Jakarta (ANTARA) - Keketuaan Indonesia dalam Kelompok 20 negara besar di dunia telah berakhir begitu Presiden Joko Widodo menutup Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali, pada 16 November dan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan G20 kepada India.

Deklarasi G20 di Nusa Dua itu mengeluarkan 52 poin rekomendasi dan komitmen, mulai dari penguatan multilateralisme dalam kerja sama ekonomi global sampai arsitektur keuangan dan kesehatan global.

Dari transformasi digital sampai langkah-langkah menghadapi perubahan iklim. Dari upaya menciptakan ketahanan pangan dan energi, hingga tekad membumikan Pandemic Fund dan bantuan untuk negara miskin.

Selama mengetuai G20, Indonesia bersandar kepada upaya memperkuat lingkungan kemitraan, mendorong produktivitas, meningkatkan ketahanan dan stabilitas, memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif, serta kepemimpinan kolektif global yang lebih kuat.

Kelima pilar itu menyemangati poin-poin dalam Deklarasi G20 pada 2022.

Padahal sulit dimungkiri masa Indonesia memimpin G20 adalah momen yang sangat menantang yang mungkin ingin dihindari siapa pun.

Bukan saja karena dunia menghadapi situasi-situasi akibat dampak pandemi COVID-19, termasuk krisis rantai pasokan dan gelombang inflasi, yang semuanya membutuhkan kepemimpinan global yang kuat.

Juga karena letusan perang di Ukraina yang nyaris mengalihkan perhatian G20 dari khitahnya.

Namun Indonesia mampu membuat peta jalan dan rekomendasi untuk aksi global dalam menangkal krisis sekaligus bagaimana dunia seharusnya menangkap peluang-peluang saat ini dan nanti yang bisa mendorong pertumbuhan dan kemakmuran global.

Perang di Ukraina membuat Indonesia menjadi ketua yang berusaha keras mendudukkan G20 tetap sebagai forum untuk kerja sama ekonomi.

Indonesia telah mengatasi tantangan itu yang sekaligus telah dengan baik pula mewujudkan amanat nasionalnya menjalankan politik luar negeri bebas aktif.

Tak mau "terlalu politik"

Dalam poin ketiga Deklarasi G20 2022 terdapat pernyataan yang eksplisit menyebut Rusia dan Ukraina, serta perang di Ukraina dan bagaimana sikap G20 menyangkut konflik itu.

Ada pengakuan bahwa kebanyakan negara G20 mengecam perang di Ukraina yang menandaskan bahwa perang di negara itu telah menciptakan tragedi kemanusiaan dan kian membuat rapuh perekonomian global, menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, merusak rantai pasokan, membuat ketahanan energi dan pangan semakin terancam, serta mengancam stabilitas keuangan.

Akan tetapi deklarasi itu juga menekankan adanya penafsiran berbeda mengenai situasi di Ukraina dan sanksi yang berkaitan dengan perang di sana.

Ini bukti upaya Indonesia dalam mendudukkan G20 sebagai forum yang tak diabdikan untuk mengatasi isu-isu keamanan. Indonesia berusaha untuk tidak "terlalu politik" dalam sebuah forum ekonomi seperti G20.

Meski begitu ada akomodasi elok yang membuat G20 juga tak bisa tidak memedulikan situasi di Ukraina yang memang mengiris prinsip kemerdekaan dan kedaulatan nasional yang hakiki dan sentral bagi negara mana pun, selain dilindungi kuat-kuat dalam Piagam PBB.

Presiden Joko Widodo sendiri menegaskan poin ini dalam pidatonya. Indonesia terlihat menegaskan posisinya terhadap pemaksaan kekuatan militer untuk hal-hal yang sebenarnya dituntaskan di meja perundingan.

Akan tetapi ada perbedaan antara Deklarasi G20 dengan pidato Presiden Jokowi.

Dalam Deklarasi G20 yang merupakan konsensus G20, nama Ukraina serta Rusia tegas ditulis, namun Jokowi tak menyebutkan keduanya saat menyatakan "perang harus diakhiri".

Semua tahu siapa yang dimaksud Presiden Jokowi. Namun itu cara Indonesia menegaskan bahwa G20 adalah forum kerja sama ekonomi, bukan forum politik.

