Mengenang Mereka yang Meninggal Lewat Kirekat

id Suku asli Mentawai

Mengenang Mereka yang Meninggal Lewat Kirekat

kirekat di Mentawai .Antara Sumbar/Syahrul Rahmat

Hujan deras mulai mengguyur Desa Maddobag, sebuah desa dengan jumlah hampir 600 kepala keluarga, di kawasan pedalaman Pulau Siberut, Mentawai membuat siapa pun yang beraktivitas di luar lebih memilih untuk kembali ke rumah masing-masing.

Sama seperti daerah lain, desa yang secara administratif terletak di Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat ini juga tidak luput dari guyuran hujan yang mulai berebut turun pada bulan-bulan di penghujung 2017 ini.

Hujan yang turun begitu lebat agaknya tidak menghentikan diskusi hangat yang tengah berlangsung di sebuah uma sebutan untuk rumah adat Suku Mentawai kepunyaan suku Sabagallet, tidak jauh dari pusat pemerintahan desa.

Diskusi ringan oleh beberapa anak muda dan juga diikuti oleh Teteu Sikerei Toliko' Sabagallet dari uma tersebut membahas berbagai persoalan kebudayaan, serta tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Mentawai. Mulai dari kebiasaan sehari-hari hingga kepercayaan dan adat.

Hingga saat ini, semenjak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu masyarakat Mentawai sudah hidup dengan kebudayaan mereka sendiri, sebagai sebuah kearifan lokal yang kemudian menjadi identitas serta wujud eksistensi dari keberadaannya.

Ketika disebutkan kata-kata Mentawai, setiap ingatan pasti akan menjurus kepada kelompok masyarakat yang bertahan dengan kebudayaan mereka yang khas, mulai dari Sikerei (dukun/tabib), tato yang diyakini sebagai tato tertua di dunia dan masih banyak tradisi-tradisi lainnya.

Hujan belum hendak berhenti ketika perbincangan sampai pada pembahasan tentang kirekat, sebuah kebiasaan yang belum banyak diketahui oleh orang, sementara kebiasaan tersebut masih dipraktikkan hingga saat ini.

Esmat W Sakulok, salah seorang pemuda Mentawai yang giat melestarikan kebudayaan daerahnya menyebutkan, kirekat ialah tanda yang terdapat pada pepohonan. Kebiasaan yang sudah menjadi tradisi ini bisa ditemukan di setiap daerah yang dihuni oleh masyarakat adat yang tetap mempertahankan kebudayaan mereka.

Menurut Esmat, keberadaan kirekat tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat dalam mengenang setiap anggota keluarga mereka yang sudah meninggal dunia. Kirekat tersebut dapat berupa ukiran tanda kaki, tangan maupun anggota tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia.

Menariknya, tanda-tanda tersebut tidak dapat ditemui di sembarang pepohonan, hanya pohon tertentu saja yang dipilih sebagai tempat diukirnya tanda tersebut, dalam hal ini yang dipilih ialah pohon durian.

Bukan tanpa alasan sebenarnya pohon durian dipilih sebagai tempat diukirnya kirekat, hal tersebut lantaran pohon tersebut termasuk salah satu pohon yang mampu hidup hingga ratusan tahun.

Ia menyebutkan bisa saja masyarakat mengukir kirekat tersebut pada pohon pisang, akan tetapi tentu tidak akan bertahan lama sementara fungsi kirekat itu adalah untuk mengenang, sehingga ketika suatu saat panen durian tiba pihak keluarga dapat menceritakan pada generasi seterusnya bahwa pada pohon tersebut terdapat kirekat dari pendahulu mereka.

Selain itu, tidak pula semua pohon durian yang dapat dijadikan sebagai tempat diukirnya kirekat, tentunya ada beberapa kriteria khusus, seperti pohon durian itu adalah pohon yang paling subur dan besar diantara pohon-pohon lainnya.

Sembari menyulut api di ujung rokoknya, Esmat menjelaskan tidak ada makna khusus dari keberadaan kirekat, selain dari wujud kesedihan yang begitu mendalam dari pihak keluarga atas wafatnya seseorang. Adalah hal yang sangat manusiawi jika kesedihan tersebut diwujudkan dalam bentuk tanda sebagai pengingat.

Tidak boleh ditebang

Teteu Sikerei Toliko' yang saat itu mengikuti pembicaraan ikut menimpali bahwa pohon durian yang sudah ada kirekat tidak boleh ditebang, hal ini tentunya sebagai wujud penghargaan bagi leluhur yang salah satu bagian tubuhnya sudah diukir menjadi kirekat.

Pria dengan umur lebih dari setengah abad yang mengenakan kabit yaitu pakaian tradisional serupa cawat tersebut kemudian menambahkan bahwa dahulu, ketika seseorang meninggal dunia maka mayatnya tidak langsung dikuburkan sebagaimana yang dilakukan saat ini.

Setelah menghembuskan asap dari ubek (rokok) yang dihisapnya ia menceritakan bahwa setelah dilakukan ritual kematian, mayat tersebut selanjutnya digantung di ketinggian dalam sebuah peti. Akan tetapi seiring berjalannya waktu hal tersebut tak lagi dilakukan.

Tak berbeda dengan Teteu Toliko', Reimar Schefold Guru Besar Antropologi Budaya Indonesia di Universitas Leiden yang cukup intens meneliti kebudayaan Mentawai, pada salah satu bukunya yang berjudul "Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai" juga mengungkapkan hal serupa.

Menurut dia, orang yang meninggal jasadnya tidak dikuburkan dalam tanah, melainkan diikatkan di atas semacam panggung dan dinaungi atap rumbia.

Terkait kirekat, Reimar menyebutkan pada waktu awal-awal kematian, ingatan terhadap orang yang meninggal juga dinyatakan dengan membubuhkan tambahan berupa bentuk-bentuk bulan separuh dan bulan purnama.

Pada beberapa kirekat, ia menemukan beberapa motif ukiran lain yang merupakan simbol kecakapan seorang yang meninggal semasa ia hidup, gambar tersebut bermotif monyet, rusa dan biawak yang menyatakan bahwa yang meninggal adalah seorang pemburu ulung.

Keutuhan dari kirekat ini menurut Reimar tetap terjaga dengan sendiri seiring dengan fungsinya sebagai kenang-kenangan sehingga wujudnya tetap utuh dalam waktu yang relatif lama.

Hujan masih belum memperlihatkan tanda-tanda untuk berhenti, Teteu Toliko' yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato khas Mentawai menghembuskan napas panjang yang bersamaan dengan kepulan asap dari tembakau yang digulungnya sendiri, di ujung hembusan ia mengumamkan keprihatinannya terhadap beberapa pohon durian yang dibubuhi kirekat.

"Dulu di sepanjang jalan dusun ini banyak pohon durian yang mempunyai kirekat, akan tetapi karena adanya pembangunan jalan terpaksa pohon-pohon tersebut harus ditebang," ujar salah satu Sikerei yang tersisa di desa tersebut sembari melemparkan puntung rokoknya ke tengah guyuran hujan. (*)