Jakarta (ANTARA) - Laut China Selatan tampaknya tak akan pernah habis menjadi topik hangat untuk diperbincangkan mengingat hingga saat ini perairan strategis itu masih menjadi wilayah yang disengketakan dan diperebutkan oleh beberapa negara, termasuk China dan sejumlah anggota ASEAN.

Sampai saat ini China mengeklaim hampir seluruh perairan di Laut China Selatan. Negara-negara anggota ASEAN yang juga memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina

Gara-gara Laut China Selatan, pada awal bulan ini pemerintah Vietnam melarang pemutaran Film “Barbie” di seluruh negeri karena menampilkan peta yang menunjukkan wilayah yang diklaim secara sepihak oleh China itu.

Filipina mengizinkan penayangan Film “Barbie” di negaranya, tetapi meminta peta –yang menampilkan garis kontroversial Laut China Selatan– diburamkan.

Ini bukan kali pertama sebuah negara keberatan hingga melarang distribusi dan pemutaran film di negaranya. Pada 2019, pemerintah Vietnam juga pernah menarik film animasi "Abominable" karena alasan yang sama dengan pelarangan “Barbie”.

Pelarangan film itu hanya sebagian contoh kecil gambaran ketegangan yang terjadi di Laut China Selatan.

Berbagai persoalan lain yang muncul yang menjadikan perairan tersebut memanas antara lain tindakan militer China, kehadiran kapal-kapal penjaga pantai China, dan kegiatan penangkapan ikan ilegal.

Tindakan China itu kerap memicu protes dari negara-negara di kawasan yang memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut, termasuk Indonesia.

Indonesia memang tidak memiliki yurisdiksi tumpang tindih dengan China, tetapi Indonesia tidak mengakui sembilan garis putus-putus karena penarikan garis tersebut dianggap bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS.

Selain menyebabkan perselisihan dengan negara-negara ASEAN, tak jarang ketegangan di Laut China Selatan juga mengakibatkan konfrontasi antara dua negara besar: China dan AS.

AS tidak memiliki klaim atas perairan tersebut. Namun, Washington telah menempatkan sembilan pangkalan militer AS di sejumlah wilayah di Filipina, termasuk yang menghadap Laut China Selatan. Adapun Filipina merupakan salah satu negara yang kerap bersitegang dengan China karena masalah Laut China Selatan.

Sejak saat itu, menjaga wilayah perairan di Laut China Selatan menjadi urusan yang semakin serius. Semua pihak yang berkepentingan di Laut China Selatan pun berlomba-lomba memperkuat pertahanan mereka dengan menempatkan kapal-kapal penjaga pantai dan rutin menggelar latihan militer.

Tentara Filipina dan AS bahkan telah beberapa kali menggelar latihan militer gabungan, yang tentu saja menuai kritik dari Beijing.

Saat menerima kunjungan Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken pada bulan lalu di Beijing, Menteri Luar Negeri China Qin Gang menyebut dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu kini berada pada titik terendah sejak kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada 1979 silam.


Sengketa Laut China Selatan

Laut China Selatan adalah jalur perairan penting yang menjadi rute perdagangan internasional senilai tiga triliun dolar AS (sekitar Rp45 kuadriliun) setiap tahunnya.

Jalur itu diyakini memiliki potensi energi seperti mineral dan cadangan minyak dan gas yang kaya sehingga tak heran banyak pihak yang memperebutkan wilayah tersebut.

China mengeklaim hampir 80 persen Laut China Selatan dengan pendakuan sembilan garis putus-putus pada peta yang membentang lebih dari 1.500 km dari daratannya hingga memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.

Namun, Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 menolak klaim teritorial China atas Laut China Selatan karena tidak memiliki dasar hukum.

Meski demikian, keputusan tersebut tak lantas menghentikan China untuk terus melakukan aktivitasnya di Laut China Selatan, termasuk membangun pulau-pulau reklamasi dan berbagai aktivitas lain yang disebut melanggar kedaulatan wilayah negara lain, yang membuat hubungan Beijing dan negara-negara ASEAN memanas.


