Angka kemiskinan Solok Selatan pada 2019 naik, penganggur justru turun

id angka kemiskinan solok selatan,angka penganggur solok selatan,BPS Solok Selatan

Angka kemiskinan Solok Selatan pada 2019 naik, penganggur justru turun

Kepala BPS Solok Selatan Abdul Razi. (ANTARA/Erik IA)

Padang Aro (ANTARA) - Badan Pusat Statistik mengatakan angka kemiskinan Solok Selatan, Sumatera Barat pada 2019 naik menjadi 7,33 persen, sementara angka penganggur justru turun.

"Angka kemiskinan pada 2018 hanya 7,07 persen sedangkan 2019 naik menjadi 7,33 persen dan fakta ini berbanding terbalik dengan angka penganggur yang mengalami penurunan dari 5,85 persen pada 2018 menjadi 4,91 persen pada 2019," kata Kepala BPS Solok Selatan Abdul Razi di Padang Aro, Senin.

Dia mengatakan naiknya angka kemiskinan Solok Selatan pada 2019 dipengaruhi oleh harga komoditas unggulan kabupaten itu seperti karet dan sawit turun.

Selain itu, katanya saat melakukan survei pada Maret 2019 terjadi bencana gempa di Solok Selatan yang membuat warga terpaksa mengungsi juga berdampak cukup besar pada meningkatnya angka kemiskinan.

Faktor lainnya, katanya terjadi pemutusan hubungan kerja oleh PT Tidar Kerinci Agung (PT TKA) dalam jumlah besar.

"Rasionalisasi karyawan oleh subkontraktor PT Supreme Energy juga ikut mempengaruhinya," ujarnya.

Selain itu, ujarnya juga masih banyaknya pekerja yang bekerja di bawah tujuh jam sehari sehingga mempengaruhi pendapatan mereka.

Dia menyebutkan untuk Solok Selatan ada sekitar 400 rumah tangga yang tersebar di tujuh Kecamatan guna dipotret pada survei angka kemiskinan.

Untuk angka pengangguran di Solok Selatan pada 2018 adalah 5,85 persen dan turun menjadi 4,91 persen pada 2019.

Untuk survei angka pengangguran ini, katanya dilaksanakan pada Agustus 2019 dan saat itu merupakan musim panen serta banyak pelaksanaan proyek pemerintah.

"Yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian dan musim panen akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja," ujarnya.

Dia menambahkan pada 2019 tingkat pekerja penuh yaitu minimal tujuh jam sehari atau 35 jam seminggu masih kurang dan baru di angka 36 persen.

"Masih kurangnya jam kerja ini cukup mempengaruhi pendapatan sehingga berimbas meningkatnya angka kemiskinan," ujarnya.