Padang (ANTARA) - Sastrawan Indonesia asal Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Raudal Tanjung Banua mengatakan, cerpen bagus adalah yang cerpen gemanya jauh lebih nyaring dan tinggal di kepala pembaca.
"Cerpen yang bagus, meskipun proses membacanya sebentar, tapi cerpen bagus itu tinggal di dalam kepala, gemanya jauh lebih nyaring sehingga secara hakikat tidak selesai dengan membaca sekali duduk," kata Raudal saat mengisi workshop sastra di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat di Padang, Selasa.
UPTD Taman Budaya Sumatera Barat menggelar workshop sastra yang diikuti 30 penulis dari kabupaten/kota di provinsi itu mulai Senin (24/6/2024) hingga Rabu (26/6/2024), menghadirkan narasumber penyair Iyut Fitra dan Raudal Tanjung Banua.
Raudal mengatakan demikian, karena ada pendapat yang melabeli cerpen sebagai cerita yang dibaca selesai dalam sekali duduk.
"Tapi saya pikir, secara harfiah ungkapan itu tidak salah. Memang cerpen terdiri dari beberapa halaman saja. Satu judul kita baca sekitar 10-15 menit selesai, itu benar. Tetapi habis dibaca sekali duduk, tidak hanya dalam pengertian fisik saja," jelasnya.
Cerpenis 49 tahun itu menilai, cerpen secara teknis, materil, atau ruang komunikasi terbilang pendek, bisa cepat kita baca. Namun dari segi pesan, cerita yang ditinggalkan bisa menjadi panjang dan tinggal di kepala pembaca.
Ia mengutip kata-kata cerpenis terkenal Budi Darma, yakni cerpen yang bagus itu "mengKOkan" pembaca.
"Artinya, ketika membaca itu kita tersentak, kita seperti tidak berkutik, terteror, terusik. Kenapa bisa seperti itu, karena cerpen tidak berpanjang-panjang dan kita tidak pernah awalnya menduga akan terjadi seperti itu," katanya.
Raudal membandingkan dengan novel yang memiliki kekuatan pada pembuka di halaman-halaman pertama, karena pembaca yang merasakan keasikan di halaman pertama akan terbawa ke halaman-halaman berikutnya.
Menurutnya, pada bagian epik, novel bisa lebih bebas. Namun untuk cerpen, cara membukanya mungkin biasa saja. tidak terlalu mengejutkan tapi pada akhirnya bisa mengagetkan bahkan "ending" bisa menggantung.
Raudal berkegiatan di komunitas rumah lebah Yogyakarta dan berdomisili di kota pelajar itu sejak mahasiswa. Ia sudah melahirkan sejumlah buku yakni Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), dan Gugusan Mata Ibu (2005).
Karya Raudal pernah mendapatkan penghargaan "SIH Award" untuk puisi terbaik dari Jurnal Puisi, 2004, dan Anugerah Sastra Horison 2004. Pada akhir bulan Oktober 2007 ia menerima Hadiah Sastra Mastera Malaysia di Kuala Lumpur. [*]
"Cerpen yang bagus, meskipun proses membacanya sebentar, tapi cerpen bagus itu tinggal di dalam kepala, gemanya jauh lebih nyaring sehingga secara hakikat tidak selesai dengan membaca sekali duduk," kata Raudal saat mengisi workshop sastra di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat di Padang, Selasa.
UPTD Taman Budaya Sumatera Barat menggelar workshop sastra yang diikuti 30 penulis dari kabupaten/kota di provinsi itu mulai Senin (24/6/2024) hingga Rabu (26/6/2024), menghadirkan narasumber penyair Iyut Fitra dan Raudal Tanjung Banua.
Raudal mengatakan demikian, karena ada pendapat yang melabeli cerpen sebagai cerita yang dibaca selesai dalam sekali duduk.
"Tapi saya pikir, secara harfiah ungkapan itu tidak salah. Memang cerpen terdiri dari beberapa halaman saja. Satu judul kita baca sekitar 10-15 menit selesai, itu benar. Tetapi habis dibaca sekali duduk, tidak hanya dalam pengertian fisik saja," jelasnya.
Cerpenis 49 tahun itu menilai, cerpen secara teknis, materil, atau ruang komunikasi terbilang pendek, bisa cepat kita baca. Namun dari segi pesan, cerita yang ditinggalkan bisa menjadi panjang dan tinggal di kepala pembaca.
Ia mengutip kata-kata cerpenis terkenal Budi Darma, yakni cerpen yang bagus itu "mengKOkan" pembaca.
"Artinya, ketika membaca itu kita tersentak, kita seperti tidak berkutik, terteror, terusik. Kenapa bisa seperti itu, karena cerpen tidak berpanjang-panjang dan kita tidak pernah awalnya menduga akan terjadi seperti itu," katanya.
Raudal membandingkan dengan novel yang memiliki kekuatan pada pembuka di halaman-halaman pertama, karena pembaca yang merasakan keasikan di halaman pertama akan terbawa ke halaman-halaman berikutnya.
Menurutnya, pada bagian epik, novel bisa lebih bebas. Namun untuk cerpen, cara membukanya mungkin biasa saja. tidak terlalu mengejutkan tapi pada akhirnya bisa mengagetkan bahkan "ending" bisa menggantung.
Raudal berkegiatan di komunitas rumah lebah Yogyakarta dan berdomisili di kota pelajar itu sejak mahasiswa. Ia sudah melahirkan sejumlah buku yakni Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), dan Gugusan Mata Ibu (2005).
Karya Raudal pernah mendapatkan penghargaan "SIH Award" untuk puisi terbaik dari Jurnal Puisi, 2004, dan Anugerah Sastra Horison 2004. Pada akhir bulan Oktober 2007 ia menerima Hadiah Sastra Mastera Malaysia di Kuala Lumpur. [*]