Jakarta (ANTARA) -
Sejak kedatangan pelatih Shin Tae-yong, skema permainan tim nasional sepak bola Indonesia berubah. Tim Garuda yang sebelumnya kerap menggunakan taktik empat bek sejajar dalam formasi 4-4-2 atau 4-3-3, kini bermain lebih dinamis dan atraktif.

Shin Tae-yong kerap menggunakan taktik tiga bek tengah dalam formasi 3-4-3 atau 3-5-2 yang bisa dengan mudah bertransisi ke dalam skema 5-4-1 atau 5-3-2 ketika dalam posisi bertahan.
 
Formasi yang lebih cair dalam melakukan transisi permainan ini menjadi gaya permainan STY yang menuntut peran dari wing back untuk lebih aktif dan kreatif saat dalam skema menyerang maupun bertahan.
 
Pada tahun 2022 lalu, STY sempat mengungkapkan bahwa pemilihan skema tiga bek dalam formasinya didasarkan pada postur tubuh para pemain Indonesia yang kurang bisa berduel satu lawan satu jika menggunakan formasi dua bek tengah sejajar.
 
STY memilih skema tiga bek menjadi opsi yang menguntungkan untuk menjaga kedalaman pertahanan dari serangan lawan. Terlebih peran sentral dari tiga bek dalam skema STY bukan hanya sebagai stopper, namun juga pemain yang melakukan build-up permainan yang kerap mengalirkan bola ke depan.
 
Menafsirkan skema STY
 
Menafsirkan skema permainan dari Shin Tae-yong tak dapat dilepaskan dari gaya permainannya dulu semasa masih menjadi pemain sepak bola profesional.

STY yang sempat menjalani karir sepak bola profesional dalam kurun waktu 1992 hingga 2005 merupakan pemain yang berposisi sebagai gelandang serang dengan julukan "serigala di dalam lapangan" yang berarti sebagai pemain yang kerap memanfaatkan ruang dalam permainan.
 
Tak dapat diragukan, pemilik 24 caps dengan timnas Korea Selatan tersebut merupakan salah satu gelandang kreatif yang bertugas untuk mendistribusikan bola dan mengatur tempo permainan.
 
Pengalamannya sebagai gelandang kreatif menjadikan Shin Tae-yong sebagai pelatih yang menuntut bukan hanya gelandang mendistribusikan dan berfungsi pengalir serangan, namun juga peran dari lini bertahan yang bisa mendistribusikan bola ke sektor sayap maupun sektor tengah.
 
STY selalu menerapkan skema yang fluid yakni para pemain yang dalam posisi berdekatan dapat saling bertukar tanggung jawab posisi selama pertandingan.
 
Skema ini dalam segi bertahan akan menutup celah dan ruang bagi lawan sekecil mungkin, lalu dalam skema menyerang para pemain dituntut untuk lebih atraktif memanfaatkan ruang kosong baik melalui skema umpan kombinasi 1-2 atau pun serangan balik cepat lewat umpan jauh.
 
 
Selain itu dalam skema STY, pemain dituntut untuk bermain lebih efektif dengan dapat mengkonversikan gol dalam peluang dengan persentase sekecil mungkin. Misalnya saja Indonesia di Piala Asia 2023 lalu mempunyai rerata konversi gol 9 persen usai mencetak tiga gol dari 16 percobaan tembakan dari dalam kotak penalti.
 
Lalu STY juga sempat mengungkapkan bahwa para penyerangnya tak ditekankan untuk menjadi goal getter atau pencetak gol, namun setiap pemain dari lini kedua juga bisa berfungsi sebagai pencetak gol untuk tim Garuda.

Hal tersebut salah satunya dapat terlihat di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dari empat gol yang dicetak oleh Indonesia pada empat pertandingan di grup C, dua diantaranya dicetak oleh pemain yang bergerak dari lini kedua yakni Sandy Walsh dan Thom Haye.
 
Skema tiga bek di era modern
  Pesepak bola Timnas Indonesia Justin Hubner (kiri) terjatuh bersama pesepak bola Timnas Australia Nestory Irankunda (tengah) pada laga Grup C putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024). . ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom. (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Di era sepak bola modern yang menekankan sepak bola menyerang dan kreatif, notabene mayoritas klub selalu menggunakan skema formasi empat bek dengan dua bek tengah sejajar.
 
