Cara berhukum aparat penegak hukum saat ini tidak lagi mengedepankan hati nurani dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum sudah melenceng ari prosedur berhukum, misalnya menindas, memeras para tersangka, melakukan penangkapan tanpa surat perintah, merekayasa kasus sehingga seolah-olah terjadi dengan mengorbankan orang lain, dan banyak lagi yang lain.
Penegakan hukum demikian harus kita jemput kembali dan dikembalikan pada jalurnya sehingga keadilan dan kepastian hukum dapat secara bersama-sama tercapai.
Walaupun kedua-duanya sulit untuk dicapai, tapi jika keinginan aparat penegak hukum kuat untuk mencapainya maka akan dapat dilakukan secara bertahap. Untuk mencapainya seluruh perangkat yang masuk ke dalam criminal justice system harus direformasi, baik structural, maupun cultural.
Namun, yang lebih penting adalah reformasi cultural aparat penegak hukum, tanpa itu maka akan sulit keadilan dan kepastian hukum akan dapat dicapai dalam waktu bersamaan. Institusi Kepolisian pintu masuk penegakan hukum belum seutuhnya melakukan reformasi cultural. Buktinya, perwira polisi yang diduga terlibat dalam skandal mafia kasus pajak, semakin menguatkan bahwa reformasi ditubuh kepolisian belum berhasil dengan baik.
Belum berubahnya kultur penegakan hukum yang cenderung menyimpangi hukum menjadi hambatan dan akan mempersulit penegakan hukum menuju pada keadilan. Buktinya, sejumlah jaksa di kejaksaan agung diduga terlibat dagang perkara korupsi terkait hubungan antara pejabat tingginya dengan Artalyta Suryani, terdakwa kasus penyuapan kepada jaksa Urip Tri Gunawan. (Benny K Harman, Kompas, (19/6/2008).
Padahal institusi kejaksaan dan penegak hukum lainnya adalah aparat negara yang berkewajiban, berwenang, dan bertugas menegakkan ketentuan yang terkandung dalam UU Pidana.
Mereka bertugas untuk memeriksa dan menetapkan tersangka serta terdakwa setiap kasus yang diduga terlibat atau bertanggung jawab dalam tindak pidana. Artinya, adalah keadilan akan sulit tercapai apabila aparat penegak hukum belum keluar dari jeratan dagang perkara.
Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang, sebaliknya menggunakan hukum tanpa niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan membawa keadaan seperti tanpa hukum. (TB. Ronny R Nitibaskara, Kompas, 19 Juni 2008).
Belum lagi dengan begitu maraknya mafia peradilan yang dilakukan secara sindikasi akhir-akhir ini antara aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepengecaraan, perpajakan, konsultan pajak, dan bea cukai.
Penyimpangan hukum dilakukan dengan cara konspirasi dan berjamaah sehingga sulit untuk dilacak. Salah satu pointer penting reformasi adalah menegakkan supremasi hukum, namun kenapa praktek mafia peradilan semakin marak pasca reformasi, Pertama, kewenangan (baca:kekuasaan) hakim menguat atau meningkat seiring dengan berkurangnya intervensi pemerintah atas proses pengadilan.
Pandangan Lord Acton,” kekuasaan cenderung korup tampaknya sulit dihindarkan. Aparat pengadilan lebih leluasa mengatur perkara tanpa perlu mendasarkan kepada bukti-bukti yang menguatkan dalam merancang putusan.
Kedua,adanya kewenangan yang lebih independen itu tidak didukung dengan undang-undang yang ketat atas operasi kekuasaan kehakiman. Para hakim agung dapat dengan gampang memperpanjang usia pensiunannya sendiri, bahkan tanpa perlu menunjukkan apa prestasinya, sementara perkara di Mahkamah Agung (MA) jutsru menumpuk.
Ketiga, Undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga masih lemah secara prinsip karena tak menggunakan pembuktian terbalik. Dari mana sumber kekayaan hakim tak dapat diperiksa atau ditelusuri sejaub tak ada indikasi kuat atas tindak pidana yang ditangani aparat penegak hukum.
