang, Kotolaweh (Kec. Lembangjaya), Batubanyak, Kampuang Batu Dalam, Pianggu, Indudur, Sungai Durian, Sungai Jambua, Guguak Sarai, Siaro-aro, Kotolaweh (Kec. IX Koto Sungai Lasi), dan Bukit Bais. Nagari Guguak yang sekarang merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Talang memekarkan diri menjadi tiga nagari, yaitu Kotogadang, kotogaek, dan Jawijawi. Beberapa nagari lainnya kemudian juga bergabung ke dalam konfederasi Kubuang Tigo Baleh, yaitu, Batang Barus, Aia Batumbuak, Simpang Tanjuang Nan Ampek, dan nagari-nagari yang sekarang tergabung ke dalam Kecamatan Payung Sekaki, Danau Kembar, Lembah Gumanti, Pantai Cermin, Tigo Lurah, dan Hiliran Gumanti. Dua kecamatan lainnya, Sungai Pagu dan Sangir yang sekarang menjadi Kabupaten Solok Selatan juga mempunyai kaitan dengan Kubuang Tigo Baleh karena sebagian penduduk berasal dari daerah ini. Meskipun jumlah nagari yang tergabung di dalamnya sudah lebih dari tiga belas nagari, tetapi namanya tetap Kubuang Tigo Baleh. Sementara itu nagari-nagari yang terletak di bagian utara Kabupaten Solok, yang tergabung dalam kecamatan X Koto Singkarak (beserta daerah pemekarannya Kecamatan Junjuang Siriah) dan Kecamatan X Koto Diateh tidak disebut dalam tambo ataupun data lainnya, sebagai bagian dari Kubuang Tigo Baleh. Daerah Kubung Tigo Baleh memiliki balai adat yang dipergunakan bersama untuk berkonsultasi antara nagari – nagari di kawasan Kubuang Tigo Baleh. Balai adat ini terletak di Nagari Selayo dengan nama Balai Nan Panjang Kubuang Tigo Baleh. Dengan demikian balai adat Selayo menjadi milik Kubuang Tigo Baleh secara adat. Nagari Selayo sekaligus memiliki kehormatan sebagai pusat untuk mencari keadilan dalam hal sengketa adat. Setiap perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh masing masing nagari di Kubuang Tigo Baleh akan diselesaikan di kerapatan adat nagari Selayo. Praktis, Selayo diasumsikan sebagai ‘bapak’-nya Kubung Tigo Baleh. Konsekuensinya, Selayo lembaga yang diangap bertuah ini wajib "manyalasaikan nan kusuik, manjanihkan nan karuah" ketika pada tingkat nagari-nagari tidak mampu memutus suatu perkara. Kisah Heroik Makam dt. Parpatih nan Sabatang Sisi lain yang cukup melegenda di Nagari Selayo menyoal makam Dt. Parpatiah nan Sabatang yang terletak di Munggu Tanah, Jorong Batu Palano, Nagari Selayo dan Kayu Gadang yang konon dulu berasal dari tongkatnya Dt.Parpatih nan Sabatang yang ditancapkan di Aie Manjulua, di Bawah Jao. Begitu juga dengan kuburan samaran Dt. Parpatih nan Sabatang berada di kawasan yang sama. Seperti yang dikisahkan melalui suatu wawancara penulis (2001) dengan Djanatin Dt. Putiah semasa hidupnya (kini sudah almarhum), juga ditulis (almarhum) Soewardi Idris dalam bukunya Selayo (1992) yang didasarkan dari naskah Djanatin Dt.Putiah, seorang tokoh adat Nagari Selayo dan juga menjadi Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Sedangkan naskah Djanatin Dt. Putiah. Disarkan atas keterangan (alamrhum Muhammad Saat Dt. Rajo Timbua yang masa hidupnya seorang tokokoh adat dan pejuang kemerdekaan dengan memperoleh penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan. Sekembalinya Dt. Parpatih