Terbongkarnya Makelar Kasus (Markus) penggelapan pajak sebesar 25 miliar yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus Halomoan Tambunan, membuat publik tersentak kaget, dan setidaknya kasus ini menambah potret buram penegakan hukum saat ini.
Pasalnya, belum lagi jelas juntrungan kasus Bank Century yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 T, kemudian datang lagi kasus penggelapan pajak sehingga dunia penegakan hukum kita semakin kelam akibat dililit oleh mafia kasus pajak yang dilakukan oleh pegawainya sendiri. Departemen keuangan yang selama ini mendapat proyek remunerasi ternyata tidak kebal dari godaan korupsi dan jebol juga dihantam badai korupsi.
Seluruh pihak mempertanyakan efektifitas remunerasi berupa kenaikan gaji para pegawai di lingkungan departemen keuangan tersebut yang dibedakan dengan instansi lain. Padahal, tidak boleh semestinya perbedaan perlakuan tersebut. Lalu, apa yang salah? Bagaimana upaya selanjutnya dalam kerangka untuk mengerem laju korupsi di negeri ini?.
Nyanyian Susno
Kasus yang menghebohkan dunia hukum tersebut bermula dari nyanyian Komjen Pol. Susno Duaji, Mantan Kepala Bagian Reserse Kriminal (Kabagreskrim) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di depan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.
Susno menuduh mantan anak buahnya, Brigjen. Pol. Raja Erisman (mantan Dirkresrim Mabe Polri) dan Brigjen.Pol. Edmon Ilyas (Kapolda Lampung) yang saat ini telah dicopot oleh Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk memudahkan penyidikan dan berstatus sebagai terperiksa.
Kontan saja, pernyataan Susno tersebut menimbulkan resistensi di tubuh Mabes Polri. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal langkah Susno, mulai dari pidana pencemaran nama baik hingga menjadikan Susno sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Akibatnya, gelombang simpati pun muncul ke permukaan untuk mendukung langkah Susno yang diharapkan akan mengungkapkan secara terang adanya mafia pajak di lingkungan Direktorat Pajak yang diduga juga melibatkan perwira tinggi Mabes Polri.
Tak tanggung-tanggung, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pun ikut pasang badan mendukung Susno agar kasus tersebut diungkap terang benderang. Berbagai pihak mengharapkan agar kasus ini sebagai pintu masuk untuk membersihkan institusi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dari mafia kasus. Walaupun banyak pihak meragukan niat baik Susno untuk membersihkan institusinya dari mafia kasus.
Namun, kasus ini harus dilihat secara jernih agar arah penyelesaiannya dapat dilakukan dengan jelas dan transparan. Adanya anggapan bahwa Susno juga terlibat dalam kasus ini harus dikesampingkan untuk sementara waktu. Hal ini berguna untuk lebih mendalami substansi persoalan bahwa telah terjadi mafia kasus di tubuh Polri yang kita ketahui sebagai pintu masuk dalam penegakan hukum.
Seiring dengan itu, tuduhan pencemaran nama baik yang dialamatkan pada Susno juga harus dikesampingkan sementara waktu. Artinya, siapa pun yang terlibat dalam kasus ini harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu.
Sebab, dalam salah satu surat keputusan Kapolri juga dinyatakan, bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi, kasus pencemaran nama baiknya dikesampingkan dahulu untuk memudahkan proses penyidikan kasus utamanya, yakni adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Krisis Moral
Salah satu tujuan adanya reformasi birokrasi dengan menjadikan Departemen Keuangan (Depkeu) sebagai percontohan, adalah untuk menahan diri dari perilaku korupsi sehingga tidak terlibat praktek korupsi, namun kebijakan ini ternyata tidak mempan menahan libido korupsi para pegawainya.
Padahal, gaji mereka sudah berkali-kali lipat dengan tujuan tidak lagi menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Namun ternyata, masih korupsi dengan modus mengemplang pajak yang sejatinya dana untuk pembangunan yang disetor oleh para wajib pajak.
Yang salah adalah para pegawai di Departemen Keuangan (Dirjen Pajak) tidak lagi memeliki rasa malu mengemplang uang rakyat. Krisis moral telah menjadi penyakit terbesar mereka yang tidak mampu disembuhkan, walau bagaimana pun pemerintah menaikkan gaji mereka.
Menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara adalah salah satu bentuk betapa busuk dan bejatnya moral yang mereka tampilkan di hadapan public sehingga orang seperti ini wajib ditindak tegas, jika perlu dihukum mati karena perbuatan mereka telah menjadikan orang lain menderita dan telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada negara secara masif.
Konkritnya, jika betul terjadi adanya boikot bayar pajak yang digalang oleh face booker di dunia maya maka roda pembangunan di negara ini akan berhenti berputar. Orang miskin tidak akan dapat lagi menikmati infrastruktur yang layak, fasilitas umum yang baik karena aneka fasilitas tersebut dibangun dari pajak rakyat. Anak sekolah tidak akan dapat lagi menikmati Bantuan Operasional Sekolah (BOS), karena dana untuk itu juga berasal dari pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak.
Hukuman Mati
Tidak ada jalan lain selain dari memperlakukan hukuman secara ketat, perubahan ancaman pidana korupsi yang selama ini dihukum dengan hukuman penjara paling lama sekitar 20 tahun sudah mendesak untuk diubah.
Melihat korupsi dan mafia kasus sudah merajelela di negara ini, agar para koruptor jera maka pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR –RI) harus segera bertindak untuk menerapkan hukuman mati pada mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, jika tidak negara ini akan menunggu tenggelam akibat perilaku korupsi para pejabatnya. (***)
Penulis adalah Wartawan LKBN Antra-sumbar.com di Pasaman