Padang (ANTARA) - Menjelang berbagai kegiatan pemilihan, salah satu aktifitas yang jamak dilakukan adalah rangkaian tahapan penjajakan, pencalonan hingga pemilihan. Dalam setiap tahapan tersebut selalu terjadi komunikasi melalui berbagai saluran. Bentuk komunikasi itu disebut dengan lobi.
Lobi merujuk pada upaya kelompok atau individu untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau hasil pemilihan melalui interaksi langsung dengan pembuat kebijakan atau pejabat terkait. Dalam konteks politik, lobi adalah upaya untuk mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi kepentingan pelobi. Sementara dalam bisnis, lobi adalah ikhtiar pemasaran atau penjualan berbentuk pendekatan kepada potensial customer, baik perorangan maupun instansi.
Ada beberapa pendapat terkait dengan bagaimana peranan lobi dalam proses pengisian jabatan tertentu. Pendapat pertama memberikan pandangan negatif terhadap aktifitas lobi yang melibatkan aspek finansial, atau janji pembagian jabatan yang tidak proporsional. Hal ini memiliki potensi potensi korupsi yang tidak terhindarkan. Argumen dari kritik ini adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki akses sumber daya dan keuangan yang lebih besar dapat memanfaatkan kekuatan finansial ini dalam mempengaruhi hasil pemilihan serta mendapatkan akses yang tidak setara ke para pembuat keputusan. Hal Ini merupakan ancaman atas integritas proses demokrasi dan meningkatkan kesenjangan kekuasaan.
Pendapat kedua mengakui peranan lobi sebagai bentuk ekspresi kebebasan berbicara serta partisipasi warga dalam proses politik. Pendukung pendapat ini berpendapat bahwa kelompok-kelompok masyarakat mempunyai hak untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Mereka menekankan pentingnya akses informasi yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilihan jabatan. Meski demikian penting untuk mempertimbangkan bahwa peranan lobi juga tergantung pada konteks politik dan hukum di masing-masing organisasi.
Bahkan beberapa negara telah memiliki undang-undang dan regulasi untuk mengatur aktivitas lobi. Misalnya Amerika Serikat, Kanada, Australia, Perancis dan Jerman. Tujuan utamanya guna memastikan transparansi, melindungi integritas proses politik, dan mencegah praktik korupsi.
Peranan lobi dalam kontestasi pemilihan jabatan merupakan fenomena dan proses yang kompleks dan beragam.
Peranan lobi dapat memiliki dampak yang signifikan pada proses demokrasi, baik dalam hal memberikan suara bagi kelompok-kelompok yang sejalan dengan kepentingan mereka maupun dalam hal mengancam integritas sistem politik.
Bagaimana Konteks Lobi Dalam Ajaran Islam?
Secara spesifik tentu sulit untuk menemukan ayat Al Quran atau hadis nabi yang secara spesifik membahas aktivitas lobi dalam konteks politik atau bisnis. Meski demikian ada prinsip-prinsip umum dalam Islam yang dapat diterapkan dalam mengevaluasi aktivitas lobi.
Pertama, Nilai Islam menekankan pentingnya Kejujursan, keadilan, serta transparansi dalam segala aspek kehidupan. Tentu hal ini juga berlaku untuk interaksi politik dan bisnis. Maka kegiatan lobi yang melibatkan manipulasi, korupsi, atau tindakan yang tidak etis bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Prinsip ini didukung oleh Al-Qur'an Surat Al-Hujurat (49:13): "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Kedua, Ajaran Islam mendorong partisipasi aktif semua unsur dalam urusan masyarakat yang baik dan bermanfaat. Dalam konteks ini, lobi dapat menjadi bentuk partisipasi dalam membawa perubahan atau mempengaruhi kebijakan publik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, selama dilakukan dengan cara yang legal, adil, dan sesuai dengan etika Islam. Prinsip ini adalah prinsip dakwah yaitu pada Al Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya”.
Selain itu terdapat hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim: "Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman." Hadis ini menunjukkan pentingnya berpartisipasi dalam memperbaiki masyarakat dan mengubah sesuatu yang tidak benar.
Bagaimana Dengan Konteks Lobbi Untuk Mendapatkan Jabatan Tertentu?
Prinsip utama untuk hal ini adalah kembali kepada niat dan proses yang benar dan berintegritas. Dalam hal meminta jabatan, Islam memiliki pedoman atau aturan yang cukup jelas. Islam mendorong umat untuk berjuang menegakkan kemaslahatan termasuk melalui jabatan tertentu yang dilakukan secara benar.