nan Sabatang dari Jawa membawa dua orang teman, masing-masing ahli pertanian bernma Tumangung dan seorang lagi Pangeran Rajo Bantan. Dt. Parpatih nan Sabatang menetap di kediaman Dt.Gadang (Penghulu Suku Kampai). Kemudian dia mengangkat dua orang pengawal, masing-masing Dt. Baniang Bapawik dan Dt.Baramban Duri Rukam, keduanya dari Suku Chaniago. Dari tanah jawa, Dt.parpatih membawa sebuah tongkat, karena dibawa dari Jawa maka orang menyebutnya sebagai tongkat kayu Jao. Sebelum menuju negeri Alahan Panjang, Dt. Parpatih nan Sabatng berhenti sesat di Aie Manjulua yang persis diarea perbatasan antara Nagari Selayo dengan Nagari Solok. Kepada para ninik mamak dia berucap,”Hai seluruh ninik mamak Nagari Solok dan Nagari Selayo, dimana tanah dipijak, dirikan nagari besrta adatnya. Tanah lupak jadikan sawah, tanah keras jadikan ladang, gurun tandas jadikan padang halauan (gembalaan).” Setelah memberikan pitua, maka Dt. Parpatih nan sabatang menancapkan tongkatnya di perbatasan kedua nagari tersebut dan konon kabarnya hingga sekarang masyarakat Nagari Selayo pada umumnya menyakini bahwa pohon besar yang berdiameter lebih kurang 2 meter dan bertinggi sekitar 70 meter tersebut berasal dari tongkat Dt. Parpatih nan Sabatang. Sampai sekarang kawasan itu bernama BawahJao. Suatu ketika Dt. Parpatih nan sabatng terbaring sakit dikediaman Dt. Gadang, maka begiliranlah para ninik mamak di Kubuang Tigo Baleh menjenguk dan menunggui. Pada akhirnya, mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, Tuhan maka berkehendak, akhirnya Dt. Parpatih nan Sabatang meningggal dunia. Berkisalah kabar kesentero wilayah Kubuang Tigo Baleh atas wafatnya Dt. Parpatih nan Sabatang hingga sampai ke daerah Silungkang. Masyarakat Silungkang pun merasa memiliki sosok Dt. Parpatih nan Sabatang dan berhasrat untuk membawa jenazah Dt. Parpatiah nan Sabatang ke negerinya. Masyarakat Selayo jelas berkeberatan jika jenazah dibawa oleh orang Silungkang, maka jasad Dt.Parpatih nan Sabatang diarak ke Munggu Tanah, arah barat pusat Nagari Selayo. Berkat cerdiknya orang Nagari Solok, maka diusulkannya untuk membuat kuburan samaran yang diisi dengan sebatang pohon pisang di atas munggu di tengah sawah tak jauh dari tempat tumbuhnya kayu Jao.. Jelas kuburan yang dibuat ini hanyalah akal-akalan belaka yang bertujuan untuk menghambat perjalanan orang dari Silungkang. Sesampainya rombongan orang Silungkang maka disambutlah oleh orang Nagari Solok dan Nagari Selayo dengan hidangan makanan Setelah santap makan usai, maka ditawarilah rombongan orang Silungkang untuk melihat kuburan Dt. Parpatih nan Sabatang. Disinyalir dari ide rencana kedua Orang nagari ini lahirlah pitua, “Aka Solok, Budi Selayo.” Maksudnya, ide datang dari orang Solok namun yang menyediakan dan melayani makan adalah orang Selayo. Orang Selayo dianggap memiliki budi yang baik. Orang Silungkang ternyata tetap ngotot untuk membawa jenazah Dt.Parpatih nan Sabatang ke negerinya. Akhirnya digali lagi kuburan tersebut, namun dinyana apa yang terjadi?Betapa terperanjatnya orang Silungkang begitu melihat ketika kain kafan dibuka ternyata didalamnya hanya sebatang pohon