Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi penyelenggaran Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah diterima positif oleh seluruh pihak. Putusan ini bukan saja kemenangan Penggugat, Kristiono dkk, namun kemenangan dunia pendidikan.
Sejak diterapkan UN melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2005 telah mengundang kontroversial di tengah-tengah publik. UN yang digelar setiap tahun telah banyak memakan korban, bahkan ada para siswa yang nekat bunuh diri karena tidak lulus UN.
Bukan itu saja, UN telah menimbulkan guncangan psikologis bagi diri siswa. Apalagi tidak dapat mengulang, maka akan menjadi trauma mendalam dan akan di anggap pandang sebelah mata oleh lingkungan. Hal ini disebabkan oleh UN telah menjadi standar mutlak kelulusan siswa. Padahal, banyak aspek pada diri siswa yang mesti dipertimbangkan.
Beberapa masalah fundamental, terkait pelaksanaan UN ini dapat penulis jabarkan sebagai berikut:
Pertama, Pelaksanaan Ujian nasional paradoks dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagaimana tertuang dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Substansi normatif UU itu menyebutkan bahwa daerah diberi hak otonomi dan kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur segala persoalan termasuk soal pendidikan, kecuali kewenangan lain yang ditentukan oleh UU yang masih tetap menjadi urusan dan kewenangan pusat.
Dengan adanya Ujian nasional kita telah melanggar amanat dari UU pemerintahan daerah itu. Dengan adanya otonomi mestinya, urusan pendidikan adalah urusan daerah. Mengapa masih dikendalikan oleh pusat?.
Kedua, Pelaksanaan ujian nasional dari sisi waktu belum tepat diadakan di saat perhatian pemerintah belum serius dan sepenuh hati mengelola institusi pendidikan.
Ketidakseriusan pemerintah terlihat pada putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) yang membatalkan dan menganulir pasal 49 ayat ( 1 ) UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang membatalkan frasa” selain gaji pendidik” dan memasukkan anggaran 20 persen dari APBN/ APBD ke dalam gaji guru/ pendidik.
Kalau pasal ini diberlakukan, dunia pendidikan akan semakin kelabu dan suram. Sebagian besar dana akan dipergunakan untuk anggaran rutin dan sedikit sekali untuk perbaikan infrastruktur pendidikan.
Ketiga, Ujian Nasional hanya akan membuat struktur pendidikan nasional akan senjang dan pincang Sebab, sarana dan prasarana disetiap sekolah tidak sama.
Tidak akan sama sarana dan prasarana sekolah yang ada di Padang dengan sekolah yang ada di Muaro Sungai Lolo Kecamatan Mapattunggul Selatan Kab. Pasaman yang masih terisolir dalam dunia pendidikan.
Berbagai perbedaan itu akan nampak. Seperti, kualitas guru, sarana penunjang perpustakaan, laboratorium dan lain-lain sebagainya. Kalau dipaksakan juga ujian nasional dalam kondisi keterbatasan seperti ini, dan kalau gagal, pasti guru dan pendidik yang dijadikan sasaran utama kemarahan oleh pihak terkait.
Keempat, Pengalaman pasca- UN menjerumuskan dunia pendidikan pada jebakan teknokrasi, yaitu meredusir ketidakadilan sosial dan perbedaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, menjadi sekadar kalkulasi teknis dan hitung-hitungan nilai UN, di mana satu-satunya tanggung jawab ditimpakan pada dunia pendidikan.
Artinya, menimpakan kebobrokan pendidikan dengan menuduh para guru tidak becus adalah cara termudah dan murah. Maka, kebodohan itu terjadi bukan karena kemiskinan dan buruknya pelayanan gizi dan kesehatan, tetapi kesalahan guru di sekolah. Negara lepas tangan adalah jalan yang paling ringan dan aman.
Kelima Ujian nasional sangat banyak menghabiskan dana, untuk tahun ini saja diusulkan oleh pemerintah sebanyak 500 miliar dipangkas oleh Komisi X DPR hanya menjadi 96 miliar.
Artinya, pemerintah memeliki semangat besar. Meskipun dana dipangkas, pemerintah masih berani melaksanakan UN. Menurut Doni Koesoema A ( Kompas, 27/3/08 ) kuatnya keinginan pemerintah melaksanakan Ujian Nasional dilandasi dua hal, Pertama, lebih bersifat akademis.
Disini ada kabar buruk. Kabar buruknya adalah pejabat di Depdiknas mungkin tidak tahu untuk memetakan mutu pendidikan ada cara yang lebih efektif dan hemat, yaitu dengan mengambil sample dari pada memakai metodologi sensus, Kedua, lebih bersifat politis, anggaran untuk UN tidak kecil, karena itu memungkinkan terjadinya bancakan anggaran di berbagai tingkat terkait. Sangat sulit sekali melakukan kontrol terhadap penggunaan dana UN ini dan kalau kontrol tidak ada maka akan rentan terhadap penyimpangan. Setidak-tidaknya teori Lord Action” power tend to corrupt masih relevan untuk saat ini.
Lebih baik dana yang 96 miliar itu dipergunakan untuk memperbaiki gedung sekolah yang rusak, dan untuk mendanai pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu dari pada menghambur- hamburkan dana itu hanya untuk kepentingan jangka pendek dan mengabaikan visi jangka panjang pendidikan.
