Padang (ANTARA) - Sabtu, 3 September 2022, pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Besaran kenaikannya berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter naik menjadi Rp10.000 per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter. Kenaikan paling tinggi dan signifikan terjadi pada Pertalite yang mencapai lebih dari 30 persen. Pada kesempatan ini, kita tidak akan mengkaji mengapa dan bagaimana penetapan kenaikan harga ini dilakukan. Kita akan fokus pada opsi-opsi yang mungkin dipilih oleh masyarakat sebagai konsekuensi kenaikan harga BBM tersebut.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita lihat profil seorang masyarakat yang sebutlah bernama “Fulan”. Fulan sehari-hari bekerja sebagai seorang pegawai honorer di Kampus Universitas Andalas, Limau Manis dan berdomisili di Perumnas Belimbing. Setiap bulan si Fulan menerima gaji sebesar 2,8 juta rupiah. Fulan masih bujangan dan tidak punya tanggungan yang harus dibiayai. Sehari-hari, Fulan menggunakan jasa angkutan kota (angkot) sebagai moda transportasi pilihan sebelum kenaikan harga BBM. Dengan profil seperti ini, opsi apa yang mungkin dipilih oleh Fulan pasca kenaikan harga BBM yang mungkin akan berimbas pada kenaikan tarif angkot?
Kita lihat dulu kondisi eksisting dari Fulan. Perkiraan ongkos angkot yang mesti dikeluarkan oleh Fulan setiap hari kerja adalah: naik angkot merah Belimbing menuju Pasar Raya, turun di Simpang Ketaping, By Pass dengan ongkos Rp 4.000,-; dilanjutkan dengan naik angkot hijau rute Pasar Raya - Pasar Baru. Jika beruntung, Fulan bisa langsung ke Kampus dengan angkot tersebut dengan bayaran sebesar Rp 4.000,-. Namun pada umumnya, angkot tersebut berputar arah di Pasar Baru, sehingga Fulan harus menaiki angkot lainya dari Pasar Baru ke Kampus Unand dengan ongkos Rp 4.000,-. Dengan perkiraan biaya yang sama untuk pulang, maka Fulan harus mengeluarkan ongkos Rp 24.000,- per hari kerja. Jika hari kerja satu bulan adalah 25 hari, maka ongkos yang harus dikeluarkan oleh Fulan adalah sebesar Rp 600.000,- atau sekitar 21 persen dari pendapatannya.
Dengan kenaikan BBM tadi, maka kemungkinan ongkos angkot akan mengalami penyesuaian yang mungkin mencapai Rp 1.000,- untuk setiap trip sehingga total pengeluaran Fulan per bulan mengalami peningkatan menjadi Rp 5.000,- kali tiga trip, dikali dua karena bolak-balik dan dikali 25 hari kerja, sehingga menjadi Rp 750.000,- . Terjadi kemungkinan peningkatan pengeluaran untuk transportasi sebanyak 25 persen dari sebelumnya. Fulan sedang menimbang opsi yang ada di hadapannya.
Opsi pertama: memilih tetap menggunakan angkot dengan konsekuensi terjadi penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan lain. Opsi kedua: naik ojek motor online. Biaya ojek online dari Belimbing ke Kampus Unand biasanya adalah bervariasi antara Rp 12-15 ribu rupiah yang setara dengan pengeluaran naik angkot. Selanjutnya opsi ketiga adalah: membeli sepeda motor bekas tanpa DP dengan cicilan Rp 500.000,- per bulan selama 18 bulan, serta biaya bahan-bakar Rp 10.000,- untuk tiga hari kerja atau sekitar Rp 100.000 per bulan. Opsi ke-empat: menumpang atau berbagi biaya transportasi dengan teman se kantor. Opsi ini mungkin sangat jarang bisa dilaksanakan. Opsi ke-lima: naik sepeda dengan modal pembelian sepeda dan perlengkapan lainnya seharga Rp 5.000.000,-. Opsi mengayuh sepeda ke kampus Unand mungkin tidak semua orang sanggup. Opsi lainnya mungkin masih ada, namun kali ini kita akan fokus pada opsi-opsi di atas.
