Padang (ANTARA) - Pengamat farmakoekonomi sekaligus Ketua Umum Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (InaHEA) Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH memperjuangkan pengobatan inovatif untuk dapat diakses pasien secara lebih luas melalui sistem jaminan kesehatan.
Dia mengamini bahwa inovasi memang membutuhkan biaya yang besar. Meski begitu, biaya mahal seharusnya bukan menjadi hambatan dalam pembiayaan apalagi jika inovasi tersebut menghasilkan efektivitas yang lebih tinggi.
"Inovasi selalu membutuhkan biaya lebih besar karena memang lebih mempercepat pengobatan, lebih nyaman (untuk hasilnya), tapi ada cost yang harus ditanggung. Cost-nya, kalau kita gotong bersama, asal mindset-nya jangan 'Wah, harganya mahal. 1 miliar nggak mungkinlah kita sanggup'," kata Hasbullah dalam diskusi bersama media di Jakarta, Jumat.
Hasbullah mencontohkan salah satu pengobatan inovatif terkini yaitu Phesgo. Terapi kanker payudara HER2-positif ini menggabungkan dua antibodi monoklonal, pertuzumab dan trastuzumab, dengan enzim hialuronidase yang tersedia dalam bentuk satu suntikan.
Biasanya, terapi antibodi monoklonal ini diberikan pada pasien melalui infus intravena yang membutuhkan waktu tunggu cukup lama. Dengan kombinasi dua antibodi monoklonal sekaligus dalam satu suntikan, Hasbullah menilai pengobatan ini sangat menguntungkan bagi pasien, tenaga kesehatan, dan rumah sakit.
Secara ekonomi, pasien diuntungkan dengan ketersediaan pengobatan ini di Indonesia sehingga tidak perlu mencari pengobatan ke luar negeri. Pengobatan melalui suntikan juga dapat menghemat sumber daya dengan waktu penanganan pasien berkurang hingga lebih 90 persen serta penggunaan fasilitas pengobatan yang lebih efisien.
Namun, terapi suntik antibodi monoklonal untuk pasien kanker payudara HER2-positif ini masih belum ditanggung BPJS Kesehatan. Jenis pengobatan ini juga masih sangat mahal apabila dibiayai secara pribadi.
Mengingat pengobatan ini memiliki tingkat efektivitas yang baik, Hasbullah pun mendorong agar pemangku kepentingan dapat mengupayakannya untuk masuk dalam skema jaminan kesehatan nasional.
Senada dengan dia, dokter ahli onkologi dari RSUPN Cipto Mangunkusumo DR. Dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM, FINASIM juga mendorong agar pengobatan suntik tersebut dapat masuk dalam skema jaminan kesehatan nasional sehingga bisa diakses oleh semua pasien kanker payudara HER2-positif.
"Kalau sementara ini di BPJS, Phesgo belum ada. Tapi Herceptin dan biosimilar-nya sudah ada, sudah kita gunakan dari beberapa tahun yang lalu. Tetapi yang di-cover BPJS hanya yang MBC yang metastatik. Untuk yang (stadium) early, sampai hari ini kita berjuang masih belum bisa masuk," kata Andhika.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar dorong pengobatan inovatif bisa diakses pasien secara lebih luas
Dia mengamini bahwa inovasi memang membutuhkan biaya yang besar. Meski begitu, biaya mahal seharusnya bukan menjadi hambatan dalam pembiayaan apalagi jika inovasi tersebut menghasilkan efektivitas yang lebih tinggi.
"Inovasi selalu membutuhkan biaya lebih besar karena memang lebih mempercepat pengobatan, lebih nyaman (untuk hasilnya), tapi ada cost yang harus ditanggung. Cost-nya, kalau kita gotong bersama, asal mindset-nya jangan 'Wah, harganya mahal. 1 miliar nggak mungkinlah kita sanggup'," kata Hasbullah dalam diskusi bersama media di Jakarta, Jumat.
Hasbullah mencontohkan salah satu pengobatan inovatif terkini yaitu Phesgo. Terapi kanker payudara HER2-positif ini menggabungkan dua antibodi monoklonal, pertuzumab dan trastuzumab, dengan enzim hialuronidase yang tersedia dalam bentuk satu suntikan.
Biasanya, terapi antibodi monoklonal ini diberikan pada pasien melalui infus intravena yang membutuhkan waktu tunggu cukup lama. Dengan kombinasi dua antibodi monoklonal sekaligus dalam satu suntikan, Hasbullah menilai pengobatan ini sangat menguntungkan bagi pasien, tenaga kesehatan, dan rumah sakit.
Secara ekonomi, pasien diuntungkan dengan ketersediaan pengobatan ini di Indonesia sehingga tidak perlu mencari pengobatan ke luar negeri. Pengobatan melalui suntikan juga dapat menghemat sumber daya dengan waktu penanganan pasien berkurang hingga lebih 90 persen serta penggunaan fasilitas pengobatan yang lebih efisien.
Namun, terapi suntik antibodi monoklonal untuk pasien kanker payudara HER2-positif ini masih belum ditanggung BPJS Kesehatan. Jenis pengobatan ini juga masih sangat mahal apabila dibiayai secara pribadi.
Mengingat pengobatan ini memiliki tingkat efektivitas yang baik, Hasbullah pun mendorong agar pemangku kepentingan dapat mengupayakannya untuk masuk dalam skema jaminan kesehatan nasional.
Senada dengan dia, dokter ahli onkologi dari RSUPN Cipto Mangunkusumo DR. Dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM, FINASIM juga mendorong agar pengobatan suntik tersebut dapat masuk dalam skema jaminan kesehatan nasional sehingga bisa diakses oleh semua pasien kanker payudara HER2-positif.
"Kalau sementara ini di BPJS, Phesgo belum ada. Tapi Herceptin dan biosimilar-nya sudah ada, sudah kita gunakan dari beberapa tahun yang lalu. Tetapi yang di-cover BPJS hanya yang MBC yang metastatik. Untuk yang (stadium) early, sampai hari ini kita berjuang masih belum bisa masuk," kata Andhika.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar dorong pengobatan inovatif bisa diakses pasien secara lebih luas