Kupang (ANTARA) - "Dari Kota Ende, saya mengajak seluruh anak bangsa di mana pun berada untuk bersama-sama membumikan Pancasila dan mengaktualisasikan nilai luhur Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Inilah tugas kita bersama. Tugas seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bekerja, yang dirasakan kehadirannya dan manfaatnya bagi seluruh tumpah darah," kata Jokowi lagi.
Dari kota bersejarah, tempat Sang Proklamator Bung Karno merenungkan dan merumuskan Pancasila, pada peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2022, Presiden Jokowi menyebut Pancasila bukan hanya mempersatukan masyarakat, melainkan menjadi bintang penuntun ketika bangsa menghadapi ujian. Hal itu telah dibuktikan berkali-kali dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara karena masyarakat berlandaskan Pancasila.
Pada kesempatan itu, Presiden mengingatkan masyarakat harus betul-betul mengamalkan Pancasila dan memperjuangkan untuk mewujudkan sistem masyarakat, kebangsaan, dan kenegaraan.
Presiden pun meminta agar ada implementasi tata kelola pemerintahan yang menjiwai interaksi sesama anak bangsa.
"Inilah tugas kita bersama. Tugas seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bekerja, yang dirasakan kehadirannya dan manfaatnya bagi seluruh tumpah darah," kata Presiden.
Pesan Presiden Jokowi itu saat bertindak sebagai Inspektur Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Lahir Pancasila, di Lapangan Pancasila Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu, 1 Juni 2022.
Legitimasi negara
Pesan Presiden dari Ende, Kota Kelahiran Pancasila bermakna historis bahwa sejarah Kota Ende dan perjuangan Soekarno adalah nilai-nilai vital yang harus terus menjadi imajinasi sekaligus pengetahuan bagi generasi penerus bangsa ini.
Mengapa? Karena sejarah tentang Pancasila adalah sebuah ingatan, memoria, juga sebuah warisan yang diturunkan dan disimpan dalam kesadaran kolektif agar kita tahu saja bahwa ada orang sebelum kita, yang sangat berjasa, yaitu Soekarno saat hidup dalam pembuangan di sebuah kota yaitu Kota Ende, kata akademisi yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori-Teori Kritis di Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona.
Artinya, meskipun selama ini hal itu sudah diakui, tetapi dengan kehadiran Presiden Jokowi yang adalah seorang Kepala Negara, peran dan jasa Soekarno sebagai perumus genial Pancasila dan kontribusi Kota Ende serta masyarakatnya di masa itu yang memungkinkan Soekarno untuk berpikir dan merenung, sekali lagi mendapat penghormatan dan apresiasi dari negara, katanya pula.
Presiden Joko Widodo blusukan ke rumah warga di malam hari, di Ende, NTT, Selasa (31/5/2022). ANTARA/HO
Di Kota Ende inilah, Soekarno telah berjuang mengumpulkan nilai-nilai utama yang kemudian menjadi Pancasila. Di mana Pancasila adalah sebuah filosofi dan dasar bagi berdirinya bangunan negara ini.
Bahkan menjadi satu kekuatan utama yang melindungi bangsa ini dari perpecahan dan keterbelahan. Itulah poin penting yang saya kira sedang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi dalam kunjungannya di Kota Ende.
"Karena itu saya membaca bahwa kunjungan Presiden ke Ende ini sakral. Bukan hanya sebuah kunjungan biasa. Karena dilakukan di hari Lahirnya Pancasila. Presiden sebagai Kepala Negara ingin agar generasi saat ini memahami bahwa Ende dan Pancasila itu satu," kata pengajar Berita Investigatif dan Jurnalisme Konflik pada FISIP Unwira Kupang ini.
Di Kota Ende-lah kekuatan utama pelindung negara ini dilahirkan oleh Proklamator Soekarno.
Presiden Jokowi sekaligus juga lewat kunjungan ke Ende ini secara resmi mengakui bahwa tanpa permenungan Soekarno di Ende, Pancasila, bisa saja tidak pernah ada atau, jikalau pun ada konsepnya, nilai-nilai fundamental yang terkandung di dalamnya tidak akan sama.
Sebab, Pancasila sebagai sebuah produk pengetahuan, buah refleksi kritis Soekarno, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lokal, relasi-relasi sosial, inspirasi-inspirasi filosofis, sosial dan ekonomi yang Soekarno alami dalam hidupnya selama pembuangan di Ende.
Saat itu, Soekarno sendiri mengalami bagaimana multikulturalisme dan keberagaman itu nyata dan hidup di dalam masyarakat Ende.
