Solok (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Solok, Sumatera Barat melakukan sosialisasi upaya penanganan sampah organik jenis kulit atau sabut kelapa muda untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sampah.

Pengawas Lingkungan Hidup, DLH Kota Solok Forget Siswanto di Solok, Rabu mengatakan sampah sabut kelapa muda di Kota Solok terus meningkat karena banyaknya masyarakat yang berjualan kelapa muda.  

Selain itu, di Kota Solok memang rata-rata masyarakat setempat menjadikan kelapa muda sebagai obat dan minuman pelepas dahaga.   

“Sampah dapat menjadi masalah besar apabila tidak ditangani dengan tepat," ujar Forget. Salah satunya sampah organik jenis sabut kelapa muda akibat banyaknya limbah sampah sabut kelapa muda yang diproduksi para pedagang yang berjualan hampir di setiap jalanan di Kota Solok.   

Forget mengatakan karena itu DLH Kota Solok melakukan pendataan jumlah PKL khususnya penjual kelapa muda di Kota Solok, untuk mengetahui timbulan sampah yang dihasilkan sekaligus melakukan pembinaan dan sosialisasi langsung kepada pedagang terkait pengolahan sampah kulit kelapa muda hingga menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis.  

“Kita melakukan upaya pembinaan kepada pelaku usaha kelapa muda yang ada di Kota Solok mengenai limbah kelapa muda yang bisa dijadikan berbagai produk bermanfaat, salah satunya pupuk organik,” ucap Forget.

Ia menjelaskan proses pembuatan pupuk sabut kelapa muda harus dicacah terlebih dahulu, untuk dapat dijadikan cocopeat (serbuk sabut buah kelapa), bahan media tanam yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman.

Cocopeat disebut juga sebagai coco coir atau coco fiber berasal dari serat sabut kelapa yang dipisahkan dan dikeringkan.  

Cocopeat memiliki daya serap air yang cukup tinggi, mampu menampung dan menyimpan air dengan waktu yang cukup lama. Cocopeat juga memiliki pori-pori yang memudahkan terjadinya pertukaran udara, dan masuknya sinar matahari.

Cocopeat dapat digunakan untuk budi daya berbagai jenis tanaman khususnya hidroponik. Dalam cocopeat terdapat sejenis enzim dari jamur yang dapat mengurangi penyakit dalam media tanam tumbuhan.  

Dengan demikian, cocopeat dapat menjaga media tanam tetap gembur dan subur. Tingkat kegemburan tanah yang tinggi, pembentukan akar tanaman akan mudah dan tanaman akan lebih sehat dan subur.

Proses pengolahan limbah sabut kelapa menjadi media tanam cocopeat melalui beberapa tahapan. Pertama, menggosok sabut kelapa dengan alat, bertujuan memisahkan serat sabut kelapa (cocofiber) dan serbuk sabut kelapa (cocopeat).

Kedua, memisahkan serat kasar yang tercampur dengan serbuk dalam sabut kelapa. Setelah itu, serat tersebut disaring terlebih dahulu untuk mendapatkan serbuk yang lebih halus.

Langkah ketiga melibatkan proses fermentasi pada serbuk cocopeat untuk menghilangkan zat tanin. Fermentasi ini dimulai dengan mencuci cocopeat hingga air cucian jernih, diikuti dengan perendaman dalam air bersih selama satu sampai dua hari.

Pada tahapan keempat, cocopeat selanjutnya dikeringkan melalui penjemuran, dan terakhir, pengemasan produk media tanam cocopeat yang sudah siap pakai ke dalam kantong plastik dan menambahkan stiker pada kemasannya. Produk media tanam cocopeat yang telah dikemas siap untuk dijual dan dapat langsung digunakan sebagai media tanam.

Dalam praktik bercocok tanam, cocopeat dicampur dengan sekam padi yang tidak terpakai untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kombinasi ini memberikan manfaat tambahan pada nilai ekonomi sabut kelapa.

Selain meningkatkan nilai ekonomis dari sabut kelapa kegiatan ini juga membantu mengurangi polusi lingkungan dan memberikan sentuhan indah pada lingkungan.

Forget berharap ke depannya data ini dapat menjadi bahan laporan kepada pimpinan untuk ditindaklanjuti dengan pelaksanaan kegiatan pengurangan dan pemanfaatan sampah organik khususnya pengolahan sampah kulit kelapa muda, didukung oleh teknologi yang berkembang saat ini.
 


Pewarta : Rahmatul Laila
Editor : Jefri Doni
Copyright © ANTARA 2024