Namun juga tegas melarang ketika meminta jabatan dengan niat dan ambisi yang berlebihan. Kita dapat menjumpai dalilnya pada hadis-hadis sahih dari Rasulullah Muhammad SAW.
Nabi Yusuf yang diberikan Allah ilmu dan hikmah, memiliki keahlian dan solusi atas persoalan besar yang akan melanda. Maka Nabi Yusuf menawarkan diri untuk menjadi pejabat kepada penguasa Mesir. Perhatikan terjemahan surat Yusuf ayat 55 ini: “Berkata Yusuf, Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Maka dalam hal ini, Nabi Yusuf jelas-jelas meminta jabatan kepada penguasa.
Ada dua alasan, pertama karena ini akan membawa kemashlahatan, dan yang kedua, yang paling penting, ini adalah perintah Allah, karena Nabi tidak bertindak kecuali diwahyukan kepadanya. Maka aktifitas lobi nabi Yusuf a.s adalah untuk kemaslahatan bukan atas ambisi berlatar nafsu kekuasaan.
Lobi meminta jabatan ketika didasarkan atas ambisi pribadi, jatuh menjadi tindakan yang tidak dibolehkan. Hal ini terlihat dari berbagai dalil, antara lain, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya.
Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652) Abu Musa berkata, “Aku pernah menemui Nabi bersama dengan dua orang dari keluarga pamanku. Maka salah seorang dari mereka berdua berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi sebagian yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Dan yang satu lagi berkata seperti itu pula. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya kami, demi Allah tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada seorang pun yang memintanya, atau seorang pun yang sangat menginginkannya.” (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733).
Berdasarkan hadis-hadis sahih itu dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, ada larangan meminta jabatan dengan niat dan ambisi yang tidak benar. Islam mengajarkan pentingnya niat yang ikhlas dan menjadikan jabatan sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah dan melayani masyarakat. Maka melakukan lobi bukan atas dasar ini tentunya tidak boleh.
Demikian juga bagi pihak yang dilobi. Boleh memberikan amanah kepada orang yang dinilai mampu memberi kemashlahatan, namun jangan berikan pada orang yang melobi untuk diri sendiri, sementara latar belakangnya adalah ambisi pribadi yang melampaui keikhlasan untuk kemaslahatan masyarakat.
Penulis adalah Dosen Universitas Andalas Henmaidi.
Lobi merujuk pada upaya kelompok atau individu untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau hasil pemilihan melalui interaksi langsung dengan pembuat kebijakan atau pejabat terkait. Dalam konteks politik, lobi adalah upaya untuk mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi kepentingan pelobi. Sementara dalam bisnis, lobi adalah ikhtiar pemasaran atau penjualan berbentuk pendekatan kepada potensial customer, baik perorangan maupun instansi.
Ada beberapa pendapat terkait dengan bagaimana peranan lobi dalam proses pengisian jabatan tertentu. Pendapat pertama memberikan pandangan negatif terhadap aktifitas lobi yang melibatkan aspek finansial, atau janji pembagian jabatan yang tidak proporsional. Hal ini memiliki potensi potensi korupsi yang tidak terhindarkan. Argumen dari kritik ini adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki akses sumber daya dan keuangan yang lebih besar dapat memanfaatkan kekuatan finansial ini dalam mempengaruhi hasil pemilihan serta mendapatkan akses yang tidak setara ke para pembuat keputusan. Hal Ini merupakan ancaman atas integritas proses demokrasi dan meningkatkan kesenjangan kekuasaan.
Pendapat kedua mengakui peranan lobi sebagai bentuk ekspresi kebebasan berbicara serta partisipasi warga dalam proses politik. Pendukung pendapat ini berpendapat bahwa kelompok-kelompok masyarakat mempunyai hak untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Mereka menekankan pentingnya akses informasi yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilihan jabatan. Meski demikian penting untuk mempertimbangkan bahwa peranan lobi juga tergantung pada konteks politik dan hukum di masing-masing organisasi.
Bahkan beberapa negara telah memiliki undang-undang dan regulasi untuk mengatur aktivitas lobi. Misalnya Amerika Serikat, Kanada, Australia, Perancis dan Jerman. Tujuan utamanya guna memastikan transparansi, melindungi integritas proses politik, dan mencegah praktik korupsi.
Peranan lobi dalam kontestasi pemilihan jabatan merupakan fenomena dan proses yang kompleks dan beragam.
