New York (ANTARA) - Harga minyak cenderung datar pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), tertekan setelah seorang komandan Libya mengatakan blokade pada ekspor minyak negara akan dicabut selama sebulan, sementara sinyal dukungan dari pertemuan OPEC+ mengangkat kontrak berjangka.
Baik patokan minyak mentah AS maupun Brent membukukan kenaikan mingguan setelah Arab Saudi menekan sekutu untuk patuh pada kuota produksi, Badai Sally memangkas produksi AS, dan bank-bank termasuk Goldman Sachs memperkirakan defisit pasokan.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November turun tipis 15 sen menjadi menetap di 43,15 dolar AS per barel, tetapi naik 8,3 persen untuk minggu ini. Minyak berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober naik tipis 14 sen menjadi ditutup di 41,11 dolar AS per barel, dan naik 10,1 persen untuk minggu ini.
Sentimen pasar jatuh pada Jumat (18/9/2020) setelah komandan Libya timur Khalifa Haftar mengumumkan dia akan mencabut blokade produksi minyaknya selama satu bulan. Blokade memangkas produksi Libya menjadi lebih dari 100.000 barel per hari sekarang dari sekitar 1,2 juta barel per hari sebelumnya.
Tidak jelas seberapa cepat Libya dapat meningkatkan produksi.
Minyak berjangka juga mengikuti indeks saham AS, yang turun secara luas.
“Mentalitas risk-off (penghindaran risiko) dipercikkan ke minyak. Masih ada kekhawatiran permintaan akan memburuk,” kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group di Chicago.
Namun, pada Kamis (17/9/2020), panel kunci untuk Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya mendesak untuk kepatuhan yang lebih baik dengan pemotongan produksi minyak di tengah penurunan harga minyak mentah.
Pangeran Abdulaziz bin Salman dari Arab Saudi mengatakan pada pertemuan Kamis (17/9/2020) bahwa kelompok produsen OPEC+ dapat mengadakan pertemuan luar biasa pada Oktober jika pasar minyak memburuk karena permintaan yang lemah dan meningkatnya kasus virus corona, menurut sumber OPEC+.
“Aliansi menunjukkan kekuatan dan meyakinkan pasar bahwa jika tindakan lebih lanjut diperlukan untuk mendisiplinkan sub-pelanggar dan menyeimbangkan pasar, itu akan dilakukan,” kata Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak Rystad Energy.
Goldman Sachs memperkirakan defisit pasar sebesar tiga juta barel per hari pada kuartal keempat dan menegaskan kembali targetnya untuk Brent mencapai 49 dolar AS pada akhir tahun dan 65 dolar AS pada kuartal ketiga 2021.
Bank Swiss, UBS, juga menunjukkan kemungkinan kekurangan pasokan, memperkirakan Brent akan naik menjadi 45 dolar AS per barel pada kuartal keempat dan menjadi 55 dolar AS pada pertengahan 2021.
Di Teluk Meksiko, produsen AS mulai me-reboot rig setelah penutupan lima hari karena Badai Sally.
Depresi tropis di bagian barat Teluk Meksiko dapat menjadi badai dalam beberapa hari mendatang, berpotensi mengancam lebih banyak fasilitas minyak.
Jumlah anjungan minyak AS, indikator awal produksi di masa depan, turun satu rig minggu ini menjadi 179 rig, tingkat terendah sejak pertengahan Agustus, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes Co.
Berita Terkait
Pertamina cek kualitas BBM dua SPBU di Kota Padang
Jumat, 5 April 2024 19:12 Wib
Antisipasi tumpahan minyak di perairan Dumai
Rabu, 3 April 2024 21:19 Wib
Kilang Balikpapan tingkatkan kapasitas jadi 360 ribu barel
Minggu, 31 Maret 2024 11:46 Wib
Lemak dan minyak penyumbang nilai ekspor terbesar Sumbar Rp1,5 triliun
Jumat, 1 Maret 2024 15:05 Wib
Pemkab Agam olah limbah plastik jadi bahan bakar minyak
Kamis, 22 Februari 2024 9:05 Wib
Pabrik pengolahan minyak sawit di Aceh Tamiang terbakar
Jumat, 16 Februari 2024 5:53 Wib
Polda Sumbar ungkap belasan kasus penyelewengan BBM bersubsidi
Sabtu, 3 Februari 2024 13:24 Wib
Harga CPO pada Februari 2024 naik 4,06 persen
Kamis, 1 Februari 2024 7:56 Wib