Padang (ANTARA) -
Setiap kali perhelatan pilkada Kota Padang, kerap terdengar ujaran di masyarakat yang menginginkan dan berharap Wali Kota terpilih adalah orang asli Padang.
Ujaran itu pun berjawab, bahwa sesungguhnya warga asli Padang itu adalah orang Nias dan Tionghoa karena mereka yang pertama kali bermukim di Padang, sebelum orang Minang merantau ke ibu kota provinsi itu.
Kendati dialog tersebut terkesan mengedepankan politik primordial, namun jawaban yang diberikan menegasi bahwa orang Tionghoa menjadi salah satu warga yang pertama kali hadir dan tinggal di Padang.
Berdasarkan penelusuran sejarah, awal mula kedatangan orang Tionghoa ke Sumatera Barat dikutip dari buku Asap Hio di Ranah Minang karya Erniwati masuk dalam tiga periode.
Periode pertama, pada kurun abad 15 saat pedagang Cina berlayar untuk berdagang ke Nusantara termasuk dengan orang Minang. Para pedagang tersebut masuk ke Sumatera Barat melalui jalur sungai dari Selat Malaka hingga ke pedalaman Sumatera Barat.
Kemudian pada abad ke-16, saat itu Pariaman berkembang menjadi pelabuhan tempat ekspor lada dan emas, bersamaan dengan itu juga terjadi kedatangan bangsa Eropa dan migrasi orang Cina.
Saat kedatangan Bangsa Hindia Belanda ke Sumatera Barat, aktivitas ekonomi kian meningkat termasuk migrasi periode ketiga orang Cina ke daerah ini.
Memasuki 1660 Belanda menjadikan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangan internasional di Pantai Barat Sumatera sehingga mulai terbentuk komunitas orang Tionghoa yang tinggal di permukiman khusus di Padang.
Permukiman itulah yang menjadi cikal bakal Kampung Pondok dan Tanah Kongsi yang akhirnya terus berkembang hingga saat ini.
Menyandang predikat sebagai daerah perantauan, Padang telah menjelma menjadi periuk pencampuran beragam etnik mulai dari Minang, Melayu, Jawa, Tionghia, Nias, Batak dan India.
Ini terwujud nyata dengan nama kampung di Padang mulai dari Kampung Jawa, Kampung Nias, Kampung Cina hingga Kampung Kaliang.
Aktivitas Ekonomi
Berdasarkan data yang dihimpun dari dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Padang jumlah warga Tionghoa di Padang telah berkembang menjadi sekitar 20.000 jiwa pada 2021. Mereka didominasi oleh pada pedagang dan dikenal memiliki karakter pekerja keras
Dalam aktivitas ekonomi hubungan antara orang Cina dengan Minang terbilang baik. Pasar Tanah Kongsi menjadi bukti nyata bagaimana hubungan pedagang Tionghoa dan Minang terjalin harmonis.
Pada umumnya pedagang Tionghoa menjual daging babi, sarapan pagi, warung kopi, kue-kue, sedangkan orang Minang berjualan daging sapi, ikan, sayur hingga buah-buahan.
Relasi antar etnik juga amat cair saat berada di Simpang Kinol. Ketika ada warung kopi yang merupakan milik orang Tionghoa, di teras warung akan ada orang Minang yang berjualan sate, hingga gado-gado yang tidak dipungut sewa.
Jika ada warga yang makan sate, kemudian memesan jus jeruk maka penjual bergegas ke bangunan kedai kopi dan tak lama segelas jus jeruk terhidang.
Soal membayar cukup sekali saja di penjual sate dan tak perlu harus ke dalam membayar jus jeruk karena nanti akan dibayarkan ke kedai oleh penjual sate.
Artinya tercipta simbiosis mutualisme diantara dua etnik karena hubungan baik yang telah berlangsung lama.
Bahasa Minang Pondok
Pada aspek bahasa orang Tionghoa juga melakukan adaptasi. Dikutip dari buku Orang Tionghoa Padang karya Riniwaty Makmur, orang Tionghoa yang ada di Padang saat ini merupakan generasi kelima dan amat sedikit yang masih bisa berbahasa Mandarin.
Kini dalam keseharian mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Minang dengan logat Tionghoa.
Penggunaan bahasa Minang logat Tionghoa menunjukan warga Tionghoa di Padang yang secara populasi hanya 1,1 persen mencari jalan tengah untuk bisa berinteraksi dengan warga Minang.
