Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudyonono di Forum ke-6 World Movement for Demokrasi 12 April lalu di Jakarta, demokrasi di suatu negara tumbuh dan berkembang dengan baik jika prosesnya dilakukan dengan menghindari politik uang. Jika politik uang terjadi, hal itu bukan saja mereduksi demokrasi dan kedaulatan rakyat, melainkan akan menghasilkan pemimpin pemerintahan yang melayani mereka yang membayar saja (Kompas, 13/4). Lebih tegas lagi kata Yudhoyono, tantangan terbesar demokrasi sekarang adalah politik uang. Demokrasi seperti ini hanya akan melahirkan demokrasi yang artificial dan mengurangi kepercayaan dan dukungan publik. Kerisauan Presiden Yudhoyono agaknya bermula dari begitu maraknya praktik korupsi yang terjadi akhir-akhir ini. Praktik korupsi telah menjalar ke berbagai profesi dan instansi pemerintahan. Bukan hanya dilakukan oleh Gayus Halomoan Tambunan, pegawai rendahan bergolongan III A, di bagian telaah dan banding Direktorat Jenderal Pajak, melainkan juga telah menjalar sampai jenjang birokrasi yang paling tinggi, yaitu pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak, Bahassyim Assifie diduga melakukan perbuatan merugikan keuangan negara yang telah ditetapkan tersangka oleh Mabes Polri bersama tersangka lain. Tidak hanya itu, perbuatan koruptif dan suap telah menular pula pada aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Mereka membentuk jaringan mafia dan konspirasi yang sangat rapi sehingga apa yang terungkap pada kasus Gayus hanya merupakan puncak gunung es. Saat ini aparat kepolisian akan memeriksa Mantan Kabagreskrim Komjen Pol Susno Duaji yang merupakan peniup peluit untuk institusinya sendiri sehingga jaringan mafia hukum di Mabes Polri terbongkar dan telah menetapkan Syahril Djohan sebagai tersangka yang diharapkan akan membuka tabir gelap persekongkolan hukum. Begitu juga dengan institusi partai politik tempat melahirkan calon pemimpin yang akan mengisi jabatan di lembaga DPR. Tempat rakyat menyalurkan aspirasi politiknya. Namun institusi ini tidak lepas dari jeratan korupsi (Kompas, 12/4). Buktinya, sejumlah kader Parpol, anggota DPR periode 2004-2009 secara berjamaah terlibat dalam beberapa tindak pidana korupsi, diantaranya adalah, Sarjan Tahir kader Partai Demokrat terlibat dalam kasus suap alih fungsi hutan mangrove untuk pelabuhan Tanjung Api-api, divonis 4,5 tahun penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Sejumlah politisi DPR juga menerima travel cek perjalanan yang berkisar antara 300 - 500 juta dalam pemilihan Deputi Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Gultom. Satu di antaranya sedang diproses secara hukum di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yaitu Dudhi Makmun Murod. Korupsi yang menggurita di tubuh Parpol semakin nyata dan terang setelah diperkuat oleh hasil survey Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia selama empat tahun berturut-turut, mulai 2003, 2004, 2007, 2008 menempatkan partai politik dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia (Kompas, 12/4). Melihat semakin menjangkit penyakit korupsi di tubuh Parpol. Mungkinkah pada setiap Pemilu di negara ini dilaksanakan tanpa politik uang? Lalu, bagaimana caranya? Pertanyaan ini kian penting untuk dijawab ditengah begitu maraknya politik uang pada setiap pergantian pimpinan pejabat pemerintahan (baca; Legislatif, Eksekutif, Yudikatif) yang justru akan mendorong pejabat tersebut melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tanpa Politik Uang Setiap orang yang ingin duduk di lembaga pemerintahan di negara ini yakni legislatif dan eksekutif harus menyediakan segepok uang. Pada Pemilu legislatif lalu, uang begitu berkuasa untuk merubah orientasi pilihan masyarakat. Walaupun agak sulit untuk membuktikan, namun sebagian besar anggota legislatif, baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota terpilih karena kekuatan dan kekuasaan