Wow, ternyata Sumatera Barat memiliki istana selain Istano Baso Pagaruyung dan Silinduang Bulan. Sumatera Barat yang selama ini dianggap tak bisa bersaing dengan daerah lain di Indonesia secara ekonomi, ternyata mampu membangun sebuah istana untuk gubernurnya.
Namun sekarang timbul pertanyaan, sejak kapan istana tersebut dibangun ? untuk apa kegunaannnya ? siapa yang tinggal di sana? dan lain sebagainya. Satu demi satu pertanyaan hinggap di benak masyarakat Sumatera Barat akan "Istana Gubernur" tersebut.
Meski tak hendak "mancikaraui" lafalan yang tak lazim tersebut, sebaiknya dienyahkan saja. Selain tak manis dan tak elok untuk didengar, juga akan semakin memperuncing jurang antara gubernur dan bawahannya serta kepala daerah lainnya di Sumatera Barat serta masyarakat kebanyakan.
Secara kasat mata, kata istana selalu diidentikkan dengan kediaman raja yang memerintah dengan kemauannya. Seorang raja tak bisa disanggah meski oleh istri dan anak serta keluarganya sekalipun.
Menyigi asumsi di atas, tentu yang ditemukan adalah kebalikannya. Sebab di "istana gubernur" Jalan Sudirman No 51 Padang (sebenarnya yang tepat Jalan Sudirman No 48) itu, masih bisa "berbalas pantun", perang urat syaraf bahkan menyanggah "titah" sang empunya istana.
Inilah indahnya demokrasi di Sumatera Barat, meski di "istana" sendiri, sang raja dalam hal ini geburnur, tak punya kata putus terhadap sebuah objek yang diperbincangkan banyak pihak. Gubernur tetap sebagai pihak yang harus mengedepankan unsur kepentingan masyarakat. Selain itu, dalam mengambil kebijakan, gubernur pun harus "ber iya ber tida" dengan legislatif.
Kembali ke masalah istana, tak hanya masyarakat yang "kaget" dengan "istana gubernur" wartawan yang biasa "hilir mudik" di blantika perberitaan Ranahminang pun tak urung kaget dengan keberadaan "istana gubernur".
Entah siapa yang memulai, entah siapa pula yang memberikan nama, namun sebaiknya istilah "istana gubernur" dihilangkan dan dikembalikan ke sebutan gubernuran. Toh dengan tidak menyebut "istana gubernur" masyarakat awam bahkan seorang kernet bus kota juga tahu persis letak "istana" tersebut.
Sejak era Kaharudin Dt Rangkayo Basa yang memimpin Sumbar pada 1958-1965 hingga era Gamawan Fauzi (2005-2009), tak sedikitpun pernah istilah "istana gubernur" mencuat.
Namun ternyata, hanya dalam setahun, Sumatera Barat memiliki sebuah istana untuk kepala daerahnya. Bukankah ini sebuah hal yang sangat hebat.***