pisang, mereka sangat yakin bahwa Dt. Parpatih nan sabatang seorang yang keramat dan pada akhirnya mereka tidak berniat untuk membawanya. Konon dari peristiwa ini lahir ungkapan,”angguak anggak geleang amuah, tunjuak luruih kaliankiang bakaik.” Maksudnya, orang Selayo ,menunjuk kea rah kuburan samaran tetapi membelakangi daerah munggu tanah tempat kuburan asli Dt. Parpatih nan Sabatang. Kisah yang menyejarah, konon dulunya makam Dt. Parpatih nan Sabtang menunjukkan gejala aneh yang dirasakan oleh masyarakat setempat, terutama menjelang akan terjadinya musibah melanda negeri sekitarnya, seperti bunyi manggaga (gelegar) berasal dari makam tersebut. Anehnya, gelegar itu berlanjut terdengar di kuburan Parak Tingga, pekuburan Lubuk Kilangan dan poekuburan di Galanggang Tangah (semua dalam kenagaraian Selayo)Gelegar itu terdengar beberapa hari sebelum terjadinya bencana gempa maha dasyat tahun 1926, banjir besar tahun 1927, menjelang masuknya Jepang 1943 serta menjelang masuknya Sekutu ke Indonesia, dan terakhir masyarakat setempat mendengar menjelang meletusnya peristiwa G – S/ PKI Dulunya juga makam Dt.Parpatih nan Sabatang dianggap keramat dan sering dijadikan tempat berkaul bagi masyarakat sekitarnya seperti saat turun ke sawah, menjelang panen, minta hujan, dan lainnya. Namun tradisi itu mulai hilang sejak berkembangnya ajaran Islam terutama disebarluaskan oleh Muhammadyah. Makam itu direhab dengan model atap bagonjong tahun 1993 berkat bantuan pemerintah dan swadaya masyarakat. Hingga kini terlihat sangat terawat yang dijaga oleh seorang juru kunci. Selain makam Dt. Parpatih nan Sabatang disampingya juga ada pusara kedua pembantunya yaitu Tumangguang dan Pangeran dari Bantan. Diakui Sebagai Makam Dt. Parpatih nan Sabatang Seperti yang dituturkan oleh salah seorang petinggi adat Nagari Selayo Fajri Hamzah gelar Malin Batuah yang notabene adalah mantan Kepala Desa Selayo Ateh era tahun 1990-an menyebutkan bahwa, pernah berkunjung ke makam Dt. Parpatih nan Sabatang seorang Prof. Peggy R. Sanday dari Kalifornia (Amerika Serikat) didampingi oleh dua orang staf ahli adat dari Batusangkar. “Diakui oleh kedua ahli adat dari Batusangkat tersebut bahwa memang di Selayo inilah dikuburkannya Dt. Parpatih nan Sabatang, lantaran di Limo Kaum tidak ditemui adanya makam Dt. Parpatih nan Sabatang,” ungkap Malin Batuah. Diakui Malin Batuah Pernyataan itu didukung dari tulisan (almarhum) Anas Navis dalam tulisannya berjudul “Makam Itu Makam Datuak Parpatih Nan Sabatang” yang dimuat diharian Singgalang (1/9/1991). Penguatan tulisan AA Navis itu didasari ditemukannya menyoal Makam Dt. Parpatih nan Sabatang dalam Tambo Minangkabau di Perpustakaan Nasional yang dipaparkan dalam beberapa bahasa. Tulisan ini lebih kepada informasi semata, sejatinya kebenaran sesungguhnya tentang makam Dt.Parpatih nan Sabatang itu berada pada yang “ahli” nya. Sumber : -Wawancara penulis dengan Alamrhum Djanatin Dt.Putiah (2001) - Wawancara dengan Fajri Hamzah Malin Batuah - Selayo (1992) karya (almarhum) Soewardi Idris - Mengutip tulisan Witrianto

Pewarta : Menda Dt. Pamuntjak Alam, S.I.Kom.M.Si
Editor :
Copyright © ANTARA 2024