uang. Kekuatannya mampu menjungkir balikkan logika dan akal sehat masyarakat. Akibatnya dapat ditebak, yang lahir bukan legislator potensial, cerdas, yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat, pembawa semangat perubahan, tapi legislator yang ingin mencari hidup dan kehidupan di tengah penderitaan rakyat yang tiada kunjung akhir. Makanya tak heran, seorang warga bertanya, anggota dewan ketika telah duduk tidak lagi pernah menemui rakyat?. Padahal, sebelum terpilih sangat inten bertemu. Siapa yang salah? Orientasi apa yang digunakan oleh pemilih ketika memilih dia di dalam bilik suara. Jika orientasinya adalah uang maka wajar saja sang anggota dewan tidak lagi menemui rakyat. Alasannya, suara pemilih telah dia beli dengan imbalan dan harga tertentu, ketika transaksi suara dibayar dengan uang itu terjadi, maka pada saat yang sama hubungan keterpilihan anggota dewan dengan pemilih sudah terputus saat itu. Gejalah ini disebut politik transaksional. Orientasi pilihan masyarakat seharusnya bukan uang, tapi program, kebijakan yang akan diusung oleh anggota dewan tersebut. Pola transaksional ini merupakan pangkal bala begitu maraknya praktik korupsi di tubuh Parpol. Sehingga seorang politisi yang menerima surat keputusan pengangkatan dirinya sebagai anggota dewan akan sulit mengelak dari tindak pidana korupsi. Mereka akan berpikir cela-cela apa yang dapat dimainkan agar dapat mengembalikan jumlah uang yang begitu besar habis pada saat pencalonan. Semakin tinggi tingkatan posisi pencalegan, maka semakin tinggi biaya yang akan dikeluarkan, semakin besar pula korupsi yang akan dilakukan. Dampaknya, Anggaran negara akan banyak tersedot untuk kegiatan-kegiatan yang tidak potensial, dan terkesan menghambur-hamburkan pada kepentingan yang tidak berguna. Politik uang akan dapat dihindari apabila partai politik menjalankan tugas partai secara konsekuen. Salah satu tujuannya adalah, memberikan pendidikan politik pada pemilih. Outputnya adalah lahirnya pemilih yang melek demokrasi, tidak bersandarkan pada uang ketika menentukan pilihan pada pemimpinnya tapi berorientasi pada visi, program, kebijakan yang ditawarkan oleh partai pengusung para kandidat. Kualitas pemilih akan semakin baik, ada perubahan orientasi secara signifikan, potensi korupsi di tubuh parpol diyakini akan dapat dikurangi. Pembenahan Sejumlah pembenahan juga mutlak dilakukan di tubuh Parpol Pertama, pada aspek pendanaan parpol. Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Parpol telah menggariskan sumber pendanaan Parpol bisa berasal dari anggota, pendapatan yang sah, dan dari negara. Mengandalkan pendapatan yang sah, dan dari negara jumlahnya akan amat kecil. Akibatnya parpol akan mengandalkan anggotanya yang duduk di DPR sebagai penyumbang untuk mendanai kegiatan operasional parpol. Aspek pembenahan yang musti dilakukan adalah, Pertama, pendanaan parpol. Negara harus memberikan dana yang cukup untuk parpol. Logikanya, jika negara memberikan izin bagi berkembangnya sejumah parpol pasca reformasi di Indonesia, pemberian izin tersebut semestinya harus diikuti dengan memberikan modal yang cukup bagi parpol untuk berkembang secara elegan, Kedua, parpol harus dibenahi terutama pada saat perekrutan pejabat public. Gejalah politik, parpol berpesta ria ketika ingin merekrut calon anggota legislatif mereka mendapatkan “sewa perahu” yang sangat signifikan dari calon. Ini menandakan bahwa Parpol tidak bersih, makanya tak heran lagi pejabat yang duduk pun akan melakukan tindak pidana korupsi. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia dijadikan komoditi politik oleh Parpol mereka berlomba membuka pendaftaran calon. Ujungnya dari semua proses itu adalah meminta uang pada calon dengan aneka alasan. Jika prosesnya sudah didahului dengan cara yang kurang sopan, mungkinkah demokrasi dilakukan tanpa politik uang?***

Pewarta : Zennis Helen
Editor :
Copyright © ANTARA 2024