Sebab jika ditanyai mereka akan menjawab orang Padang, lahir di Padang, beraktivitas dan berbicara dengan bahasa Padang.
Ini juga mengisyaratkan prinsip "dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang" teraplikasi nyata tanpa kehilangan identitas asli Tionghoa dan tercerabut dari akar budaya.
Warga Tionghoa Padang agaknya memaknai pernyataan Nelson Mandela jika anda berbicara dengan bahasa yang ia mengerti maka akan sampai ke benaknya, namun jika anda berbicara dengan seseorang dalam bahasanya akan sampai ke hatinya.
Maka jika kita sedang berada di Kampung Pondok akan akrab terdengar istilah Minang Pondok mulai dari batok (batuk), balek (balik), suduk (sudut), tekilok (terkilir), becindawan (berjamur), inya (dia), ambek (ambil), bawak (bawa), etong (hitung), kere kepala (keras kepala), nyinyi (nyinyir), dua bele (dua belas), tesumbek (tersumbat) dan lainnya.
Adaptasi Makanan
Orang Cina di Padang juga menghadirkan makanan tersendiri yang merupakan campuran kebudayaan Tionghoa dengan Minang.
Sebagaimana bahasa, makanan orang Tionghoa di Padang juga pada umumnya adalah makanan Minang dengan cita rasa yang lebih ringan.
Ini dibuktikan dengan kehadiran sejumlah rumah makan Padang di Pondok yang pengunjungnya bukan hanya orang Tionghoa namun juga orang Minang.
Masakan Minang yang dibuat orang Tionghoa juga perlambang percampuran dua budaya yang membuktikan kemampuan pembauran orang Cina dengan masyarakat setempat.
Bahkan saat warga Padang hendak bepergian ke luar kota atau kedatangan tamu biasanya akan dibawakan oleh-oleh khas Minang yaitu keripik balado yang banyak diproduksi dan dijual di Kampung Pondok.
Bahkan pada Idul Fitri 1440 Hijriah atau pada 2019, digelar Festival 10 ribu Bakcang Ayam dan Lamang Baluo.
Makanan tradisional dari dua etnis yang berbeda itu menjadi ajang penguatan akulturasi budaya antara Minang dengan Tionghoa yang selama ini sudah berjalan dengan baik di ibu kota provinsi Sumatera Barat tersebut.
Apa yang disampaikan Malcolm Lee seorang chef asal Singapura soal makanan dapat menyatukan semua orang lagi-lagi terbukti kebenarannya.
Bagi kalangan Tionghoa bakcang adalah makanan tradisi yang dimakan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina.
Kudapan berbentuk segitiga yang terbuat dari ketan tersebut diisi dengan beragam isian mulai dari daging hingga sayuran.
Memang selama ini bakcang identik dengan isian daging babi, namun di Padang dimodifikasi dengan isian ayam sehingga halal dikonsumsi umat Islam.
Berawal dari pembicaraan sekelompok masyarakat Tionghoa yang ingin membuat sesuatu yang bernilai akhirnya digagas ide untuk membuat Festival 10 ribu bakcang ayam.
Ide tersebut disambut baik oleh Wali Kota Padang yang ketika itu dijabat Mahyeldi dan mengusulkan agar tidak hanya bakcang namun juga ada makanan khas Minang sehingga dipilih lamang baluo.
Lamang baluo terbuat dari ketan dengan isian parutan kelapa dan gula aren dibungkus daun pisang berbentuk lonjong.
Akhirnya dalam rangka menarik kunjungan wisatawan dan memeriahkan Idul Fitri 1440 Hijriah pemerintah Kota Padang menggelar festival 10 ribu bakcang ayam dan lamang baluo pada 6-7 Juni 2019 di kawasan Kota Tua yang berhasil meraih rekor Muri.
Orang Tionghoa merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia sama halnya dengan suku lain. Tentu mereka memiliki kelebihan dan juga kekurangan sebagai bagian dari anak bangsa, namun mereka tetap bertahan hidup dan memilih Indonesia sebagai Tanah Air.
Secuplik kisah kehidupan orang Tionghoa di Padang menggambarkan bagaimana mereka tetap beradaptasi dan tetap mencoba mempertahankan nilai-nilai ketionghoaanya yang mulai memudar.