Masih banyak gedung sekolah kita di daerah terpencil yang atapnya sudah bocor dan dindingnya sudah keropos dan berlantaikan tanah dan masih banyak anak- anak di daerah terisolir yang belum mengenyam bangku pendidikan.
Pada hal, itu adalah bagian dari hak asasi mereka dan pemerintah wajib membiayainya. ( vide Pasal 31 ayat ( 2 ) UUD 1945 dan lihat juga Pasal 28 C UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu hak asasi mengembangkan diri, mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari IPTEK, seni dan budaya, memajukan diri secara kolektif.
Keenam, Ujian nasional hanya akan memasung kreatifitas para guru di tingkat satuan pendidikan. Jasa- jasa mereka kurang dihargai.
Dengan adanya UN mereka sudah kehabisan energi dan waktu untuk mengajar anak kemudian ditambah lagi dengan sekolah sore, tapi pada akhirnya ketika ujian datang, pihak lain yang mengujikan. Artinya, sia-sia saja para guru penuh semangat untuk menhadapi UN yang pada akhinya tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Ketujuh, Dengan adanya UN akan menciptakan pola hubungan sosial yang tidak konstruktif dan kondusif di sekolah, telah terjadi dikotomi pendidikan antara guru yang UN dan tidak UN, guru yang di UN-kan mata pelajarannya akan menerima honor dari Dinas Pendidikan, sedangkan guru yang tidak di UN-kan tidak ada kebagian apa- apa.
Pada tingkat siswa pun terjadi dikotomi. Mereka lebih bersemangat dan bergairah untuk mengikuti mata pelajaran yang di UN-kan ketimbang mata pelajaran yang tidak di UN- kan. Akibatnya, hubungan batin antara guru dengan guru dan guru dengan murid terganggu dan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan proses pembelajaran.
Menurut penulis, tujuh persoalan itu yang mesti menjadi bahan renungan dan kajian oleh pihak terkait yang terlibat dalam bidang pendidikan sebelum di adakan UN. Penulis, sampai hari ini tidak begitu mengerti, apa sebenarnya target yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam pelaksanaan UN.
Dengan semangatnya melaksanakan UN. Walaupun, bagian besar dana dipangkas oleh Komisi X DPR. Apakah orientasinya untuk jangka pendek atau jangka panjang ? Jawaban yang paling masuk akal adalah untuk jangka pendek karena pemerintah masih membutuhkan hasil ujian akhir sebagai alat untuk memetakan satuan pendidikan ( Permen No 37/ 2007 Pasal 3 a ).
Kalau tujuan dilaksanakan UN itu hanya untuk memetakan satuan pendidikan. Menurut penulis, tidak perlu caranya seperti sensus karena ini adalah pemborosan anggaran, tenaga dan waktu.
Dalam lapangan ilmu lain pun. Misalnya, Ilmu lingkungan dan para ahli lingkungan hidup untuk memetakan mutu sebuah lingkungan tidak mengadakan penelitian di tiap tempat, cukup mengambil sample, lalu menarik kesimpulan.
Memetakan mutu pendidikan juga bisa dengan mengambil sample secara rutin. Kalau ini yang dijadikan tujuan oleh pemerintah, betapa ruginya bangsa ini, menhamburkan uang, energi dan waktu hanya untuk kepentingan pemetaan satuan pendidikan.
Pada hal, ada cara lain yang bisa dipakai yang lebih sistematis, praktis, ekonomis serta tidak mengorbankan tujuan pendidikan dan tingkat akurasinya terjamin dibandingkan dengan yang dilakukan sekarang. Jangan- jangan UN hanya dijadikan penelitian oleh pemerintah yang kurang pekerjaan di Depdiknas. Karena mereka melakukan penelitian itu diharapkan semua pihak-pihak terkait dalam bidang pendidikan untuk menyukseskan penelitian nasional itu.
Menurut penulis tidak ada yang di dapat dari UN itu, hanya akan menyeret dunia pendidikan kepada kalkulasi kepentingan jangka pendek. Pada hal, tujuan yang paling besar dan visi jangka panjang sesungguhnya adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hari ini.
Kita tidak ingin terjebak pada ritual UN, yang pada hakekatnya adalah untuk memenuhi “ kehausan “ pejabat tertentu, yang mempunyai agenda terselubung dalam pelaksanaan UN.
Bukankah pendidikan itu untuk memenuhi kehausan semua orang bukan hanya terhadap sekelompok orang!. Akan lebih baik dana yang dialokasikan untuk UN itu digunakan untuk menambah gaji guru dan untuk perbaikan fasilitas dan sarana- sarana pendidikan yang rusak.
Kita lihat saja untuk ke depannya, dinding- dinding sekolah kita akan terus keropos, lantainya akan terus berlubang dan atapnya akan terus bocor karena pemerintah belum sepenuh hati memperhatikan dunia pendidikan. Putusan MA yang menolak kasasi UN ini wajib dijadikan bahan korektif dan perbaikan bagi Departemen Pendidikan Nasional dalam penyelenggaran UN sehingga asas mutu dan keadilan dalam penyelenggaraannya dapat tercapai.
Penulis adalah Wartawan LKBN antara-sumbar.com Pasaman.