Tetapi, semuanya hidup harmonis dan saling mengasihi sebagai sesama manusia. Itulah kekuatan utama yang ditimba Soekarno di Ende. Karena itu, kunjungan Presiden Jokowi ini merupakan sebuah penegasan sekaligus pengakuan bahwa Soekarno dan Ende yaitu masyarakatnya adalah satu.
Soekarno tanpa kontribusi kultural, sosial, dan politik masyarakat Ende di masa itu tidak akan bisa berpikir dan merenung tentang Pancasila secara genial. Dan tentu saja, salah satunya adalah pengaruh persahabatan Soekarno dengan para pastor Eropa di Ende, di masa itu, membuat Soekarno mendapat akses membaca banyak buku tentang bangsa dan kebangsaan, juga bagaimana mendesain sebuah bangsa dan negara yang merdeka dari imperialisme dan kolonialisme.
Sehingga kunjungan Presiden, menurut saya, untuk membangkitkan memoria passionis atau kenangan akan penderitaan yang dialami Soekarno, bahwa di masa itu, saat dibuang dan diasingkan, Sang Founding Fathers tidak menyerah karena sepi dan menderita secara batin, tetapi justru bangkit dan tegar.
Dalam relasinya dengan masyarakat Ende saat itu, dan perjumpaannya dengan para pastor pemikir di Ende di kala itu, Soekarno menemukan inspirasi-inspirasi luar biasa tentang Pancasila yang akhirnya menjadi dasar negara ini.
Asas Ketuhanan
Ende, kota kecil di bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia.
Hampir semua literatur menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah permenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) di kota kecil itu.
Selama masa pembuangan, Soekarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Soekarno yang lain.
"Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini," kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams dalam buku "Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams".
Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.
"Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala," kata Bung Karno dalam buku itu.
"Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan," katanya lagi.
"Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu," demikian Bung Karno.
Cindy Adams menulis bahwa Soekarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.
Soekarno pun berkeluh kesah, "Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik".
Selama masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Aku menaruh perhatian pada kotbah Yesus di atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut," kata Soekarno pula.
"Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku," kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.
Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep "pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan".
Keragaman budaya, ras, dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.
Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman Bung Karno diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.
Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiositas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepankan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.
Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila.
Ende, sebuah kota kecil yang terletak bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila.
Maka, pesan Presiden Jokowi di Hari Lahir Pancasila yang dirayakan di Ende pada 1 Juni 2022 ini, memiliki makna historis, mengenang masa perjuangan Soekarno, juga menjadi pijakan bagi setiap anak bangsa untuk menatap masa depan.
"Inilah tugas kita bersama. Tugas seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bekerja, yang dirasakan kehadirannya dan manfaatnya bagi seluruh tumpah darah," kata Jokowi lagi.
Dari kota bersejarah, tempat Sang Proklamator Bung Karno merenungkan dan merumuskan Pancasila, pada peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2022, Presiden Jokowi menyebut Pancasila bukan hanya mempersatukan masyarakat, melainkan menjadi bintang penuntun ketika bangsa menghadapi ujian. Hal itu telah dibuktikan berkali-kali dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara karena masyarakat berlandaskan Pancasila.
Pada kesempatan itu, Presiden mengingatkan masyarakat harus betul-betul mengamalkan Pancasila dan memperjuangkan untuk mewujudkan sistem masyarakat, kebangsaan, dan kenegaraan.
Presiden pun meminta agar ada implementasi tata kelola pemerintahan yang menjiwai interaksi sesama anak bangsa.
"Inilah tugas kita bersama. Tugas seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bekerja, yang dirasakan kehadirannya dan manfaatnya bagi seluruh tumpah darah," kata Presiden.
Pesan Presiden Jokowi itu saat bertindak sebagai Inspektur Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Lahir Pancasila, di Lapangan Pancasila Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu, 1 Juni 2022.
Legitimasi negara
Pesan Presiden dari Ende, Kota Kelahiran Pancasila bermakna historis bahwa sejarah Kota Ende dan perjuangan Soekarno adalah nilai-nilai vital yang harus terus menjadi imajinasi sekaligus pengetahuan bagi generasi penerus bangsa ini.
Mengapa? Karena sejarah tentang Pancasila adalah sebuah ingatan, memoria, juga sebuah warisan yang diturunkan dan disimpan dalam kesadaran kolektif agar kita tahu saja bahwa ada orang sebelum kita, yang sangat berjasa, yaitu Soekarno saat hidup dalam pembuangan di sebuah kota yaitu Kota Ende, kata akademisi yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori-Teori Kritis di Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona.
