"Nagari Sawit" itulah julukan Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) sejak lama. Tak kurang saat ini 19 perusahaan swasta telah menanamkan investasi di negeri paling utara Sumbar ini. Bahkan masyarakatnyapun sudah "panen" sawit dengan meningkatnya pendapatan mereka dari segi ekonomi.
Dengan luas perkebunan mencapai 200 ribu hektar dari 19 perusahaan serta memiliki sembilan pabrik pengolahan kelapa sawit. Namun, sejak zaman orde lama hingga orde baru bahkan zaman reformasi ini nasib para buruh seperti itu saja. Banyak bekerja, upah pas-pasan.
Pertanyaan yang sering menggelitik di tengah-tengah masyarakat adalah perusahaan semakin kaya dan makmur, namun bagaimana dengan para pekerja atau buruh?. Tak lain kebanyakan mereka hanya menerima upah seadanya dan cukup untuk makan satu hari.
Alangkah baiknya konsep kemitraan plasma yang dikembangkan pada setiap perusahaan kembali ditinjau dan kalau perlu ditata ulang. Salah satu wujud konsep kemitraan adalah dengan adanya kebun plasa yang diberikan perusahaan kepada masyarakat setempat. Seharusnya praktek hubungan perusahaan dengan petani plasma di Pasbar seharusnya memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Namun, kenyataannya masih banyak petani yang berdiam di sekitar perkebunan jauh dari kesejahteraan dan tergolong miskin.
Perusahaan yang seharusnya menjalankan program Corporat Sosial Responsibility (CSR) yang memperhatikan keadaan sekitarnya terutama berhubungan dengan petani plasma terkadang sering lupa. Meskipun ada beberapa perusahaan yang konses perhatikan masyarakat dan lingkungan sekitar.
“Meskipun Pasbar dikenal sebagai daerah “pertro dollar”nya Sumbar dengan produksi kelapa sawit yang mencapai 5300 ton setiap hari, namun belum banyak memberikan manfaat bagi masyarakat Pasbar sendiri terutama petani disekitar perkebunan. Kalaupun ada yang bekerja di perkebunan swasta tersebut itupun hanya sebagai butuh harian dengan gaji pas-pasan,” ujar Samsiri (29), salah seorang masyarakat Aia Gadang Kecamatan Pasaman Pasbar yang pernah bekerja di salah satu perkebunan swasta Pasbar.
Menurutnya, perusahaan memperkerjakan buruh yang ada di Pasbar pada umumnya dengan gaji yang pas-pasan. Pendapatan para buruh rata-rata Rp 35-40 ribu/ harinya dengan bekerja dari pagi hingga sore hari. “Kadang-kadang gaji atau upah tergantung dari hasil yang kita peroleh atau berapa kemampuan kita untuk memanen kelapa sawit,”kata Samsiri.
Khusus mengenai perusahaan yang ada di nagari Aie Gadang kata Samsiri, masih bermasalah hingga saat ini. Tidak duduknya permasalahan plasma antara perusahan dengan petani sekitarnya meyebabkan tidak jarang terjadi bentrokan yang akhirnya menimbulkan korban. Warga lainnya Jamaris (39) menyatakan perusahaan harusnya memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya sebab perusahaan hanya memiliki hak pakai tanah ulayat atau adat masyarakat sekitarnya.
“Pemerintah harus mendudukkan kembali konsep kemitraan plasma sebab tak jarang timbul bentrokan dan makan korban. Bukan rahasia umum, di Pasbar permasalahan tanah menjadi primadona yang sering kali berujung maut,”kata Jamaris.
Hal yang sangat memiriskan juga diakui salah seorang buruh di perusahaan swasta di Aia Gadang yang enggan disebutkan namanya. Selain upah yang diperoleh relative kecil dan pas-pasan, juga kadang-kadang uang kesehatan pun “disunat” oleh petingi-petinggi perusahaan. Jaminan kesehatan yang seharusnya diperoleh buruh ternyata dimanfaatkan oleh oknum perusahaan. “Jaminan kesehatan seharusnya kami peroleh Rp 25 ribu jika mendapatkan kecelakaan kecil,namun kadang-kadang kupon uang tersebut diambil oleh oknum dan kami dibiarkan terlantar,”katanya dengan mengiba.
Sembari berharap para buruh harian dan petani disekitar perkebunan mengharapkan agar pemerintah benar-benar dapat menata ulang konsep kemitraan dengan perusahaan sehingg kehidupan dan kesejahteraan masyarakat disekitar perusahaan dapat terangkat. Pola kemitraan pemerintah dengan perusahaan diharapkan memberikan hubungan win-win solution bagi kedua belah pihak.
Namun, dibalik potensi SDA Pasbar yang melimpah, kemiskinan masih merajalela dan angka kemiskinan mencapai 42 persen. Pengusaha perkebunan yang lebih dominan, sementara masyarakat yang mempunyai lahan hanya sebagai buruh harian. Ditengah-tengah rimbunnya kebun kelapa sawit, kemiskinan masih terlihat jelas.
Tingginya angka kemiskinan sangat bertolak belakang dengan potensi yang dimiliki Pasbar. Penataan yang kurang jelas dan hubungan timbal balik kurang menguntungkan menjadikan perusahaan yang beruntung sedangkan masyarakat tetap miskin.
Dari data BPS Pasbar tahun 2006 kantong-kantong kemiskinan menyebar di seluruh kecamatan Pasbar. 11 kecamatan dan 19 nagari di Pasbar hingga saat ini masih tergolong miskin “Kami berharap perusahaan-perusahaan yang menanamkam investasi di Pasbar harus memperhatikan program kemitraan plasma dan kehidupan masyarakat sekitar. Jangan hendaknya kami diberi pekerjaan yang berat namun gaji banyak disunat,”kata Samsiri beserta teman-temannya yang lain. (*/wij)
Perhatikan Nasib Buruh dan Lingkungan Sekitar
Petani pasbar sedang memanen sawit.