Kesepakatan ASEAN-China

Selama bertahun-tahun, kesatuan ASEAN diuji oleh sengketa di Laut China Selatan.

ASEAN dan China telah sejak lama berusaha merumuskan pedoman tata perilaku (Code of Conduct/CoC) yang mengikat secara hukum guna menghindari konflik antarnegara yang saling bersengketa di wilayah tersebut.

Langkah signifikan yang telah dilakukan ASEAN dan China dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan adalah penandatangan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct/DoC) pada 2002. DoC merupakan perjanjian tidak mengikat yang menguraikan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai di wilayah tersebut.

DoC meminta para pihak untuk menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam atau mengerahkan pasukan, menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan konsultasi, dan menghormati kebebasan berlayar dan terbang.

Penyusunan DoC menjadi pintu masuk untuk membuat suatu dokumen pedoman tata perilaku yang berkekuatan hukum di Laut China Selatan. CoC nantinya menjadi kerangka kerja yang mengikat untuk menyelesaikan sengketa di perairan yang diperebutkan itu.

Proses penyusunan CoC memasuki babak baru ketika ASEAN dan China menyepakati pedoman untuk mempercepat perundingan CoC di Laut China Selatan.

Pedoman tersebut diadopsi dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN dan Direktur Komite Urusan Luar Negeri Komite Sentral Partai Komunis China Wang Yi di Jakarta pada 13 Juli lalu.

Namun, rincian soal pedoman itu tidak dirilis kepada publik.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menilai kesepakatan itu menjadi tonggak penting dalam hubungan ASEAN-China. Pencapaian tersebut harus menjadi momentum positif untuk memperkuat kemitraan yang memajukan paradigma inklusivitas dan keterbukaan, menghormati hukum internasional termasuk UNCLOS 1982, serta mendorong tradisi dialog dan kolaborasi.

Malaysia, yang dikenal cukup lantang menyuarakan kritik terhadap isu-isu regional, menyeru ASEAN bersatu demi menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

Menteri Luar Negeri Malaysia Zambry Abdul Kadir mendesak ASEAN untuk bersatu menunjukkan komitmen kuat dalam menyelesaikan sengketa maritim di perairan tersebut.

Sementara itu, Wang mengatakan bahwa China secara tegas mendukung kerangka kerja sama regional dengan ASEAN, dan mematuhi konsep inklusivitas, menolak campur tangan dan melanjutkan pembangunan.


Tantangan

Indonesia, yang menjabat sebagai Ketua ASEAN tahun ini, bertekad untuk mengintensifkan negosiasi CoC sehingga dapat melahirkan pedoman perilaku yang efektif dan dapat diterapkan sesuai hukum internasional.

Namun, menurut pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana, tidak mudah bagi ASEAN untuk menyelesaikan perundingan soal Laut China Selatan di tengah suasana yang tidak kondusif.

Tidak hanya tindakan China yang semakin agresif di Laut China Selatan, Hikmahanto juga menyebut ketegangan antara AS dan sekutunya dengan China juga berpengaruh dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan.

Situasi tersebut membuat ASEAN terpecah dan membuat beberapa negara terafiliasi dengan China atau AS.

Indonesia masih memiliki beberapa bulan lagi dalam masa K1eketuaan ASEAN tahun ini sebelum beralih ke Laos tahun depan. Meskipun hanya sebatas pedoman percepatan, kesepakatan tersebut merupakan awal yang baik karena menunjukkan adanya progres dalam upaya penyelesaian sengketa di Laut China Selatan.

Yang terpenting, ASEAN dan China telah menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai melalui negosiasi.




 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Babak baru upaya penyelesaian sengketa Laut China Selatan

Pewarta : Shofi Ayudiana
Editor : Muhammad Zulfikar
Copyright © ANTARA 2024