Secara hitung-hitungan mata uang, maka sepertinya opsi nomor tiga lebih menarik untuk si Fulan. Total pengeluaran hanya Rp 600.000,- per bulan atau sama dengan biaya transportasi saat ini, namun punya banyak kelebihan yakni: sepeda motor menjadi hak milik setelah dilunasi dalam 18 bulan dan Fulan bebas menentukan kapan harus berangkat tanpa harus menunggu tersedianya angkutan. Di tambah dengan biaya perawatan pun sepertinya opsi ini lebih menarik buat Fulan. Pilihan ini kemungkinan tidak hanya akan menjadi pilihan Fulan namun juga pilihan banyak orang. Beberapa pengguna mobil pribadi pun sepertinya akan memilih mengurangi penggunaan mobil dan memilih opsi menggunakan sepeda motor untuk perjalanan rutinnya.
Dengan hitung-hitungan sederhana demikian, maka kita bisa prediksi ke depannya bahwa jumlah pengguna sepeda motor di jalan raya akan semakin meningkat. Saat ini saja komposisi sepeda motor di lalu lintas kita pada beberapa ruas jalan sudah mencapai antara 60 persen-85 persen dari total kendaraan. Padahal kita tahu, sepeda motor memiliki record tertinggi untuk keterlibatannya dalam kecelakaan lalu lintas dan berkontribusi besar dalam kesemrawutan lalu lintas. Dengan mudahnya mendapatkan dan menggunakan sepeda motor, banyak di antara pengguna sepeda motor yang belum memahami aturan lalu lintas, namun sudah berani turun ke jalan raya, termasuk anak-anak di bawah umur yang secara hukum pun belum boleh menggunakan kendaraan bermotor.
Pemerintah harus segera turun tangan mengatasi masalah ini. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Untuk jangka pendek, pemerintah mesti menjaga agar peminat angkutan umum tetap terpelihara dan menjaga agar angkutan umum dengan tarif yang terjangkau tetap tersedia. Opsi ini tentu tidak mudah karena, peminat angkutan kota dari waktu ke waktu semakin berkurang. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti pelayanan angkutan umum yang masih jauh dari harapan masyarakat, cakupan wilayah pelayanan yang masih belum menjangkau semua area pemukiman masyarakat, serta konektifitas antar rute yang masih terbatas. Kenaikan tarif akan semakin melemahkan posisi angkutan kota terhadap opsi lainnya bagi masyarakat.
Menurut saya, pemerintah mesti mengeksplorasi juga segala opsi kebijakan yang mungkin bisa ditempuh. Opsi menaikkan tarif angkutan umum mungkin hanya salah satu opsi saja. Opsi lainnya bisa dipilih adalah dengan menetapkan tarif tetap dan kemudian pemerintah menanggulangi kerugian pengusaha angkutan umum. Saat ini mungkin tidak ada anggaran dalam Rencana Anggaran Tahunan maupun dalam rencana jangka menengah pemerintah daerah. Seharusnya dengan perubahan harga-harga akibat kenaikan harga BBM, pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengevaluasi dan merevisi anggaran tahunan dan memberi perintah khusus untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum. Penyediaan angkutan umum adalah tanggung jawab pemerintah. Kalau sampai angkutan umum mati karena ditinggalkan oleh masyarakat, maka semakin jauh harapan kita untuk memiliki kota yang layak huni.
Untuk jangka panjang, pemerintah mesti membuat rencana aksi untuk pengembangan sistem transportasi berkelanjutan yang antara lain memprioritaskan penggunaan angkutan ramah lingkungan seperti berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan angkutan umum berokupansi besar dan berbahan bakar dari sumber yang bisa diperbaharui. Selama ini sistem transportasi berkelanjutan masih sebatas wacana dan narasi-narasi dalam dokumen-dokumen resmi. Sedangkan rencana aksi yang jelas belum kita dengar kecuali hanya di beberapa kota saja seperti Jakarta. Pemerintah tidak boleh terikat dan fokus hanya pada program kerja lima tahunan. Pengembangan system transportasi berkelanjutan butuh strategi matang dan aksi nyata yang jelas tahap demi tahapnya.
Dari sisi biaya atau beban anggaran untuk pelaksanaannya mungkin tidak terlalu besar, namun beban psikologisnya bagi pemerintah memang diakui sangat tinggi. Resiko politik pun mungkin tidak mudah bagi pemerintah untuk menerimanya karena pada tahap awal, masyarakat pada umumnya memilih posisi kontra terhadap segala kebijakan yang mengurangi kesenangan dan kebebasannya. Mungkin di sini kepiawaian pemerintah dalam meyakinkan masyarakat diuji. Menghadirkan secara virtual kondisi kota masa depan ketika rencana pengembangan system transportasi berkelanjutan terlaksana mungkin dapat ditempuh karena teknologinya sudah tersedia saat ini. Kita hanya butuh pemimpin yang punya visi jauh ke depan yang melewati masa jabatannya dan punya kapasitas kepemimpinan untuk mewujudkannya.
