Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 146 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur tentang pengusiran terhadap warga negara asing (WNA) yang melakukan tindak pidana narkotika tetap konstitusional.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 95/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Perkara uji materi ini diajukan oleh Yuyun Yuanita. Ia merupakan istri dari seorang berkewarganegaraan Swiss yang diusir dari wilayah hukum Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali karena melakukan tindak pidana narkotika.
Menurut Yuyun, pasal tersebut menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi pasangan dan anak hasil pernikahan dengan WNA yang melakukan tindak pidana narkotika di wilayah RI.
Pemberlakuan pasal tersebut, dalil Yuyun, menyebabkan ia tidak dapat berkumpul dengan suami sekaligus ayah dari anaknya karena WNA yang terbukti melakukan tindak pidana narkotika diusir dan dilarang masuk kembali ke Indonesia.
Atas dasar itu, kepada MK, Yuyun meminta agar pengusiran dan pelarangan masuk kembali bagi WNA yang melakukan tindak pidana narkotika dikecualikan bagi WNA yang telah menikah secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah memiliki anak dari pernikahan tersebut.
Terhadap dalil tersebut, MK menyatakan, pengaturan mengenai deportasi dan pelarangan masuk kembali yang dipersoalkan Yuyun itu merupakan politik hukum yang benar dan diperlukan sebagai bagian dari kewajiban negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia.
“Terlebih sampai sejauh ini, kejahatan atau tindak pidana narkotika belum tertanggulangi dengan baik dan bahkan cenderung secara kuantitatif tetap tinggi atau masif dalam konteks jumlah kasus, baik pelaku maupun korban,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat
Menurut MK, dari sisi kebutuhan hukum pemberantasan narkotika dan psikotropika, pengaturan yang dimuat dalam Pasal 146 ayat (1) dan ayat (2) UU Narkotika itu merupakan pemenuhan kebutuhan hukum pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana narkotika di wilayah hukum NKRI.
“Dalam konteks tersebut, pengaturan dimaksud dapat dinilai memiliki politik hukum untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945,” kata Arief.
Sementara itu, dalam perspektif hukum internasional, tindakan deportasi dan penangkalan tersebut merupakan hal yang dimungkinkan dan telah diatur dalam Konvensi Pemberantasan Narkotika dan Psikotropika.
Lebih lanjut, MK menilai, permohonan Yuyun tidak sejalan dengan semangat pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah NKRI.
Pemaknaan baru seperti yang dimohonkan pemohon dikhawatirkan justru dapat menjadi modus baru dalam peredaran narkotika yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional di Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pasal pengusiran WNA pelaku tindak pidana narkotika konstitusional
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 95/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Perkara uji materi ini diajukan oleh Yuyun Yuanita. Ia merupakan istri dari seorang berkewarganegaraan Swiss yang diusir dari wilayah hukum Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali karena melakukan tindak pidana narkotika.
Menurut Yuyun, pasal tersebut menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi pasangan dan anak hasil pernikahan dengan WNA yang melakukan tindak pidana narkotika di wilayah RI.
Pemberlakuan pasal tersebut, dalil Yuyun, menyebabkan ia tidak dapat berkumpul dengan suami sekaligus ayah dari anaknya karena WNA yang terbukti melakukan tindak pidana narkotika diusir dan dilarang masuk kembali ke Indonesia.
Atas dasar itu, kepada MK, Yuyun meminta agar pengusiran dan pelarangan masuk kembali bagi WNA yang melakukan tindak pidana narkotika dikecualikan bagi WNA yang telah menikah secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah memiliki anak dari pernikahan tersebut.
Terhadap dalil tersebut, MK menyatakan, pengaturan mengenai deportasi dan pelarangan masuk kembali yang dipersoalkan Yuyun itu merupakan politik hukum yang benar dan diperlukan sebagai bagian dari kewajiban negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia.
“Terlebih sampai sejauh ini, kejahatan atau tindak pidana narkotika belum tertanggulangi dengan baik dan bahkan cenderung secara kuantitatif tetap tinggi atau masif dalam konteks jumlah kasus, baik pelaku maupun korban,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat
Menurut MK, dari sisi kebutuhan hukum pemberantasan narkotika dan psikotropika, pengaturan yang dimuat dalam Pasal 146 ayat (1) dan ayat (2) UU Narkotika itu merupakan pemenuhan kebutuhan hukum pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana narkotika di wilayah hukum NKRI.
“Dalam konteks tersebut, pengaturan dimaksud dapat dinilai memiliki politik hukum untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945,” kata Arief.
Sementara itu, dalam perspektif hukum internasional, tindakan deportasi dan penangkalan tersebut merupakan hal yang dimungkinkan dan telah diatur dalam Konvensi Pemberantasan Narkotika dan Psikotropika.
Lebih lanjut, MK menilai, permohonan Yuyun tidak sejalan dengan semangat pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah NKRI.
Pemaknaan baru seperti yang dimohonkan pemohon dikhawatirkan justru dapat menjadi modus baru dalam peredaran narkotika yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional di Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pasal pengusiran WNA pelaku tindak pidana narkotika konstitusional