Bukit Mertajam, Malaysia, (Antara/Reuters) - Di sebuah rumah bagian utara Malaysia, sejumlah pelaku perdagangan manusia telah menyiksa dan membiarkan kelaparan para korban yang mengaku berasal dari Rohingya, Myanmar. Menurut laporan dari Reuters, kelompok pelaku perdagangan manusia itu pada mulanya beroperasi di sebuah hutan Thailand namun terpaksa memindahkan aktivitasnya ke Malaysia karena diburu oleh pihak pemerintah Bangkok. Kepolisian Malaysia di negara bagian Penang dan Kedah sendiri dalam beberapa bulan terakhir telah melakukan penyergapan di beberapa rumah. Mereka pada Februari lalu menemukan empat orang Rohingya diikat dengan rantai di sebuah apartemen. Sebagian besar dari puluhan ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari negaranya dengan kapal kecil jatuh ke tangan kelompok ilegal di Thailand yang kemudian menahan mereka sampai ada anggota keluarga yang menebus dengan uang senilai ribuan dolar AS. Beberapa di antara para korban itu disiksa dan kemudian tewas, sementara yang lainnya menderita kelaparan. Investigasi Reuters menemukan bahwa beberapa oknum pemerintah Thailand turut bekerja sama dengan kelompok pelaku perdangan manusia untuk mengusir orang Rohingya ke Malaysia karena kamp pengungsinya sudah terlalu sesak. Bagi para pengungsi Rohignya, Malaysia adalah negara impian karena sekitar 30.000 saudara primordial mereka telah lebih dulu hidup tenang di wilayah tersebut. Malaysia tidak memberika hak penuh dengan status pengungsi, namun membiarkan mereka tinggal dan terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan ribuan pengungsi Rohingya telah mendapatkan pekerjaan informal di negeri jiran tersebut. Salah satu korban penyekapan Mohamad Einous (19) mengaku lari ke Malaysia bersama 270 temannya pada pertengahan Februari lalu untuk memperbaiki harapan hidupnya. "Saya yakin dapat mencari uang di sini," kata Einous kepada Reuters. Namun harapannya hanya berlangsung singkat. Setelah bertemu broker pedagang manusia di perbatasan Malaysia-Thailang, dia bersama teman-temannya disekap dalam rumah dengan jendela yang dicat hitam sehingga dia tidak terlihat dari luar. Saat berada di rumah tersebut, Eionus dipukul dan diancam akan dibunuh jika orang tuanya di Myanmar tidak membayar 2.000 dolar AS. Ayah Einous kemudian menjual rumah warisan senilai 1.600 dolar AS dan meminjam uang dari keluarga lainnya. "Saya tidak bisa lagi mengungkapkan betapa menyesalnya saya. Kami sekarang tidak mempunyai tanah dan orang tua saya tidak lagi mempunyai rumah untuk tinggal," kata dia kepada Reuters (21/2) hanya beberapa jam setelah para pelaku membuangnya di Bukit Mertajam. Einous disekap selama delapan hari. Malaysia adalah negara yang sejak lama dikenal sebagai surga bagi para pelaku perdangangan manusia. Sebagaimana Thailang, Malaysia juga terancam diturunkan statusnya dalam laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dari daftar pantau "Tier Two" ke tingkat terendah "Tier Three", atau setara dengan Korea Utara. Skala perdangangan manusia di negara tersebut terlihat semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir. "Persoalan ini semakin membahayakan. Semakin banyak saya mendengar cerita bahwa mereka (Rohingya) ditahan di Malaysia," kata koordinator kelompok Arakan Project, Chris Lewa. Mengutip beberapa korban, pelaku diduga telah menyuap petugas imigrasi Malaysia untuk membiarkan mereka melewati perbatasan. Pada 2009 lalu, lima pejabat imigrasi ditangkap karena bekerja sama dengan sindikat perdagangan manusia untuk menyeberangkan pengungsi Rohingya ke negeri jiran. "Kami tidak melihat petugas imigrasi dari Malaysia. Para broker mengatakan telah memberi uang kepada mereka," kata salah satu korban Korimullah (17), yang menghabiskan tiga bulan di kamp pengungsi Thailand sebelum disekap di kota Alor Star, Malaysia. (*/sun)

Pewarta : 22
Editor :
Copyright © ANTARA 2024