Itu bentuk kemandirian sikap dan juga kesediaan Indonesia dalam merangkul suara-suara lain di G20 tanpa berusaha melukai yang lain, di samping sebagai petunjuk bahwa Indonesia tidak mengabaikan realitas internasional.

Sekilas terlihat kontradiktif antara penegasan bahwa G20 forum kerja sama ekonomi global ketika saat bersamaan ada seruan penghentian perang.

Namun seruan itu bukan karena Indonesia berpihak, melainkan karena dampak buruk perang terhadap masyarakat global justru ketika manusia sejagat baru saja bangkit lagi tertatih-tatih setelah dibelenggu oleh pandemi.

Seribu kawan terlalu sedikit

Sebelum menyatakan "perang harus diakhiri" itu pun Presiden Jokowi mengawali kalimat itu dengan prolog bahwa dunia membutuhkan kebersamaan, bahwa "paradigma kolaborasi sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia."

Kolaborasi dibutuhkan demi memastikan dunia yang aman yang adalah tanggung jawab semua negara, khususnya G20.

Namun menjadi pihak yang bertanggung jawab adalah juga kesediaan untuk menghormati hukum dan prinsip-prinsip internasional seperti tercantum dalam Piagam PBB yang sudah menjadi konsensus dunia.

Jokowi mengatakan, "Kita tak boleh membagi dunia ke dalam bagian-bagian. Kita harus mencegah dunia terperosok dalam perang dingin yang baru."

Itu mencerminkan keaktifan Indonesia dalam menghindarkan permusuhan yang bisa merusak perdamaian dan merepresentasikan kebebasan Indonesia dalam menyampaikan posisi nasionalnya.

Ini menjadi teramat penting karena selama hampir dua pertiga terakhir periode presidensi Indonesia dalam G20, Indonesia berusaha diseret untuk berpihak dalam perang di Ukraina. Namun Indonesia berhasil keluar dari tekanan itu.

Jokowi tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin, semata karena politik luar negeri bebas aktif, keperluan dialog dan memang kontekstual dengan forum G20.

Meskipun demikian, Indonesia juga mengakomodasi suara lain dalam G20 karena Indonesia juga merasakan betul apa artinya kemerdekaan dan sangat memuliakan kedaulatan nasional.

Presiden Prancis Emmanuel Macron pernah menyatakan ketidakberpihakan dalam perang di Ukraina sama sekali tak bisa dibenarkan. Kalimatnya mengingatkan orang kepada pernyataan John Foster Dulles beberapa puluh tahun silam saat menjadi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, ketika dia mengkritik Gerakan Non Blok dengan menyatakan "netralitas adalah tak bermoral".

Akan tetapi ketidakberpihakan acap membuat dunia malah memiliki kesempatan, pilihan,  tempat dalam mencari cara lebih mencerahkan guna menyelamatkan umat manusia, serta memastikan perdamaian tetap hidup.

Thailand pada Perang Dunia II atau Swedia dan Swiss sampai sekarang adalah contoh ketidakberpihakan bukan semata soal moral, namun juga kerap menyelamatkan kemanusiaan dan menjadi tempat harapan bagi masih adanya harapan untuk perdamaian karena mereka menjadi tempat berkomunikasi untuk pihak-pihak yang saling bermusuhan seperti terjadi pada Perang Dunia Kedua.

Indonesia juga berusaha berdiri untuk kebaikan dan kepentingan semua, tetapi bukan netralitas yang pasif.

Dan inilah salah satu atraksi menarik dari Presidensi Indonesia dalam G20 yang baru lewat itu, yakni upaya Indonesia dalam membumikan politik luar negeri bebas dan aktif.

Politik luar negeri ini pun menjadi terlihat sebagai falsafah yang amat sulit dipisahkan dari bangsa ini.

Itu bahkan sudah menjadi jalan hidup dalam bagaimana Indonesia berinteraksi dengan tatanan mana pun di dunia ini bahwa "seribu kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak."


Editor: Achmad Zaenal M
 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Deklarasi G20 dan penegasan politik luar negeri RI bebas aktif

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024