Madrid, (Antara/Reuters) - Perdebatan panjang perihal "triple punishment" dapat berakhir jika para wasit lebih menggunakan intuisi dan sensitifitas mereka, kata presiden FIFA Sepp Blatter pada Jumat.
Para pelatih telah lama mengeluhkan bahwa "triple punishment," di mana seorang pemain melakukan pelanggaran yang berbuah penalti, kemudian diusir keluar lapangan, dan harus menjalani skors satu pertandingan, merupakan hal yang terlalu keras dan dapat mengubah jalannya pertandingan.
Hal ini rencananya akan didiskusikan oleh badan pembuat peraturan sepak bola, Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB), pada pertemuan selanjutnya yang akan berlangsung pada 28 Februari. IFAB telah beberapa kali mempertimbangkan untuk menggantinya namun masih belum mampu menemukan solusi ideal.
Bagaimanapun, Blatter berkata pada kolomnya di majalah mingguan FIFA bahwa para wasit sering terlalu cepat mengeluarkan kartu merah terhadap pemain-pemain yang menyebabkan penalti.
Ia menekankan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang berbuah kartu merah semestinya mendapat perlakuan yang sama, tidak peduli apakah terjadi di kotak penalti atau di tempat lain di lapangan.
"Hal ini mencakup pelanggaran permainan yang serius, tindakan berbahaya, meludah kepada lawan, dan menggagalkan peluang lawan mencetak gol atau peluang mencetak gol dengan sengaja menggunakan tangan, atau serangan-serangan lain yang layak dihukum," ucapnya.
"Penerapan hukum sama terhadap semuanya. Bagaimanapun, interpretasi mereka memerlukan intuisi dan sensitifitas. Tidak semua pelanggaran di kotak penalti membutuhkan pengusiran, namun wasit terkadang rentan terhadap kekeliruan ini."
"Dengan interpretasi hukum yang bergantung pada situasi yang dihadapi wasit maka diskusi-diskusi mengenai triple punishment ini dapat diakhiri sekarang dan untuk selamanya. Sehingga perbedaan-perbedaan yang merupakan seni ini menjadi resmi."
Blatter menambahkan, "Frase 'triple punishment' berdasarkan kepada misinterpretasi."
"Itu memberi kesan bahwa seorang pemain dihukum tiga kali untuk satu pelanggaran, namun mengabaikan fakta bahwa hukum dasar sepak bola memberi ruang untuk kebijaksanaan." (*/WIJ)