Mereka memaknai filosofi pepatah Minang Alam Takambang jadi Guru dan dima bumi dipijak di situ langik dijunjung.
Ujaran itu pun berjawab, bahwa sesungguhnya warga asli Padang itu adalah orang Nias dan Tionghoa karena mereka yang pertama kali bermukim di Padang, sebelum orang Minang merantau ke ibu kota provinsi itu.
Kendati dialog tersebut terkesan mengedepankan politik primordial, namun jawaban yang diberikan menegasi bahwa orang Tionghoa menjadi salah satu warga yang pertama kali hadir dan tinggal di Padang.
Berdasarkan penelusuran sejarah, awal mula kedatangan orang Tionghoa ke Sumatera Barat dikutip dari buku Asap Hio di Ranah Minang karya Erniwati masuk dalam tiga periode.
Periode pertama, pada kurun abad 15 saat pedagang Cina berlayar untuk berdagang ke Nusantara termasuk dengan orang Minang. Para pedagang tersebut masuk ke Sumatera Barat melalui jalur sungai dari Selat Malaka hingga ke pedalaman Sumatera Barat.
Kemudian pada abad ke-16, saat itu Pariaman berkembang menjadi pelabuhan tempat ekspor lada dan emas, bersamaan dengan itu juga terjadi kedatangan bangsa Eropa dan migrasi orang Cina.
Saat kedatangan Bangsa Hindia Belanda ke Sumatera Barat, aktivitas ekonomi kian meningkat termasuk migrasi periode ketiga orang Cina ke daerah ini.
Memasuki 1660 Belanda menjadikan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangan internasional di Pantai Barat Sumatera sehingga mulai terbentuk komunitas orang Tionghoa yang tinggal di permukiman khusus di Padang.
Permukiman itulah yang menjadi cikal bakal Kampung Pondok dan Tanah Kongsi yang akhirnya terus berkembang hingga saat ini.
Menyandang predikat sebagai daerah perantauan, Padang telah menjelma menjadi periuk pencampuran beragam etnik mulai dari Minang, Melayu, Jawa, Tionghia, Nias, Batak dan India.
Ini terwujud nyata dengan nama kampung di Padang mulai dari Kampung Jawa, Kampung Nias, Kampung Cina hingga Kampung Kaliang.
Aktivitas Ekonomi
Berdasarkan data yang dihimpun dari dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Padang jumlah warga Tionghoa di Padang telah berkembang menjadi sekitar 20.000 jiwa pada 2021. Mereka didominasi oleh pada pedagang dan dikenal memiliki karakter pekerja keras
Dalam aktivitas ekonomi hubungan antara orang Cina dengan Minang terbilang baik. Pasar Tanah Kongsi menjadi bukti nyata bagaimana hubungan pedagang Tionghoa dan Minang terjalin harmonis.
Pada umumnya pedagang Tionghoa menjual daging babi, sarapan pagi, warung kopi, kue-kue, sedangkan orang Minang berjualan daging sapi, ikan, sayur hingga buah-buahan.
Relasi antar etnik juga amat cair saat berada di Simpang Kinol. Ketika ada warung kopi yang merupakan milik orang Tionghoa, di teras warung akan ada orang Minang yang berjualan sate, hingga gado-gado yang tidak dipungut sewa.
Jika ada warga yang makan sate, kemudian memesan jus jeruk maka penjual bergegas ke bangunan kedai kopi dan tak lama segelas jus jeruk terhidang.
Soal membayar cukup sekali saja di penjual sate dan tak perlu harus ke dalam membayar jus jeruk karena nanti akan dibayarkan ke kedai oleh penjual sate.
Artinya tercipta simbiosis mutualisme diantara dua etnik karena hubungan baik yang telah berlangsung lama.
Bahasa Minang Pondok
Pada aspek bahasa orang Tionghoa juga melakukan adaptasi. Dikutip dari buku Orang Tionghoa Padang karya Riniwaty Makmur, orang Tionghoa yang ada di Padang saat ini merupakan generasi kelima dan amat sedikit yang masih bisa berbahasa Mandarin.
Kini dalam keseharian mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Minang dengan logat Tionghoa.
Penggunaan bahasa Minang logat Tionghoa menunjukan warga Tionghoa di Padang yang secara populasi hanya 1,1 persen mencari jalan tengah untuk bisa berinteraksi dengan warga Minang.
