Disela-sela pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) tidak banyak yang mengetahui bahwa pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah menandatangani dua kesepakatan terkait penyelamatan terumbu karang dan eksplorasi Samudera Hindia. Penandatanganan dua kerjasama tersebut dilakukan di Sintessa Peninsula, Manado, Selasa (12/5). Hadir pada kesempatan tersebut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Gellwyn Jusuf, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jana Anggadiredja, Wakil Menteri Muda untuk Lautan dan Atmosfer/National Oceanic and Atmospheric Administation (NOAA), Mary M Glackin, Asisten Administrator NOAA Richard W Spinrad, Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron R Hume, Direktur USAID (Badan Pembangunan Internasional Pemerintah Amerika Serikat) Walter North. Kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan antar lembaga dan hubungan bilateral antar kedua negara dibidang eksplorasi laut, perubahan iklim, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, terkait dengan proyek KTT Segitiga Terumbu Karang atau dikenal dengan "Coral Triangle Initiative" (CTI). Untuk kerjasama tersebut AS memberikan suntikan dana sebesar 1,6 juta dolar AS yang diberikan selama lima tahun secara bertahap, diluar dari 40 juta dolar AS yang telah dijanjikan sebelumnya untuk CTI. Tidak hanya itu, pemerintah AS juga memberikan beasiswa bagi peneliti Indonesia dan staf dari DKP, BPPT, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di salah satu universitas AS. Menteri Kelautan dan Perikanan sendiri mengharapkan kerjasama tersebut terus dapat ditingkatkan di masa depan, terutama tentang penelitian di laut dan dampaknya terhadap perubahan iklim, serta dapat melihat potensi bawah laut yang dimiliki Indonesia. "Kerjasama tadi untuk membantu CTI, bagaimana agar terumbu karang tetap terjaga dengan baik sehingga dapat berkontribusi untuk semua pihak dalam jangka panjang," ujar Freddy. Dalam hal penambahan kapasitas sumber daya manusia, ia menambahkan bahwa dalam kesempatan ini pihak Indonesia juga menawarkan agar pelatihan dapat dilakukan dengan menggunakan kapal peneliti milik Indonesia, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas kapal peneliti Indonesia. Menurut Freddy, jumlah peneliti Indonesia yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di AS bertambah menjadi 10 orang, diharapkan jumlah tersebut akan terus berkembang hingga 100 atau 200 orang di masa depan. "Kita minta kalau bisa dari daerah-daerah kepulauan, seperti Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, NTT, NTB." Sedangkan Sekjen DKP, Widi Agoes Pratikto mengatakan ke depan diharapkan kerjasama dengan AS tersebut juga dapat dilanjutkan kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, karena ini termasuk upaya investasi di sumber daya manusia yang berurusan dengan laut. Sementara Duta Besar AS untuk Indonesia mengatakan bahwa paket kerjasama tersebut memperkuat komitmen negaranya untuk membantu Indonesia dan sekitarnya untuk menangani isu-isu perubahan iklim dan keanekaragaman hayati laut. "Kami menantikan kerjasama yang lebih erat dengan mitra seperti Indonesia dalam isu perubahan iklim. Indonesia telah menunjukan kepemimpinan yang sesungguhnya dengan menjadi tuan rumah bagi Konferensi Kelautan Dunia, dan kami senang bisa membawa delegasi yang kuat untuk berpartisipasi dalam konferensi di Manado ini," ujar Hume. Secara total AS memang menghadirkan 40 delegasi yang diantaranya berasal dari NOAA pada acara Konferensi Kelautan Dunia pertama di Manado, Sulawesi Utara, pada 11-15 Mei 2009. Namun keberadaan mereka yang sebelumnya akan didukung pula oleh kehadiran kapal peneliti NOAA yakni Okeanos Explorer ternyata batal, kapal tersebut tidak jadi merapat ke perairan Teluk Manado. Mengeksplorasi Samudera Hindia Sehari sebelum ditandatanganinya dua kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat, di tempat yang berbeda kerjasama tersebut sebenarnya telah diawali dengan pertemuan antara DKP dengan NOAA yang dipimpin oleh Sekjen DKP Widi Agoes Pratikto dan Asissten Administrator Oceonic and Atmospheric Research Richard W Spinrad. "Join Commision Meeting" antara DKP dan NOAA tersebut membahas beberapa topik terkait perikanan, eksplorasi laut, laut dan perubahan iklim, pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, serta penandatanganan kerjasama pengamatan di Samudera Hindia. Sekjen DKP menjelaskan bahwa kerjasama terkait dengan kajian perubahan iklim dan kelautan adalah melakukan pemantauan bersama kondisi kelautan Samudera Hindia, lokakarya tahunan tentang laut, melakukan eksplorasi bersama antara peneliti Indonesia dan