Guru Besar IPB sebut mega potensi ekowisata harusnya masuk program unggulan

id guru besar IPB, pariwisata

Guru Besar IPB sebut mega potensi ekowisata harusnya masuk program unggulan

Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) IPB University, Prof Dr Ir Ricky Avenzora, M.Sc.F.Trop (tiga dari kiri) berfoto bersama keluarga usai menyampaikan orasi pada Sidang Terbuka Orasi Ilmiah Guru Besar IPB di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (20/9/2025). FOTO ANTARA: HO-Bambang/Humas IPB

Padang (ANTARA) - Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) IPB University, Prof Dr Ir Ricky Avenzora mengkritisi Indonesia yang memiliki mega potensi ekowisata di seluruh Nusantara, ternyata tidak masuk dalam program unggulan Kabinet Merah Putih.

"Saat ini pariwisata tidak masuk dalam program unggulan Kabinet Merah Putih," katanya dalam keterangan yang diterima saat Sidang Terbuka Orasi Ilmiah Guru Besar IPB di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (20/9/2025).

Mengusung tema "Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia", dalam sidang yang dipimpin Rektor IPB University, Prof Dr Arif Satria didampingi pimpinan Dewan Guru Besar IPB, ia memaparkan mega potensi ekowisata di Indonesia itu berupa "bio potentials", "geo-potentials", "cultural potentials" serta "marine & coastal potentials".

"Jumlahnya sangat berlimpah dalam hal jenis, jumlah, kualitas, maupun sebaran lokasi geografisnya, yang umumnya masuk dalam kategori 'golden distance'," katanya.

Ia memaparkan data di mana luas daratan Indonesia mencapai 1.919.440 km², dan dihuni oleh 1.340 etnis yang kaya akan adat serta budaya, serta 718 bahasa yang unik serta "distinc" satu sama lain.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lebih 17.508 pulau, 99.093 km garis pantai dan 6.400.000 km2 luas lautan. Meskipun negara tropis, tapi ada salju abadi di Puncak Cartenz. Ada Coral Triangle di wilayah Indonesia Timur (Sulawesi, Maluku dan Papua).

Ada puluhan volkano, fenomena "blue fire" di Gunung Ijen, ratusan air terjun yang magis, serta puluhan "Tongkonan" di Toraja dan ratusan Rumah Gadang di Ranah Minang yang berusia lebih dari 200 tahun.

Sejak 1980 hingga kini, Indonesia juga telah memiliki 57 Taman Nasional (TN) dan 12 Geopark. Namun, setelah lebih dari 50 tahun mengapa hingga kini belum ada 1 pun TN/Geopark yang telah diposisikan sebagai "subject/center of development", juga tidak pernah berhasil tumbuh secara signifikan sebagai suatu objek atau destinasi ekowisata yang bisa menjadi role model dalam pembangunan regional.

Karena itu, Ricky Avenzora memberikan pertanyaan kritis mengapa, untuk waktu puluhan tahun capaian wisatawan manca negara (Wisman) Indonesia selalu kalah dengan capaian negara-negara tetangga.

Pertanyaan selanjutnya, yakni dengan kelebihan dan kelimpahan mega potensi dimaksud, kenapa pariwisata justru tak masuk dalam program unggulan Kabinet Merah Putih pemerintahaan Presiden Prabowo Subianto.

"Proses retrospeksi menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam ruang akademis, dalam aspek birokrasi dan kebijakan, serta dalam dinamika sosial," katanya.

Tidak Komprehensif

Disebutkannya bahwa pendidikan kepariwisataan yang selama puluhan tahun hanya berkembang dalam skema vokasional telah menyebabkan kompetensi keilmuan menjadi tidak komprehensif dan juga sangat tidak memadai untuk mengelola mega potensi sumber daya wisata di Indonesia.

Demikian pula dengan aspek pendidikan yang hanya terkonsentrasi pada "travel management" dan "accommodation management" telah cenderung menghasilkan pemikiran masuk dalam kategori "a priory mindset".

Ia menyatakan bahwa meskipun ada segelintir insan pariwisata Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana, maka komptensinya pun tidak terbentuk secara utuh karena terbatasnya jumlah satuan kredit semester (SKS) yang mereka ambil selama mengikuti studi pascasarjana.

Diungkapkannya juga bahwa lemahnya kompetensi pendidikan juga menjadikan buruknya kinerja kolaboratif dalam birokrasi dan kebijakan.

Contoh terburuk dapat dilihat pada struktur logika perencanaan pada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2011-2025 yang diundangkan melalui PP.50/2011, yaitu 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) yang bersifat hierarkikal satu sama lain.

"Bisa dibayangkan waktu dan biaya yang harus dihabiskan guna menyusun 360 Dokumen Perencanaan yang bersifat hierarkikal tersebut?," katanya,

Selain itu, menurut dia, kerapuhan kinerja birokrasi kepariwisataan juga tampak pada berbagai tataran mulai dari pusat hingga daerah.

Ia menyebutkan bahw selama ini, Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata ibarat telah menjadi "panglima yang tidak memiliki kejelasan medan perang", yang cenderung hanya menghabiskan anggaran APBN/APBD untuk aspek promosi. Itupun, tidak pernah diukur efektifitasnya.

Padahal, ada kebutuhan pembangunan "the power places" dan "the power of programs" yang hampir tidak pernah disentuh sama sekali. Semua itu diperburuk oleh hadirnya dinamika pergantian kepemimpinan yang selalu membawa implikasi "discontinued policy" dan "discontinued budgeting".

Sesuai perjalanan waktu, banyak destinasi wisata di Indonesia yang perlahan tapi pasti malah jadi terperangkap dalam dinamika masalah lingkungan, masalah sosial maupun ketidakadilan dan kesenjangan redistribusi manfaat ekonomi pariwisata.

Pewarta :
Editor: Syarif Abdullah
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.