Penghargaan Ramon Magsaysay yang diperoleh tokoh nasional dan putra Minang Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif adalah satu hal yang sangat membanggakan bagi daerah dan rakyat Sumatera Barat, dan tentu saja patut kita syukuri. Banyak putra Minang yang sukses berkiprah di luar Sumatera Barat, mengukir nama harum di tingkat nasional bahkan internasional. Buya Ahmad Syafii Ma’arif adalah salah satunya. Sudah saatnya pula, kita memberikan penghargaan yang tinggi pula bagi putra-putra terbaik kelahiran atau yang berasal dari Minang tersebut. Katakanlah, ini semacam usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan “budaya” besar-membesarkan di kalangan orang Minang sendiri – yakni menghargai prestasi dan amal perbuatan secara proporsional. Itulah salah satu makna dari acara syukuran yang kita gelar hari ini. *** Buya Ahmad Syafii Ma’arif adalah salah satu prototipe orang Minang perantau yang sukses berkiprah di tingkat nasional bahkan internasional. Lebih setengah abad dari usianya yang telah 73 tahun lebih dewasa ini dihabiskan di rantau –paling lama di Yogyakarta. Ada tiga tujuan merantau Orang Minang. Pertama, mencari harta (berdagang); kedua mencari ilmu; dan ketiga, mencari pekerjaan atau jabatan. Ketiganya menghasilkan orang-orang yang hebat di bidangnya: para saudagar dan pengusaha kaya; ilmuwan, cendekiawan dan ulama terkemuka dan tinggi ilmunya; serta, para pejabat atau professional yang menonjol di bidangnya. Karena itu ketika pembukaan acara SSM ke dua selepas lebaran tahun ini saya melontarkan gagasan agar tahun depan jangan hanya Saudagar Minang yang bersilaturrahmi tapi juga intelektual Minang dan cendikiawan Minang. Hal ini ternyata mulai mendapat respon positif dari perantau kita yang pergi menuntut ilmu diluar Sumatera Barat. Ahmad Syafii Ma’arif termasuk kategori perantau pencari ilmu yang sukses di bidangnya. Ia mewakili kalangan cendekiawan –ilmuwan sekaligus ulama— sebagai produk tradisi merantau orang Minang. Menurut Rudolf Mrazek, penulis Biografi Sutan Sjahrir, ada dua tipologi budaya Minang, yakni “dinamisme” dan “anti-parokialisme”. Keduanya ditandai dengan tradisi merantau, melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter dan berpandangan luas. Kedua topologi itu, yang berjalin-berkelindan pada orang-orang besar dari Minangkabau seperti Bung Hatta, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Haji Agus Salim, Buya Hamka, dan lain-lain, menurut hemat saya, juga ditemukan dalam diri seorang Ahmad Syafii Ma’arif. Beliau adalah seorang cendekiawan asal Minang yang besar dan berkiprah di rantau. Dan tradisi merantau sendiri terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) yang baik sebagai salah satu ciri khas mereka, membuat orang Minang mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Dalam alam pikiran orang Minangkabau --analog dengan dunia agraris-- kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya hanya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian untuk mencari lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang besar dan berbuah. Proses seperti ini juga dialami oleh Ahmad Syafii Ma’arif –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”. Merantau sejak usia 18 tahun, hingga saat ini sudah lebih setengah abad ia hidup di negeri orang. Sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta, dan bertahun-tahun pula Buya Syafii hidup di Amerika, salah satu negara paling majemuk dan mengaku paling demokratis di dunia. Saya menduga, meskipun lama merantau di Amerika, rantau Yogyakarta paling besar pengaruhnya dalam kehidupan Buya Syafii. Yogyakarta secara sosial-budaya adalah kawasan yang unik –pusat budaya Jawa sekaligus kota pendidikan tempat berkiprahnya para ilmuwan dan intelektual dari berbagai suku bangsa. Di sini hidup budaya Keraton yang puritan, tapi juga tempat tumbuh dan berkembangnya budaya kosmopolitan yang plural. Alam Yogya yang khas ini tentu ikut memupuk jiwa dan membentuk sosok seorang Ahmad Syafii Ma’arif yang datang dari sebuah suku bangsa yang dinamis, egaliter dan berjiwa merdeka. Jiwa merdeka dan sikap egaliter itu pulalah yang saya saksikan pada diri Buya Syafii Ma’arif. Saya turut hadir dalam acara syukuran 70 Tahun Buya Syafii yang diadakan di Wisma Antara, tiga tahun yang lalu. Banyak tokoh penting nasional dan kalangan diplomatik asing yang hadir. Turut memberi sambutan dalam acara itu adalah Taufik Kiemas, Ketua Dewan Penasihat PDI Perjuangan yang juga suami mantan Presiden Megawati. Dalam sambutannya Taufik Kiemas menceritakan sosok Buya Syafii Ma’arif yang egaliter dan berwibawa. Satu kali Buya berkunjung ke kediaman Presiden Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta. Taufik Kiemas menyambut kedatangannya. Setelah bersalaman, melihat kiri-kanan, lalu dengan ‘seenaknya’ Buya bertanya; “Fik, mana Mega?” Cara Buya Syafii bertanya itu seperti menanyakan istri kemenakannya saja. “Padahal, waktu itu istri saya adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Taufik Kiemas mengisahkan kejadian itu. *** Rantau Jawa mungkin telah ikut membentuk kepribadian Buya Syafii Ma’arif yang penuh toleransi, terbuka atas berbagai faham dan aliran pemikiran, namun tetap menjadi pemeluk Islam yang taat sebagai salah satu ciri anak Minangkabau. Sikap terbuka dan adaptatif terhadap kemajemukan boleh pula dikatakan sebagai salah satu sikap dasar orang Minang. Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang Minang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Ini sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup mereka: di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing mengembek, di kandang kerbau mengo’ek. Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman. Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di rantaunya masing-masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955-1960), dan Muhammad Padang (1960-1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964-1968); Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama Provinsi Jambi (1956-1957). Hal yang sama juga terjadi pada diri Buya Ahmad Syafii Ma’arif. Selain sebagai intelektual yang produktif menulis dan berbicara di berbagai forum nasional dan internasional, beliau juga aktif dalam Muhammadiyah –persyarikatan yang lahir di Yogyakarta dan besar di Minangkabau. Buya Syafii adalah orang Minang kedua yang sampai ke pucuk pimpinan Muhammadiyah setelah Buya A.R. Sutan Mansyur. *** Sebagai tokoh dan intelektual terkemuka Indonesia, kiprah Prof. Dr. Syafii Ma’arif sudah diakui di tingkat nasional maupun internasional. Penghargaan Ramon Magsaysay di bidang Peace and International Understanding (Perdamaian dan Pemahaman Internasional) yang beliau terima di Manila, Filipina, tanggal 31 Agustus 2008 yang baru lalu, adalah bukti dari reputasi dan kiprahnya. Meskipun sudah menjadi tokoh nasional dan internasional, namun sebagai orang Minang, Buya Ahmad Syafii Ma’arif tetaplah tak bisa lepas dari kepedulian dan kecintaan kepada kampung halamannya. Kecintaan dan kepdulian kepada kampung halaman, mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya Rasjid - 70: “On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu). Namun bagi orang Minang, demikian pula pada diri Ahmad Syafii Ma’arif, kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman boleh dikatakan cukup menonjol. Selain diperlihatkan dalam karya-karya intelektualnya, hal itu juga dapat dilihat dalam perbuatan nyata, baik kepada Sumatera Barat maupun terhadap tanah kelahirannya, Nagari Sumpur Kudus di pelosok Kabupaten Sijunjung nun jauh di sana. Awal tahun 2005 silam, Buya Ahmad Syafii Ma’arif mampir ke kantor saya di Arosuka (ketika itu saya masih menjabat Bupati Solok). Dalam kesempatan itu, beliau sempat menanyakan apakah saya akan maju dalam pemilihan Gubernur Sumatera Barat yang tak lama lagi akan digelar melalui Pilkada langsung. Beliau bahkan sempat menyarankan saya berpasangan dengan salah seorang tokoh dari rantau yang sukses berkarir sebagai professional di sebuah BUMN besar. Waktu itu saya jawab, saya masih pikir-pikir mengingat Pilkada langsung tersebut juga besar konsekuensinya. Selain harus dicalonkan partai politik, biayanya juga besar. Kepulangan Buya Syafii Ma’arif ke Sumatera Barat waktu itu sebenarnya bukanlah untuk ‘mengurus’ Pilkada. Beliau pulang adalah untuk menghadiri peresmian Listrik Masuk Desa (LMD) ke Nagari Sumpur Kudus, kampung kelahirannya. Karena itu, beliau pulang bersama rombongan Direksi dan pejabat PLN. Listrik masuk desa ke Sumpur Kudus itu merupakan hal yang sudah beliau perjuangkan sejak lama. Di situlah saya lihat keminangan sorang Ahmad Syafii Ma’arif. Setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman diperjuangkan juga. *** Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma’arif salah salah satu sosok tokoh intelektual asal Minangkabau yang patut dicontoh dan diteladani oleh generasi muda Sumatera Barat masa kini. Kiprahnya di tingkat nasional maupun internasional tak diragukan lagi. Penghargaan Ramon Magsaysay yang diperolehnya dari Pemerintah Filipina, adalah bukti dari peranan dan kiprahnya sebagai intelektual, tokoh pergerakan dan organisasi sosial. Apa yang telah dicapai oleh Profesor Syafii Ma’arif ini, tentu saja membanggakan bagi daerah dan rakyat Sumatera Barat. Karena itu, kita tentu mengharapkan, apa yang telah beliau perbuat dan lakukan, patut menjadi motivasi dan memberikan inspirasi bagi masyarakat Sumatera Barat dan perantau Minang di manapun berada. Dalam perkembangan dunia global maupun keadaan nasional kita dewasa ini, kita memerlukan kehadiran tokoh-tokoh dan pemimpin seperti Prof. Ahmad Syafii Ma’arif. Yakni sosok yang mempunyai watak demokratis, berjiwa pendidik, penuh toleransi, taat beragama, mempunyai integritas dan moral yang tinggi. Satu hal lagi yang patut kita teladani dari pribadi Buya Syafii Ma’arif adalah, sekalipun telah mencapai puncak prestasi kecendikiawannya yang tinggi, beliau adalah sosok yang istiqamah, rendah hati dan hidup sederhana. Mengutip Karen Amstrong, yang menulis Riwayat Hidup Nabi Muhammad, kekuatan utama kepemimpinan Rasulullah sehingga ia menjadi panutan dan ajarannya diikuti umat, adalah karena beliau hidup bersahaja dan memiliki sifat yang rendah hati. Tidak pernah boros dan hidup berlebih-lebihan. Dewasa ini, banyak orang hebat, yang berpangkat, yang kuat dan berkuasa sebagai pemimpin di dunia, khususnya di negara kita. Tapi pemimpin yang istiqamah dan rendah hati, sekarang sudah menjadi barang langka. Buya Syafii Ma’arif menurut hemat saya, adalah salah satu dari ‘barang langka’ itu. Mudah-mudahan saja sosok, ide, pemikiran, karya dan kiprahnya bisa menginspirasi kita semua untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.** Padang, 1 November 2008

Pewarta : Gamawan Fauzi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024