Amerika Serikat diantaranya dengan menggunakan kapal peneliti NOAA Okeanos Explorer. Kerjasama eksplorasi ini termasuk meneliti apakah di "seabet line" terdapat minyak atau kandungan mineral lainnya, ujar Widi. "Kita kan bukan hanya ingin melihat isi laut sekarang, tapi juga ingin melihat 25 tahun atau 50 tahun ke depan". Kepala Badan Teknologi Survei Kelautan BPPT, Ridwan Djamalludin mengatakan, BPPT bersama dengan NOAA akan memasang "buoy" di Samudera Hindia untuk kepentingan penelitian terkait eksplorasi dan observasi laut serta dampak dan manfaatnya akibat pemanasan global. Bagi komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kerjasama tersebut, menurut dia, lebih sebagai upaya memajukan iptek Indonesia. Sedangkan dari segi pemanfaatan kawasan Samudera Hindia, ia mengatakan, memang masih banyak yang belum di pantau karena itu lah kerjasama ini dilakukan. "Di sana akan ada komponen alih teknologinya, mereka akan mengirimkan alatnya, mereka gunakan kapal kita, melatih ahli-ahli kita untuk terlibat dalam pengelolaan data, dalam pengambilan data, dan lain-lainnya," ujar Ridwan. Ia mengatakan bahwa pihak AS akan memanfaatkan Kapal Peneliti Baruna Jaya untuk memasang alat bersama buoy yang berfungsi memantau laut serta interaksi laut dengan atmosfer, yang secara tidak langsung akan memberikan data terkait dampak pemanasan global terhadap laut. Contoh kasus yang dapat dipantau dari buoy tersebut adalah kenaikan muka air laut, karena selama ini Indonesia belum memiliki data tersebut, hanya berdasarkan pada data empiris berupa data penelitian di tempat lain yang dibawa ke Indonesia. Data akan diterima oleh BPPT, diolah bersama-sama, dan akan diinformasikan hasilnya. Data tersebut akan selalu ada di dua tempat, yakni di BPPT dan di NOAA sendiri secara "online". Bagi Indonesia kerjasama ini bermanfaat untuk memperoleh data kelautan dan data cuaca dari buoy tersebut, guna mengetahui perubahan cuaca yang sangat ekstrim akhir-akhir ini. Diharapkan Indonesia dapat belajar dan mampu membuat alat pemantau cuaca tersebut sendiri. Sementara bagi AS sendiri, ia mengatakan, akan mempermudah mereka dalam operasional. Apabila buoy di Samudera Hindia rusak tentu tidak akan membutuhkan waktu lama memperbaikinya karena ahli-ahli dari Indonesia yang telah dilatih akan membantu memperbaikinya. Pembiayaan kerjasama penelitian Sebuah penelitian kelautan sudah pasti akan memakan biaya besar. Dalam kerjasama penelitian kali ini, menurut Sekjen DKP, akan menghabiskan dana hingga 12 juta dolar AS, yang akan digunakan hingga 2010 nanti. " Pada tahun 2009 ada dana dua juta dolar AS, sedangkan pada tahun 2010 dana yang akan disalurkan mencapai lima hingga 10 juta dolar AS," ujar dia. Namun, ia menambahkan, khusus untuk setiap kegiatan rutin DKP akan mengeluarkan dana sendiri, sedangkan beberapa program atau proyek lainnya akan dibantu oleh USAID. Kepala Badan Teknologi Survei Kelautan BPPT, Ridwan Djamalludin mengatakan, khusus untuk dana pelatihan dan pengelolaan data memang dibiayai oleh pihak AS. Dan sama sekali tidak terdapat transfer dana tunai dari pihak AS kepada BPPT sesuai dengan kesepakatan bersama. Sementara itu, terkait dengan keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sekjen DKP mengatakan bahwa kerjasama dengan NOAA sudah pasti mengikuit Keppres Nomor 78 Tahun 2005 tentang Penjagaan Pulau-pulau terluar. "Sejauh kerjasama ini aman, tidak membahayakan, dan wilayah kita terjaga, Insya Allah itu aman". Khusus untuk sub kelompok kerja yang khusus meneliti laut dan iklim pembahasannya dipimpin oleh Aryo Anggono dari DKP dan Sidney Thurston dari NOAA. Kedua pihak menyepakati untuk bekerjasama berkontribusi dalam pengembangan dan operasional Indonesia Global Ocean Observing System (InaGOOS) dan untuk The International Research Moored Array for African-Asian-Australian Monsoon Analysis and Prediction (RAMA). Kedua pihak juga akan berkerjasama mengembangkan sosio ekonomi wilayah pesisir melalui kegiatan observasi untuk mengetahui resiko dan manajemen yang tepat terkait perubahan iklim, perikanan, hingga manajemen air bersih. Kedua pihak juga setuju untuk membangun program manajemen wilayah pesisir dan pulau kecil terintegrasi (Integrated Coastal and Small Islands Management/ICM) untuk adaptasi dampat perubahan iklim di wilayah pesisir. Workshop akan digelar pada bulan Agustus 2009 dan November 2009. Sedangkan pertemuan berikutnya antara DKP dan NOAA akan dilakukan melalui teleconferen pada pertengahan tahun, menyusul "Join Committee Meeting" berikutnya di Indonesia pada 2010 mendatang dan belum ditentukan waktunya. (*/wij)

Pewarta : Virna Puspa Setyorini
Editor :
Copyright © ANTARA 2024