Tidak sampai dua bulan lagi, pesta demokrasi akbar Indonesia alias Pemilu 2009 akan berlangsung. Seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu telah melakukan berbagai persiapan dengan berbagai perubahan untuk sebuah perbaikan. Salah satu perubahan yang cukup nyata adalah bergantinya sistem coblos menjadi sistem centang. Perubahan coblos menjadi centang lebih terkait pada cara pelaksanaan sehingga dengan melakukan simulasi hal tersebut tentu akan bisa teratasi
Perubahan lainnya yang perlu disoroti adalah perubahan format kertas surat suara pemilu. Biasanya, kertas suara mencantumkan nama dan foto calon legislatif (caleg) sehingga pemilih bisa mengenali calon wakilnya untuk DPR-RI dan DPRD Tk I dan II berdasarkan nama dan foto. Untuk Pemilu 2009 Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat mengubah format kertas suara hanya dengan mencantumkan nama caleg saja tanpa foto, kecuali kertas suara untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Perubahan format surat suara tersebut tentunya tidak begitu menjadi masalah bagi pemilih yang pandai baca, tulis, dan hitung. Tetapi akan cukup menyulitkan pemilih yang menderita Keaksaraan Fungsional (KF) alias buta angka dan huruf dalam menentukan pilihannya pada Pemilu 2009. Kondisi tersebut akan sangat memungkinkan munculnya kendala baru dalam Pemilu 2009 karena kemungkinan salah pilih bagi masyarakat penderita KF akan sangat besar.
Pemberitaan yang ada di televisi, KPU telah mempersiapkan penanganan khusus terhadap penderita tuna netra tetapi belum ada pemberitaan terkait dengan upaya KPU untuk menyikapi keberadaan pemilih penderita KF. Apakah keberadaan mereka luput dari perhatian KPU?
Terlupakannya keberadaan penduduk penderita KF memang sangat mungkin terjadi karena selama ini kendala yang muncul dalam pemilu tidak pernah terkait dengan pemilih penderita KF. Akan tetapi perubahan format surat suara yang berbeda dari pemilu sebelumnya bisa diprediksi akan sangat memungkinkan mengemukanya masalah baru yang terkait dengan penderita KF.
Apalagi sampai saat ini belum ada jaminan Indonesia telah bebas KF. Untuk Provinsi Sumatera Barat saja, berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Barat, tahun 2006 terdapat sekitar 3,65 % dari 4.632.152 penduduk di Sumatera Barat yang menderita KF. Sementara itu penanganan yang telah dilakukan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sumbar sejak tahun 2006 sampai tahun 2008 hanya sekitar 106.522 orang. Jumlah itu pun belum bisa dipastikan semuanya telah bebas dari KF karena untuk pemberantasan KF harus melalui tiga tahap yakni tahap dasar, tahap lanjut, dan tahap mandiri.
Data di atas masih berupa perkiraan sehingga untuk keakuratan data tentunya KPU harus bekerja sama dengan para walinagari se Sumatera Barat karena walinagari lah yang lebih mengetahui kondisi masyarakat di tingkat nagari. Dengan demikian maka data pasti tentang penderita KF di Sumatera Barat akan terungkap sehingga antisipasi untuk menghadapi Pemilu 2009 bisa segera diatasi.
Selama ini, koordinasi antara Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota belum begitu bagus padahal pemberantasan KF membutuhkan penanganan bersama yang bersifat berkesinambungan dalam program dan anggaran dana. Pemerintah Kabupaten dan Kota masih banyak yang hanya mengandalkan dana dari Provinsi dan tidak memiliki anggaran dana khusus untuk menanggani KF di wilayah mereka. Kendala lainnya tentu terkait dengan budaya orang Minang yang biasanya malu mengakui kalau mereka tidak mengenali angka dan huruf.
Kondisi ini tentunya harus segera disikapi oleh KPU karena masih ada waktu menjelang penyelenggaraan Pemilu yang direncanakan tanggal 9 April 2009 nanti. Jangan sampai lah tumbuah baru disiangi, abih cakak silek takana (sudah tumbuh baru dibersihkan, habis bertarung baru ingat jurus) tetapi bagusnya maminteh sabalun anyuik, baringek sabalun kanai (mengatasi sebelum hanyut, waspada sebelum terjadi) . Mudah-mudahan Pemilu 2009 berjalan dengan sukses. (***)