Baghdad, (Antara/AFP) - Serangan udara terhadap sasaran-sasaran militan di provinsi bergolak Anbar, Irak barat, menewaskan sedikitnya 50 orang. "Pasukan keamanan memperoleh informasi yang akurat dan melancarkan serangan udara yang efektif dan menyakitkan terhadap kelompok-kelompok teroris di Anbar kemarin, 21 Januari, yang menewaskan lebih dari 50 teroris", kata kata kementerian pertahanan, Rabu. Para militan itu mencakup gerilyawan asing berkewarganegaraan Arab, dan sejumlah besar amunisi dihancurkan, tambahnya. Serangan itu merupakan yang terakhir dalam serangkaian operasi keamanan dengan sasaran kelompok militan di Anbar dalam beberapa pekan ini. Bagian-bagian dari Ramadi, ibu kota Anbar, dan seluruh wilayah berdekatan Fallujah, yang lokasinya tidak jauh dari Baghdad, dikuasai oleh gerilyawan anti-pemerintah selama beberapa pekan, setelah kerusuhan di kedua kota itu akhir bulan lalu. Pasukan keamanan bergabung dengan milisi-milisi suku pro-pemerintah untuk berusaha merebut kembali kota-kota itu. Anbar merupakan pangkalan utama gerilyawan setelah invasi pimpinan AS pada 2003, dan pasukan Amerika yang berperang untuk merebut kembali Fallujah dari gerilyawan pada 2004 terlibat dalam sejumlah pertempuran tersengit sejak Perang Vietnam. Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon menyatakan khawatir atas kekerasan yang terus berlangsung dan mendesak para pemimpin Irak menangani penyebab yang mendasarinya. Tahun lalu merupakan masa paling mematikan di Irak sejak 2008 dimana hampir 9.000 orang tewas, menurut data PBB. Kekerasan di Irak telah mencapai tingkatan yang belum pernah terlihat sejak 2008, ketika negara itu mulai bangkit dari konflik sektarian mematikan pada 2006-2007 yang merenggut puluhan ribu jiwa. Serangan udara pada Selasa itu merupakan yang terakhir dari gelombang kekerasan, pemboman dan serangan bunuh diri di tengah krisis politik antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan mitra-mitra pemerintahnya dan pawai protes selama beberapa pekan yang menuntut pengunduran dirinya. Irak dilanda kemelut politik dan kekerasan yang menewaskan ribuan orang sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan dari negara itu pada 18 Desember 2011, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan Irak. Selain bermasalah dengan Kurdi, pemerintah Irak juga berselisih dengan kelompok Sunni. Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki (Syiah) sejak Desember 2011 mengupayakan penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas tuduhan terorisme dan berusaha memecat Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah pemimpin Sunni. (*/jno)

Pewarta : 172
Editor :
Copyright © ANTARA 2024