Penulis merupakan Ketua Pusat Transportasi Universitas Andalas
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita lihat profil seorang masyarakat yang sebutlah bernama “Fulan”. Fulan sehari-hari bekerja sebagai seorang pegawai honorer di Kampus Universitas Andalas, Limau Manis dan berdomisili di Perumnas Belimbing. Setiap bulan si Fulan menerima gaji sebesar 2,8 juta rupiah. Fulan masih bujangan dan tidak punya tanggungan yang harus dibiayai. Sehari-hari, Fulan menggunakan jasa angkutan kota (angkot) sebagai moda transportasi pilihan sebelum kenaikan harga BBM. Dengan profil seperti ini, opsi apa yang mungkin dipilih oleh Fulan pasca kenaikan harga BBM yang mungkin akan berimbas pada kenaikan tarif angkot?
Kita lihat dulu kondisi eksisting dari Fulan. Perkiraan ongkos angkot yang mesti dikeluarkan oleh Fulan setiap hari kerja adalah: naik angkot merah Belimbing menuju Pasar Raya, turun di Simpang Ketaping, By Pass dengan ongkos Rp 4.000,-; dilanjutkan dengan naik angkot hijau rute Pasar Raya - Pasar Baru. Jika beruntung, Fulan bisa langsung ke Kampus dengan angkot tersebut dengan bayaran sebesar Rp 4.000,-. Namun pada umumnya, angkot tersebut berputar arah di Pasar Baru, sehingga Fulan harus menaiki angkot lainya dari Pasar Baru ke Kampus Unand dengan ongkos Rp 4.000,-. Dengan perkiraan biaya yang sama untuk pulang, maka Fulan harus mengeluarkan ongkos Rp 24.000,- per hari kerja. Jika hari kerja satu bulan adalah 25 hari, maka ongkos yang harus dikeluarkan oleh Fulan adalah sebesar Rp 600.000,- atau sekitar 21 persen dari pendapatannya.
Dengan kenaikan BBM tadi, maka kemungkinan ongkos angkot akan mengalami penyesuaian yang mungkin mencapai Rp 1.000,- untuk setiap trip sehingga total pengeluaran Fulan per bulan mengalami peningkatan menjadi Rp 5.000,- kali tiga trip, dikali dua karena bolak-balik dan dikali 25 hari kerja, sehingga menjadi Rp 750.000,- . Terjadi kemungkinan peningkatan pengeluaran untuk transportasi sebanyak 25 persen dari sebelumnya. Fulan sedang menimbang opsi yang ada di hadapannya.
Opsi pertama: memilih tetap menggunakan angkot dengan konsekuensi terjadi penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan lain. Opsi kedua: naik ojek motor online. Biaya ojek online dari Belimbing ke Kampus Unand biasanya adalah bervariasi antara Rp 12-15 ribu rupiah yang setara dengan pengeluaran naik angkot. Selanjutnya opsi ketiga adalah: membeli sepeda motor bekas tanpa DP dengan cicilan Rp 500.000,- per bulan selama 18 bulan, serta biaya bahan-bakar Rp 10.000,- untuk tiga hari kerja atau sekitar Rp 100.000 per bulan. Opsi ke-empat: menumpang atau berbagi biaya transportasi dengan teman se kantor. Opsi ini mungkin sangat jarang bisa dilaksanakan. Opsi ke-lima: naik sepeda dengan modal pembelian sepeda dan perlengkapan lainnya seharga Rp 5.000.000,-. Opsi mengayuh sepeda ke kampus Unand mungkin tidak semua orang sanggup. Opsi lainnya mungkin masih ada, namun kali ini kita akan fokus pada opsi-opsi di atas.
Secara hitung-hitungan mata uang, maka sepertinya opsi nomor tiga lebih menarik untuk si Fulan. Total pengeluaran hanya Rp 600.000,- per bulan atau sama dengan biaya transportasi saat ini, namun punya banyak kelebihan yakni: sepeda motor menjadi hak milik setelah dilunasi dalam 18 bulan dan Fulan bebas menentukan kapan harus berangkat tanpa harus menunggu tersedianya angkutan. Di tambah dengan biaya perawatan pun sepertinya opsi ini lebih menarik buat Fulan. Pilihan ini kemungkinan tidak hanya akan menjadi pilihan Fulan namun juga pilihan banyak orang. Beberapa pengguna mobil pribadi pun sepertinya akan memilih mengurangi penggunaan mobil dan memilih opsi menggunakan sepeda motor untuk perjalanan rutinnya.