Peranan lobi dapat memiliki dampak yang signifikan pada proses demokrasi, baik dalam hal memberikan suara bagi kelompok-kelompok yang sejalan dengan kepentingan mereka maupun dalam hal mengancam integritas sistem politik.
Bagaimana Konteks Lobi Dalam Ajaran Islam?
Secara spesifik tentu sulit untuk menemukan ayat Al Quran atau hadis nabi yang secara spesifik membahas aktivitas lobi dalam konteks politik atau bisnis. Meski demikian ada prinsip-prinsip umum dalam Islam yang dapat diterapkan dalam mengevaluasi aktivitas lobi.
Pertama, Nilai Islam menekankan pentingnya Kejujursan, keadilan, serta transparansi dalam segala aspek kehidupan. Tentu hal ini juga berlaku untuk interaksi politik dan bisnis. Maka kegiatan lobi yang melibatkan manipulasi, korupsi, atau tindakan yang tidak etis bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Prinsip ini didukung oleh Al-Qur'an Surat Al-Hujurat (49:13): "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Kedua, Ajaran Islam mendorong partisipasi aktif semua unsur dalam urusan masyarakat yang baik dan bermanfaat. Dalam konteks ini, lobi dapat menjadi bentuk partisipasi dalam membawa perubahan atau mempengaruhi kebijakan publik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, selama dilakukan dengan cara yang legal, adil, dan sesuai dengan etika Islam. Prinsip ini adalah prinsip dakwah yaitu pada Al Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya”.
Selain itu terdapat hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim: "Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman." Hadis ini menunjukkan pentingnya berpartisipasi dalam memperbaiki masyarakat dan mengubah sesuatu yang tidak benar.
Bagaimana Dengan Konteks Lobbi Untuk Mendapatkan Jabatan Tertentu?
Prinsip utama untuk hal ini adalah kembali kepada niat dan proses yang benar dan berintegritas. Dalam hal meminta jabatan, Islam memiliki pedoman atau aturan yang cukup jelas. Islam mendorong umat untuk berjuang menegakkan kemaslahatan termasuk melalui jabatan tertentu yang dilakukan secara benar.
Namun juga tegas melarang ketika meminta jabatan dengan niat dan ambisi yang berlebihan. Kita dapat menjumpai dalilnya pada hadis-hadis sahih dari Rasulullah Muhammad SAW.
Nabi Yusuf yang diberikan Allah ilmu dan hikmah, memiliki keahlian dan solusi atas persoalan besar yang akan melanda. Maka Nabi Yusuf menawarkan diri untuk menjadi pejabat kepada penguasa Mesir. Perhatikan terjemahan surat Yusuf ayat 55 ini: “Berkata Yusuf, Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Maka dalam hal ini, Nabi Yusuf jelas-jelas meminta jabatan kepada penguasa.
Ada dua alasan, pertama karena ini akan membawa kemashlahatan, dan yang kedua, yang paling penting, ini adalah perintah Allah, karena Nabi tidak bertindak kecuali diwahyukan kepadanya. Maka aktifitas lobi nabi Yusuf a.s adalah untuk kemaslahatan bukan atas ambisi berlatar nafsu kekuasaan.
Lobi meminta jabatan ketika didasarkan atas ambisi pribadi, jatuh menjadi tindakan yang tidak dibolehkan. Hal ini terlihat dari berbagai dalil, antara lain, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya.
Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652) Abu Musa berkata, “Aku pernah menemui Nabi bersama dengan dua orang dari keluarga pamanku. Maka salah seorang dari mereka berdua berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi sebagian yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Dan yang satu lagi berkata seperti itu pula. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya kami, demi Allah tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada seorang pun yang memintanya, atau seorang pun yang sangat menginginkannya.” (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733).
Berdasarkan hadis-hadis sahih itu dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, ada larangan meminta jabatan dengan niat dan ambisi yang tidak benar. Islam mengajarkan pentingnya niat yang ikhlas dan menjadikan jabatan sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah dan melayani masyarakat. Maka melakukan lobi bukan atas dasar ini tentunya tidak boleh.
Demikian juga bagi pihak yang dilobi. Boleh memberikan amanah kepada orang yang dinilai mampu memberi kemashlahatan, namun jangan berikan pada orang yang melobi untuk diri sendiri, sementara latar belakangnya adalah ambisi pribadi yang melampaui keikhlasan untuk kemaslahatan masyarakat.
Penulis adalah Dosen Universitas Andalas Henmaidi.