Sebab jika ditanyai mereka akan menjawab orang Padang, lahir di Padang, beraktivitas dan berbicara dengan bahasa Padang.
Ini juga mengisyaratkan prinsip "dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang" teraplikasi nyata tanpa kehilangan identitas asli Tionghoa dan tercerabut dari akar budaya.
Warga Tionghoa Padang agaknya memaknai pernyataan Nelson Mandela jika anda berbicara dengan bahasa yang ia mengerti maka akan sampai ke benaknya, namun jika anda berbicara dengan seseorang dalam bahasanya akan sampai ke hatinya.
Maka jika kita sedang berada di Kampung Pondok akan akrab terdengar istilah Minang Pondok mulai dari batok (batuk), balek (balik), suduk (sudut), tekilok (terkilir), becindawan (berjamur), inya (dia), ambek (ambil), bawak (bawa), etong (hitung), kere kepala (keras kepala), nyinyi (nyinyir), dua bele (dua belas), tesumbek (tersumbat) dan lainnya.
Adaptasi Makanan
Orang Cina di Padang juga menghadirkan makanan tersendiri yang merupakan campuran kebudayaan Tionghoa dengan Minang.
Sebagaimana bahasa, makanan orang Tionghoa di Padang juga pada umumnya adalah makanan Minang dengan cita rasa yang lebih ringan.
Ini dibuktikan dengan kehadiran sejumlah rumah makan Padang di Pondok yang pengunjungnya bukan hanya orang Tionghoa namun juga orang Minang.
Masakan Minang yang dibuat orang Tionghoa juga perlambang percampuran dua budaya yang membuktikan kemampuan pembauran orang Cina dengan masyarakat setempat.
Bahkan saat warga Padang hendak bepergian ke luar kota atau kedatangan tamu biasanya akan dibawakan oleh-oleh khas Minang yaitu keripik balado yang banyak diproduksi dan dijual di Kampung Pondok.
Bahkan pada Idul Fitri 1440 Hijriah atau pada 2019, digelar Festival 10 ribu Bakcang Ayam dan Lamang Baluo.
Makanan tradisional dari dua etnis yang berbeda itu menjadi ajang penguatan akulturasi budaya antara Minang dengan Tionghoa yang selama ini sudah berjalan dengan baik di ibu kota provinsi Sumatera Barat tersebut.
Apa yang disampaikan Malcolm Lee seorang chef asal Singapura soal makanan dapat menyatukan semua orang lagi-lagi terbukti kebenarannya.
Bagi kalangan Tionghoa bakcang adalah makanan tradisi yang dimakan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina.
Kudapan berbentuk segitiga yang terbuat dari ketan tersebut diisi dengan beragam isian mulai dari daging hingga sayuran.
Memang selama ini bakcang identik dengan isian daging babi, namun di Padang dimodifikasi dengan isian ayam sehingga halal dikonsumsi umat Islam.
Berawal dari pembicaraan sekelompok masyarakat Tionghoa yang ingin membuat sesuatu yang bernilai akhirnya digagas ide untuk membuat Festival 10 ribu bakcang ayam.
Ide tersebut disambut baik oleh Wali Kota Padang yang ketika itu dijabat Mahyeldi dan mengusulkan agar tidak hanya bakcang namun juga ada makanan khas Minang sehingga dipilih lamang baluo.
Lamang baluo terbuat dari ketan dengan isian parutan kelapa dan gula aren dibungkus daun pisang berbentuk lonjong.
Akhirnya dalam rangka menarik kunjungan wisatawan dan memeriahkan Idul Fitri 1440 Hijriah pemerintah Kota Padang menggelar festival 10 ribu bakcang ayam dan lamang baluo pada 6-7 Juni 2019 di kawasan Kota Tua yang berhasil meraih rekor Muri.
Orang Tionghoa merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia sama halnya dengan suku lain. Tentu mereka memiliki kelebihan dan juga kekurangan sebagai bagian dari anak bangsa, namun mereka tetap bertahan hidup dan memilih Indonesia sebagai Tanah Air.
Secuplik kisah kehidupan orang Tionghoa di Padang menggambarkan bagaimana mereka tetap beradaptasi dan tetap mencoba mempertahankan nilai-nilai ketionghoaanya yang mulai memudar.
Mereka memaknai filosofi pepatah Minang Alam Takambang jadi Guru dan dima bumi dipijak di situ langik dijunjung.