Dengan hitung-hitungan sederhana demikian, maka kita bisa prediksi ke depannya bahwa jumlah pengguna sepeda motor di jalan raya akan semakin meningkat. Saat ini saja komposisi sepeda motor di lalu lintas kita pada beberapa ruas jalan sudah mencapai antara 60 persen-85 persen dari total kendaraan. Padahal kita tahu, sepeda motor memiliki record tertinggi untuk keterlibatannya dalam kecelakaan lalu lintas dan berkontribusi besar dalam kesemrawutan lalu lintas. Dengan mudahnya mendapatkan dan menggunakan sepeda motor, banyak di antara pengguna sepeda motor yang belum memahami aturan lalu lintas, namun sudah berani turun ke jalan raya, termasuk anak-anak di bawah umur yang secara hukum pun belum boleh menggunakan kendaraan bermotor.
Pemerintah harus segera turun tangan mengatasi masalah ini. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Untuk jangka pendek, pemerintah mesti menjaga agar peminat angkutan umum tetap terpelihara dan menjaga agar angkutan umum dengan tarif yang terjangkau tetap tersedia. Opsi ini tentu tidak mudah karena, peminat angkutan kota dari waktu ke waktu semakin berkurang. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti pelayanan angkutan umum yang masih jauh dari harapan masyarakat, cakupan wilayah pelayanan yang masih belum menjangkau semua area pemukiman masyarakat, serta konektifitas antar rute yang masih terbatas. Kenaikan tarif akan semakin melemahkan posisi angkutan kota terhadap opsi lainnya bagi masyarakat.
Menurut saya, pemerintah mesti mengeksplorasi juga segala opsi kebijakan yang mungkin bisa ditempuh. Opsi menaikkan tarif angkutan umum mungkin hanya salah satu opsi saja. Opsi lainnya bisa dipilih adalah dengan menetapkan tarif tetap dan kemudian pemerintah menanggulangi kerugian pengusaha angkutan umum. Saat ini mungkin tidak ada anggaran dalam Rencana Anggaran Tahunan maupun dalam rencana jangka menengah pemerintah daerah. Seharusnya dengan perubahan harga-harga akibat kenaikan harga BBM, pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengevaluasi dan merevisi anggaran tahunan dan memberi perintah khusus untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum. Penyediaan angkutan umum adalah tanggung jawab pemerintah. Kalau sampai angkutan umum mati karena ditinggalkan oleh masyarakat, maka semakin jauh harapan kita untuk memiliki kota yang layak huni.
Untuk jangka panjang, pemerintah mesti membuat rencana aksi untuk pengembangan sistem transportasi berkelanjutan yang antara lain memprioritaskan penggunaan angkutan ramah lingkungan seperti berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan angkutan umum berokupansi besar dan berbahan bakar dari sumber yang bisa diperbaharui. Selama ini sistem transportasi berkelanjutan masih sebatas wacana dan narasi-narasi dalam dokumen-dokumen resmi. Sedangkan rencana aksi yang jelas belum kita dengar kecuali hanya di beberapa kota saja seperti Jakarta. Pemerintah tidak boleh terikat dan fokus hanya pada program kerja lima tahunan. Pengembangan system transportasi berkelanjutan butuh strategi matang dan aksi nyata yang jelas tahap demi tahapnya.
Dari sisi biaya atau beban anggaran untuk pelaksanaannya mungkin tidak terlalu besar, namun beban psikologisnya bagi pemerintah memang diakui sangat tinggi. Resiko politik pun mungkin tidak mudah bagi pemerintah untuk menerimanya karena pada tahap awal, masyarakat pada umumnya memilih posisi kontra terhadap segala kebijakan yang mengurangi kesenangan dan kebebasannya. Mungkin di sini kepiawaian pemerintah dalam meyakinkan masyarakat diuji. Menghadirkan secara virtual kondisi kota masa depan ketika rencana pengembangan system transportasi berkelanjutan terlaksana mungkin dapat ditempuh karena teknologinya sudah tersedia saat ini. Kita hanya butuh pemimpin yang punya visi jauh ke depan yang melewati masa jabatannya dan punya kapasitas kepemimpinan untuk mewujudkannya.
Penulis merupakan Ketua Pusat Transportasi Universitas Andalas