Keempat, fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi Yudisial (KY) saat memantau perilaku hakim dalam menangani perkara, yang terungkap justru tak bersifat untuk ditindaklanjuti.(Hendardi, Kompas, 31 Agustus 2007).
Apabila di lihat dari sumber materilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi dari kaedah-kaedah atau norma lainnya dalam masyarakat yang kemudian mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan kekuatan penegak hukum. (Moh. Mahfud MD, 2009).
Salah satu masalah yang sering timbul adalah terlepasnya sukma hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis procedural semata
Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral, tetapi merasa atau bersikap seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan. Pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit korupsi pengadilan.
Akibatnya, kemudian hukum menjai alat permainan untuk mencari kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan bukan untuk menegakan keadilan, kebenaran, dan ketertiban dalam masyarakat. Penegakan hukum kemudian bermain atau terjebak di dalam permainan-permainan norma-norma tanpa mempedulikan manusianya sebagai subjek yang harus dilayani dengan hukum yang bersukmakan keadilan serta berlandasan etika dan moral.
Masalah lain yang dihadapi adalah hubungan antara hukum dan politik sebagai dua sub system kemasyarakatan . Hukum lebih banyak didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan melemahnya dasar etika dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan yang sifatnya teknis, tidak substansial, dan bersifat jangka pendek.
Penegakan hukum di Indonesia lebih didominasi oleh politik sehingga hukum hanya akan menjerat orang-orang lemah yang tidak mempunyai posisi politik yang kuat. Artinya, semakin tinggi posisi politik mereka maka akan sulit dijangkau oleh hukum. Walaupun hukum tersebut adalah produk politik, ketika ia sudah menjadi hukum maka harus lepas dari cengkeraman politik. Namun kenyataannya politik selalu determinan atas politik.
Menegakkan hukum sesuai dengan keadilan harus dimulai dari system perekrutan untuk keanggotaan komisi-komisi negara yang justru dibentuk untuk mengatasi penyakit-penyakit hukum itu. Uji kelayakan dan kepatutan sudah dilakukan DPR, juga melibatkan public dan LSM. Rupanya kita harus kembali pada factor manusia yang misterius dan komplek itu. Mengontrol kualitas dan produk TV dan sepatu jau lebih gampang dari pada menyeleksi manusia untuk suatu jabatan. (Satjipto Rahardjo, Kompas, (9/10/2007).
Konon, di abad pertama di Baghdad, keadaan para qadi (hakim) jauh lebih kere (kategori dibawah miskin) dari pada penegak hukum Indonesia kini. Seorang pencuri yang masuk ke rumah seorang hakim tidak menemukan barang yang berharga apa pun.
Sang hakim yang ketakutan akhirnya melompat dari atap, jatuh dan tewas. Suatu siding pengadilan juga harus ditunda hanya karena sang hakim tidak dapat hadir. Pasalnya, sang hakim hanya punya sorban dan jubah satu setel dan itu harus di pakai bergantian dengan saudaranya.
Jika kita amati ada paradok dalam penegakan hukum, perilaku menegakkan hukum da sikap menggunakan hukum dalam praktek kini sulit dibedakan karena kedua pendekatan itu saling berimpitan.
Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang , sebaliknya menggunakan hukum tanpa niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum.
Dua kutub antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum merupakan paradox yang harus diseimbangkan penegak hukum dalam kekuasaan diskresi. Masalahnya akan lebih sensitive, setiap saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif. Lebih ekstrem lagi bukan hanya diskriminatif.
Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya dikuasai oleh mereka yang berkecimpung dibidang hukum, dapat mendorong mereka memegang kekuasaan diksresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, sehingga menggunakan hukum sebagai alat kejahatan.
Adanya keterlibatan beberapa hakim, satu diataranya adalah Muhtadi Asnun dalam perkara Gayus Halomoan Tambunan yang diduga menerima uang suap sekitar Rp 50 juta dari Gayus.
Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, KY memeliki inisiatif menggunakan dua macam sanksi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim, Pertama, sanksi administasi dengan hukuman terberat pemecatan jika terbukti melanggar kode etik, Kedua, sanksi pidana diberikan jika ditemukan unsure pidana dalam pelanggaran kode etik hakim. (Kompas, 18/4/2010).
Di sisi lain, Sekretaris jenderal Transparansi Internasional Indonesia Teten M Masduki, menilai pengakuan Asnun sangat serius dan menunjukkan adanya kerusakan sistemik yang melembaga ditubuh institusi peradilan pajak. Selain meminta Asnun untuk mundur, Teten juga mendesak institusi Mahkamah Agung agar berani mengambil langkah komprehensif, bahkan jika perlu radikal, untuk membersihkan lembaga peradilan tersebut.
Ia sudah cacat moral, dia dan lembaganya seharusnya mendatangkan keadilan bagi para pencari keadilan. Teten merekomendasikan agar MA berani meniru langkah radikal pembersihan system peradilan dan hakim di negara pecahan bekas Uni Soviet, Georgia, akhir tahun 1990-an, saat MA Georgia memecat semua hakim, terutama yang terindikasi dan terbukti korup dan kemudian diadakan seleksi ulang hakim baru yang bersih.
Keadilan akan sangat sulit dicapai ketika actor penegak hukum tidak dapat hidup sederhana. Mereka menjadikan hukum sebagai permainan dan alat kejahatan. Buktinya, segala lini penegakan hukum kita tidak ada yang bersih mulai dari kepolisian sebagai pintu masuk penagakan hukum hingga ke pengadilan.
Pada setiap lembaga ini terdapat mafia peradilan, suap, korupsi yang sudah menahun dan sistemik sehingga kondisi ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (distrus) yang sangat mendalam. Ketika institusi penegakan hukum dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi keadilan masyarakat maka rakyat kemudian menggunakan caranya sendiri. Misalnya, memberikan hukuman sendiri pada pelaku kejahatan dengan cara main hakim sendiri.
Jika penegak hukum kita masih menggunakan hukum sebagai alat kejahatan, bukan menggunakan hukum untuk menegakkan hukum maka selama itu pula maka keadilan akan sulit dicapai dalam penegakan hukum di Indonesia.
Oleh karenanya, sangat butuh pembaharuan hukum pidana secara komprehensif. Pembaharuan tersebut dapat dimulai dari konsep dasarnya, ide dasarnya, paradigma, pola pikirnya, nilai-nilai dan yang lebih terpenting lagi aktornya.
Tanpa adanya pembaharuan maka keadilan dalam penegakan hukum akan sulit tercapai. Keadilan dan kepastian hukum tidak akan berjalan bersamaan, selagi penegak hukum masih menjadikan hukum sebagai permainan dan alat kejahatan. Apalagi, hakim kita banyak yang menganut aliran positivistic legalistic, patokan hanya bunyi teks yang tertuang dalam pasal Undang-undang, dan tidak berusaha untuk menggali nilai-nilai keadilan secara substansial dalam bunyi teks aturan tersebut.
Akibatnya, sering kasus-kasus besar yang diganjar dengan hukuman ringan. Padahal, berdasarkan makna keadilan dalam masyarakat tidak pantas dihukum demikian, tapi karena adanya permainan dan hukum masih dijadikan alat kejahatan maka keadilan akan sulit dicapai. Para hakim tidak memutus kasus dengan hati nurani sehingga putusan yang dijatuhkan sangat jauh melenceng dari keadilan itu sendiri.
Buktinya, pada kasus Gayus, sejatinya, dapat dikenakan tiga tuduhan, yaitu penggelapan uang, korupsi, dan pencucian uang namun dituduh hanya dengan pasal penggelapan. Akibatnya, Gayus hanya dituntut dengan hukuman percobaan, dan akhirnya bebas. Kasus diduga memberikan uang suap mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta pengacara. (*)
*Penulis adalah, Wartawan Perum LKBN Antara Sumbar di Pasaman