Padang (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) memaparkan sejumlah permasalahan HAM yang hingga kini masih terjadi di provinsi tersebut.
"Ada beberapa hal yang menonjol di Sumatera Barat, pertama terkait konflik agraria," kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Sumbar Sultanul di Padang, Selasa.
Secara umum, kata dia, konflik agraria masih mendominasi terjadi di Ranah Minang, khususnya konflik perkebunan kelapa sawit antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah daerah.
Konflik tersebut tersebar di beberapa daerah, antara lain Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Agam, Padang Pariaman, Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya.
Sultanul mengatakan Komnas HAM Perwakilan Sumbar juga mendata permasalahan HAM lainnya yakni terkait dengan konflik sumber daya alam. Dalam pantauan awal lembaga itu, terdapat 14 izin usaha pertambangan (IUP) berada dalam kawasan hutan yang tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan atau persetujuan penggunaan kawasan hutan.
Ia menjelaskan Komnas HAM setempat bersama Lembaga Bantuan Hukum Padang telah meminta penjelasan kepada Kementerian ESDM, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Gubernur Sumbar. Namun, hingga kini belum ada jawaban resmi dari instansi terkait.
"Penjelasan yang dimintai oleh Komnas HAM terkait dengan data pantauan yang diperoleh serta dokumen rujukan untuk verifikasi data informasi, termasuk penyelesaian permasalahan agar tidak berdampak pada lingkungan dan kerugian negara," ujarnya.
Sultanul menyebut daerah-daerah yang berkaitan dengan permasalahan di bidang sumber daya alam tersebut yakni Kabupaten Pasaman, Solok, Kabupaten Solok Selatan, dan Kota Sawahlunto
Selain itu dia juga menyinggung kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang masih berulang, bahkan kasus yang terjadi itu terdapat korban jiwa.
"Penyelesaiannya restorative justice, padahal restorative justice tidak menggugurkan proses pidana namun terhenti, setelah adanya perdamaian antara korban dan pelaku," ujar dia.
Terakhir, Sultanul mengatakan pihaknya menerima laporan terkait dengan penetapan tersangka dan penangkapan serta penahanan yang diduga masih jauh dari perspektif HAM.
"Dugaan penyiksaan dalam penangkapan, pemeriksaan dan penahanan termasuk laporan yang tidak ditindaklanjuti. Terkait laporan yang tidak ditindaklanjuti, Komnas HAM diminta sebagai amicus curiae di pengadilan," ujar dia.
"Ada beberapa hal yang menonjol di Sumatera Barat, pertama terkait konflik agraria," kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Sumbar Sultanul di Padang, Selasa.
Secara umum, kata dia, konflik agraria masih mendominasi terjadi di Ranah Minang, khususnya konflik perkebunan kelapa sawit antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah daerah.
Konflik tersebut tersebar di beberapa daerah, antara lain Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Agam, Padang Pariaman, Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya.
Sultanul mengatakan Komnas HAM Perwakilan Sumbar juga mendata permasalahan HAM lainnya yakni terkait dengan konflik sumber daya alam. Dalam pantauan awal lembaga itu, terdapat 14 izin usaha pertambangan (IUP) berada dalam kawasan hutan yang tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan atau persetujuan penggunaan kawasan hutan.
Ia menjelaskan Komnas HAM setempat bersama Lembaga Bantuan Hukum Padang telah meminta penjelasan kepada Kementerian ESDM, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Gubernur Sumbar. Namun, hingga kini belum ada jawaban resmi dari instansi terkait.
"Penjelasan yang dimintai oleh Komnas HAM terkait dengan data pantauan yang diperoleh serta dokumen rujukan untuk verifikasi data informasi, termasuk penyelesaian permasalahan agar tidak berdampak pada lingkungan dan kerugian negara," ujarnya.
Sultanul menyebut daerah-daerah yang berkaitan dengan permasalahan di bidang sumber daya alam tersebut yakni Kabupaten Pasaman, Solok, Kabupaten Solok Selatan, dan Kota Sawahlunto
Selain itu dia juga menyinggung kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang masih berulang, bahkan kasus yang terjadi itu terdapat korban jiwa.
"Penyelesaiannya restorative justice, padahal restorative justice tidak menggugurkan proses pidana namun terhenti, setelah adanya perdamaian antara korban dan pelaku," ujar dia.
Terakhir, Sultanul mengatakan pihaknya menerima laporan terkait dengan penetapan tersangka dan penangkapan serta penahanan yang diduga masih jauh dari perspektif HAM.
"Dugaan penyiksaan dalam penangkapan, pemeriksaan dan penahanan termasuk laporan yang tidak ditindaklanjuti. Terkait laporan yang tidak ditindaklanjuti, Komnas HAM diminta sebagai amicus curiae di pengadilan," ujar dia.