Samarinda (ANTARA) - Psikolog klinis Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur Elda Trialisa menegaskan pentingnya untuk tidak menormalkan praktik perundungan, meskipun berkedok candaan.
"Perundungan adalah tindakan penindasan berulang, baik secara psikologis maupun fisik, yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap individu yang dianggap lebih lemah," katanya di Samarinda, Jumat.
Perundungan telah menjadi isu yang mengkhawatirkan, tidak hanya di kalangan remaja, akan tetapi juga di kalangan orang dewasa.
Ia menegaskan bahwa perundungan berbeda dengan konflik biasa. Tujuan perundungan merendahkan atau menindas orang lain. Jika tidak ada pihak yang merasa disakiti, hal itu bisa dianggap sebagai obrolan biasa.
Ia mengungkapkan bahwa kasus perundungan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
"Sayangnya, masih banyak yang menganggap perundungan sebagai candaan. Ini sangat berbahaya karena perundungan dinormalisasi dan tidak disadari," ujarnya.
Elda menjelaskan perundungan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik fisik, verbal, psikologis, maupun perundungan siber. Perundungan fisik melibatkan tindakan, seperti memukul, menendang, dan mencubit. Perundungan verbal berupa ejekan, hinaan, dan pemberian julukan.
Perundungan psikologis, meliputi pengucilan, manipulasi, dan merendahkan dengan bahasa tubuh, sedangkan perundungan siber terjadi di dunia maya dengan berbagai bentuk, seperti flaming, cyberstalking, dan impersonation.
Ia mengatakan banyak faktor menyebabkan perundungan, baik internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kondisi psikologis individu, seperti pernah menjadi korban, mencari perhatian, kesulitan mengontrol emosi, dan keinginan untuk berkuasa.
Faktor eksternal meliputi latar belakang keluarga, kurangnya toleransi di sekolah, hukuman yang tidak membangun, pengaruh lingkungan sosial, dan media sosial.
Ia menjelaskan perundungan memiliki dampak serius bagi korban, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek meliputi penurunan kepercayaan diri, minat belajar menurun, dan menurunnya interaksi sosial, sedangkan jangka panjang dapat berupa gangguan psikologis yang lebih parah, seperti gangguan kecemasan, depresi, bahkan hingga tindakan self-harm.
Ia mengatakan perundungan dapat berdampak pada pelaku. Pelaku cenderung merasa lebih kuat, kurang empati, dan tidak merasa bersalah.
"Mereka menormalisasi tindakan perundungan dan menganggapnya sebagai hal biasa," ujarnya.
Elda menekankan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan perundungan. Pencegahan dapat dilakukan dengan membangun empati, menerapkan peraturan secara tegas, memberikan contoh yang baik, mengajarkan anak untuk berani melapor, serta mengajarkan simpati dan empati.
Penanganan perundungan, katanya, melibatkan tindakan tegas terhadap pelaku dan pendampingan bagi korban.
Ia menyarankan korban perundungan segera mendapatkan bantuan profesional untuk memulihkan kondisi psikologis yang meliputi mengenali emosi, meningkatkan kemampuan empati dan pertahanan diri, serta belajar memaafkan.
Dalam lingkup remaja, Elda menekankan pentingnya peran orang tua menangani kasus perundungan dengan menciptakan rasa aman bagi anak untuk bercerita, melakukan konfirmasi kepada pihak sekolah jika diperlukan, membentuk karakter anak agar jujur, serta memanfaatkan komunikasi yang baik dengan pihak sekolah.
Ia menjelaskan penanganan perundungan membutuhkan kolaborasi antara pihak sekolah, keluarga, dan tenaga profesional. Sekolah perlu menerapkan aturan yang tegas dan konsisten, memberikan pendampingan karakter bagi pelaku dan korban, serta bekerja sama dengan orang tua dalam menangani kasus perundungan.
Orang tua, katanya, perlu mendukung dan mendampingi anak, serta berkomunikasi secara terbuka dengan pihak sekolah, sedangkan tenaga profesional berperan memberikan pendampingan psikologis bagi korban dan pelaku.
"Mari kita hentikan perundungan. Mulai dari diri sendiri, latih empati, belajar memaafkan, dan jangan normalkan candaan yang merupakan perundungan. Pikirkan dampak sebelum bertindak," demikian Elda.