Artinya, meskipun selama ini hal itu sudah diakui, tetapi dengan kehadiran Presiden Jokowi yang adalah seorang Kepala Negara, peran dan jasa Soekarno sebagai perumus genial Pancasila dan kontribusi Kota Ende serta masyarakatnya di masa itu yang memungkinkan Soekarno untuk berpikir dan merenung, sekali lagi mendapat penghormatan dan apresiasi dari negara, katanya pula.
Di Kota Ende inilah, Soekarno telah berjuang mengumpulkan nilai-nilai utama yang kemudian menjadi Pancasila. Di mana Pancasila adalah sebuah filosofi dan dasar bagi berdirinya bangunan negara ini.
Bahkan menjadi satu kekuatan utama yang melindungi bangsa ini dari perpecahan dan keterbelahan. Itulah poin penting yang saya kira sedang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi dalam kunjungannya di Kota Ende.
"Karena itu saya membaca bahwa kunjungan Presiden ke Ende ini sakral. Bukan hanya sebuah kunjungan biasa. Karena dilakukan di hari Lahirnya Pancasila. Presiden sebagai Kepala Negara ingin agar generasi saat ini memahami bahwa Ende dan Pancasila itu satu," kata pengajar Berita Investigatif dan Jurnalisme Konflik pada FISIP Unwira Kupang ini.
Di Kota Ende-lah kekuatan utama pelindung negara ini dilahirkan oleh Proklamator Soekarno.
Presiden Jokowi sekaligus juga lewat kunjungan ke Ende ini secara resmi mengakui bahwa tanpa permenungan Soekarno di Ende, Pancasila, bisa saja tidak pernah ada atau, jikalau pun ada konsepnya, nilai-nilai fundamental yang terkandung di dalamnya tidak akan sama.
Sebab, Pancasila sebagai sebuah produk pengetahuan, buah refleksi kritis Soekarno, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lokal, relasi-relasi sosial, inspirasi-inspirasi filosofis, sosial dan ekonomi yang Soekarno alami dalam hidupnya selama pembuangan di Ende.
Saat itu, Soekarno sendiri mengalami bagaimana multikulturalisme dan keberagaman itu nyata dan hidup di dalam masyarakat Ende.
Tetapi, semuanya hidup harmonis dan saling mengasihi sebagai sesama manusia. Itulah kekuatan utama yang ditimba Soekarno di Ende. Karena itu, kunjungan Presiden Jokowi ini merupakan sebuah penegasan sekaligus pengakuan bahwa Soekarno dan Ende yaitu masyarakatnya adalah satu.
Soekarno tanpa kontribusi kultural, sosial, dan politik masyarakat Ende di masa itu tidak akan bisa berpikir dan merenung tentang Pancasila secara genial. Dan tentu saja, salah satunya adalah pengaruh persahabatan Soekarno dengan para pastor Eropa di Ende, di masa itu, membuat Soekarno mendapat akses membaca banyak buku tentang bangsa dan kebangsaan, juga bagaimana mendesain sebuah bangsa dan negara yang merdeka dari imperialisme dan kolonialisme.
Sehingga kunjungan Presiden, menurut saya, untuk membangkitkan memoria passionis atau kenangan akan penderitaan yang dialami Soekarno, bahwa di masa itu, saat dibuang dan diasingkan, Sang Founding Fathers tidak menyerah karena sepi dan menderita secara batin, tetapi justru bangkit dan tegar.
Dalam relasinya dengan masyarakat Ende saat itu, dan perjumpaannya dengan para pastor pemikir di Ende di kala itu, Soekarno menemukan inspirasi-inspirasi luar biasa tentang Pancasila yang akhirnya menjadi dasar negara ini.
Asas Ketuhanan
Ende, kota kecil di bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia.
Hampir semua literatur menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah permenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) di kota kecil itu.
Selama masa pembuangan, Soekarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Soekarno yang lain.
"Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini," kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams dalam buku "Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams".
Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.
"Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala," kata Bung Karno dalam buku itu.
"Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan," katanya lagi.
"Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu," demikian Bung Karno.
Cindy Adams menulis bahwa Soekarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.
Soekarno pun berkeluh kesah, "Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik".
Selama masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Aku menaruh perhatian pada kotbah Yesus di atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut," kata Soekarno pula.
"Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku," kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.
Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep "pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan".
Keragaman budaya, ras, dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.
Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman Bung Karno diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.
Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiositas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepankan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.
Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila.
Ende, sebuah kota kecil yang terletak bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila.
Maka, pesan Presiden Jokowi di Hari Lahir Pancasila yang dirayakan di Ende pada 1 Juni 2022 ini, memiliki makna historis, mengenang masa perjuangan Soekarno, juga menjadi pijakan bagi setiap anak bangsa untuk menatap masa depan.