Skema tiga bek dianggap telah usang karena dalam formasi ini, tim cenderung menekankan aspek bertahan dan bermain terstruktur untuk menjaga ruang di sepertiga akhir lini pertahanan mereka sendiri.
 
Tapi di era modern ini terdapat dua pelatih papan atas yakni pelatih Inter Milan, Simone Inzaghi dan pelatih Bayer Leverkusen, Xabi Alonso yang terbilang sukses menerapkan skema formasi tiga bek tengah sejajar sebagai pakem permainan.
 
Baik Simone Inzaghi dan Xabi Alonso dalam situasi menyerang, menekankan posisi tiga bek agar lebih bermain ke depan untuk membongkar skema lawan dan memberikan opsi umpan dalam pendistribusian bola.

Fungsi dari bek tengah dalam skema ini juga memungkinkan para pemain bertahan di lini tengah menjadi peran pemotong serangan pertama dalam serangan balik lawan.
 
Simone Inzaghi dengan skema 3-5-2 dan Xabi Alonso dengan skema 3-4-3, menerapkan gaya sepak bola yang lebih fleksibel dengan tiga bek yang tidak hanya membentuk lini sejajar dalam bertahan jika dibandingkan dengan skema tiga bek lama.
 
Skema tiga bek kerap menjadi antitesis atau musuh utama skema permainan yang menekankan total football. Misalnya di musim ini, Inter Milan sudah membuat gigit jari Manchester City (seri 0-0) dan Arsenal (menang 1-0) di pertandingan Liga Champions.
 
Dalam dua laga tersebut, skema taktik yang ditekankan Simone Inzaghi yakni menjaga ruang antar lini dan terbukti efektif bisa meredam permainan Manchester City dan Arsenal yang memiliki tipikal gaya permainan yang menekankan penguasaan bola.
 
Hal serupa juga terjadi dengan Bayer Leverkusen, yang mampu menahan imbang Bayern Muenchen, 1-1 pada pertandingan Liga Jerman. Dalam skema formasi yang diterapkan Xabi yakni melakukan pressing tinggi dengan tetap menjaga jarak antar lini agar mampu mempersempit ruang permainan Bayern Muenchen yang juga menekankan skema penguasaan bola.
 
Kembali dalam skema tiga bek di timnas Indonesia, tentu dari segi materi pemain STY tak dibekali pemain-pemain bertahan sekaliber pemain bertahan yang berada di Inter Milan maupun Bayer Leverkusen yang kini bisa dibilang merupakan pemain bertahan kelas satu.
 
Tapi dalam skuad Garuda terdapat pemain-pemain yang mempunyai karakter yang sama dengan gaya bermain dari bek-bek modern di skema tiga bek tersebut, yakni sebagai bek tengah yang "hybrid" atau bisa difungsikan sebagai stopper maupun melakukan build up.
 
Sebut saja Kevin Diks, bersama dengan klubnya FC Copenhagen musim ini pemain berusia 28 tahun tersebut telah mencatatkan dua assits dengan rerata umpan berhasil mencapai 89 persen dari total 14 pertandingan yang telah dilakoni.
 
Dari aspek bertahan, Diks juga mempunyai catatan yang menjanjikan dengan melakukan rerata 1,8 tekel per laga dan 0,7 intersepsi per laga.
 
Lalu juga terdapat Jay Idzes bersama dengan klubnya Venezia yang mencatatkan rerata akurasi umpan berhasil mencapai 88 persen dari sepuluh pertandingan.
 
Dalam skema tiga bek tengah ini memang menuntut kedisiplinan tinggi dari setiap pemain untuk saling menjaga bentuk formasi.
 
Kini skema tiga bek ala Shin Tae-yong tengah mendapat ujian berat kala bersua Jepang pada pertandingan kelima putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat pukul 19.00 WIB.
 
Bukan tidak mungkin skema tiga bek racikan dari mantan pelatih Korea Selatan tersebut mampu menjadi antitesis dari gaya permainan Samurai Biru yang merupakan tim dengan gaya permainan yang menekankan strategi penguasaan bola.
 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menafsir taktik Shin Tae-yong

Pewarta : Fajar Satriyo
Editor : Siri Antoni
Copyright © ANTARA 2024