Ketika pertama kali menonton film berjudul “Merantau”, saya tergelitik untuk berkomentar. Film yang digarap sutradara asal Inggris Gareth Huw Evans ini merupakan film pertama yang berkisah tentang perantauan orang minang dengan judul yang singkat, yaitu Merantau. Sepengetahuan saya ada juga film yang berkisah tentang perantauan tapi judulnya berbeda, misalnya film Sengsara Membawa Nikmat yang beredar tahun 1990-an. Dari judulnya belum bisa ditebak isinya, lain hal kalau sudah ditonton. Maka film Merantau ini akan mudah ditebak sekali jalan ceritanya, melihat dari judulnya yang lugas dan tegas. Merantau dalam film ini maksudnya meninggalkan segala kenyamanan di kampung halaman dan menuju ke hiruk pikuknya kota besar Jakarta. Sebagai sarana penempa mental dan pendewasaan, juga berharap bisa mendapatkan kesuksesan yang menciptakan nama besar saat mereka kembali ke kampung halaman nantinya. Film Merantau bercerita tentang seorang laki-laki minang yang pergi merantau ke Jakarta. Hal itu dilakukan Yuda-pameran utama- untuk melanjutkan tradisi merantau orang kampungnya dan sebagaimana juga dilakukan oleh nenek moyangnya terdahulu. Jika ingin menjadi laki-laki minang sejati maka merantaulah. Begitu tekad Yuda kepada Amaknya ( Christine Hakim) sebelum pergi ke Jakarta. Sehingga berbekal ilmu beladiri silat harimau yang dimilikinya, nasehat amak dan peninggalan ayahnya Yuda berangkat ke Jakarta. Berbekal ilmu silat harimau itulah, Yuda ingin menjadi guru silat sekaligus menegakkan kebenaran di Jakarta. Bagi Yuda, kegunaan ilmu silat bukan untuk menjadi penjahat atau mencari uang yang tidak halal. Seperti menjadi pelindung kejahatan. Maka ketika ada kawan satu kampung dengannya- Erik- ingin mengajak masuk kedunia kejahatan, Yuda menolak. Padahal Erik sudah memberikan kesempatan kepada Yuda tentang cara mudah mendapatkan uang dengan mudah. Begitu juga dengan permintaan Adit, adik Astri, yang ingin belajar silat agar ia dapat leluasa mencopet. Juga tidak dilayani Yuda. Silat gunanya untuk membela diri dan menegakkan kebenaran. Berulang kali Yuda menyampaikan. *** Komentar saya itu muncul ketika menyimak keseharian Yuda di Jakarta yang sangat berbeda ketika ia berada di kampungnya. Ketika di kampung Yuda seringkali melakukan sholat dan rajin berlatih silat. Disamping itu Yuda juga mengaji. Dua kebiasaan inilah yang nampaknya tidak ditemukan lagi ketika Yuda berada di Jakarta. Ketika malam tiba Yuda justru tidur di gelondongan semen. Tempat itu digunakan pekerja siang hari. Yuda juga tidak pernah minta izin untuk menginap. Pertanyaannya kenapa Yuda tidak mencoba mencari mesjid atau tempat lain untuk bermalam. Keheranan saya juga muncul ketika adegan perkelahian lebih banyak dibandingkan dengan adegan lainnya. Kalau hanya perkelahian yang ditonjolkan bukan lagi merujuk kepada tujuan merantau orang minang yaitu mencari harta, mencari ilmu, atau mencari pangkat. Orang minang tidak menebar permusuhan di rantau. Benar bahwa yang dibela oleh Yuda itu menegakkan kebenaran. Namun kalau memang ada kejahatan kenapa Yuda tidak mencoba melaporkannya ke Polisi. Seharusnya Yuda tidak menjadi pahlawan kesiangan dengan mengambil keputusan sendiri untuk melawan komplotan pejahat itu. *** Walaupun keinginan Yuda untuk menjadi guru silat di Jakarta tidak terkabul, namun tujuannya untuk menegakkan kebenaran sudah tercapai. Ia sekuat tenaga menolong Astri, salah seorang perempuan yang akan dijual untuk komoditi seksual ke luar negeri. Meskipun Yuda baru mengenalnya, tapi ia sudah berketetapan hati untuk membantu Astri. Agaknya peran kegunaan silat harimau itu tercapai. Sampai akhirnya Yuda dapat membasmi komplotan penjual perempuan ke luar negeri. Walaupun Yuda harus kehilangan nyawanya. Akhirnya saya menyambut baik kehadiran film ini sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap budaya daerah. Sudah saatnya film–film indonesia menonjolkan budaya lokal. Sehingga budaya daerah tersebut dapat diketahui oleh yang lainnya dan membangkitkan kecintaan terhadap budaya lokal di Indonesia. Namun tentu tidak bisa sebatas itu saja, perlu kiranya kembali film-film itu lebih menonjolkan karakteristik budaya daerah itu sendiri. Sekian. Terima kasih. (***)

Pewarta : Revi Marta Dasta, Ketua Umum Badko HMI Sumbar
Editor :
Copyright © ANTARA 2024