Painan (ANTARA) - Sepintas bangunannya sama seperti masjid lainnya dan tak terlihat istimewanya. Tampak biasa saja, layaknya masjid lain di daerah itu. Tak banyak yang tahu tentang Masjid Agung Inderapura.
Terletak di jalan poros utama Simpang Inderapura-Muara Sakai atau berjarak sekitar lima kilometer dari jalan lintas Barat Padang-Bengkulu, persisnya di Nagari (desa adat) Inderapura Tengah.
Bagian bawah dinding sebelah luar hanya dibalut keramik biasa berwarna hijau tua, sama seperti gapura gerbang masuknya. Pagarnya pun cuma batangan besi yang dilas dengan bentuk sederhana.
Bagian atasnya berlapis cat warna putih dan lantainya keramik biasa yang juga berwarna putih. Hanya saja pada kubahnya yang sedikit mengonfirmasi usia masjid itu. Bertingkat desain persegi delapan.
Riuh rendah suara canda anak-anak sekitar menjelang shalat Tarawih terdengar ceria, usai seharian berpuasa. Juga tak berbeda dengan masjid lain saat bulan Ramadhan di banyak tempat.
Namun siapa yang pernah menyangka jika Masjid Agung Inderapura merupakan masjid tertua atau masjid pertama yang pernah ada di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
"Pendiri pertamanya adalah Tuanku Marah Muhammad Arifin sekitar 1867. Beliau salah seorang raja Inderapura," ujar Wakil Ketua Masjid Agung Inderapura Amrul di Muara Sakai.
Marah Muhammad Arifin merupakan salah seorang raja Kerajaan Inderapura di masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu Raja Inderapura berubah nama menjadi Regen.
Inderapura adalah kerajaan samudera besar di kawasan Pantai Barat Sumatera yang kaya akan sumber daya alam lada, beras dan emas, dengan pelabuhan paling ramai di masanya.
Raja pertama Inderapura adalah Sultan Gegar Alamsyah. Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan maritim yang terkenal dengan pelabuhan Samudera pura.
Pusat pemerintahannya berada di wilayah muara sungai yang menjurus ke laut dengan muara lebar dan merupakan pertemuan dua buah muara sungai, Muara Sakai dan Muara Bantaian.
Kerjaan Inderapura awalnya bernama Teluk Air Pura didirikan seorang cucu Iskandar Zulkarnain 356 SM-324 SM atau putera dari Pilipeaus seorang penguasa Macedonia pada 382 SM-336 SM.
Kerajaan Teluk Air Pura bertahan hingga abad X Masehi. Usai periode tersebut dua orang kaum bangsawan India-Turki datang ke daerah itu dan mendirikan Kerajaan Indojati pada 800 M-1500 M.
Perkembangan selanjutnya kepemimpinan berganti dengan periode Kesultanan yang dimulai pada 1500 M-1824 M. Selanjutnya pada masa Pemerintahan Hindia Belanda 1824 M-1911 M berganti menjadi Regen.
Amrul melanjutkan awalnya Masjid Agung Inderapura bernama Masjid Palupuh karena dinding dan lantainya terbuat dari anyaman bambu. Ia terletak di komplek pemakaman raja-raja Inderapura atau makam Tandikek.
Posisinya ketika itu cukup jauh dari jalan raya, nyaris satu Kilometer, sehingga sulit bagi jamaah menjangkaunya. Kemudian atas usulan salah seorang pemuka agama, maka lokasinya dipindah ke tempat saat ini.
Pemindahan dilakukan pada masa Regen Marah Muhammad Bakhi Sultan Firman Syah Tuanku Balinduang pada 1881 dan berganti menjadi Masjid Agung.
Masjid Agung Inderapura dibangun di atas lahan seluas 40 Meter x 40 Meter dengan 36 tiang, mewakili jumlah nagari dari Silaut (Kecamatan Siluat)-Siguntur (Kecamatan Koto XI Tarusan).
Sedangkan kubah dengan desain persegi delapan melambangkan delapan penjuru mata angin, mengingat satu-satunya masjid di Pesisir Selatan waktu itu. Di puncak kubah ada gambar ayam sebagai tanda waktu.
Bangunannya waktu itu menjadi lebih kecil, yakni 13 Meter x 15 Meter, dengan 36 tiang dan kubah persegi delapan tiga tingkat.
Menurut Amrul Mara Muhammad Bakhi Sultan Firman Syah Tuanku Balinduang sangat ulet mengurus masjid, bahkan dikenal sebagai sosok yang baik, alim dan pandai memimpin.
Ia mengurus masjid hingga akhir hayatnya. Pada 1890 Sultan Firman Syah mangkat. Estafet kepengurusan dilanjutkan Rusli Sultan Muhammad Syah hanya sampai 1910. Ia mundur karena ada tekanan dari Belanda.
Kepengurusan kemudian diambil alih Sultan Iradat selama 25 tahun hingga 1935. Hanya berselang 15 tahun saja, akhirnya beliau pun menyerahkan pada keponakannya Jasad karena faktor usia dan kesehatan.
Hingga kini eksistensi Masjid Agung Inderapura terus bertahan sebagai pusat pengajaran ilmu agama Islam di Kecamatan Pancung Soal.
Di sana kini terdapat Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Setiap sore ada kegiatan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan pada malam harinya ba’da maghrib masjid ini juga ramai akan anak-anak.
Setiap dua minggu sekali digelar kegiatan Inderapura Mengaji di masjid Agung ini berupa ceramah setiap Sabtu malamnya, remaja maupun orang tua yang belajar mengaji dan kegiatan ta’lim disana.
Akan tetapi kini tidak adalagi pelajaran seni beladiri seperti awal-awal Masjid Agung berdiri. Hal itu dikarenakan putusnya generasi penerus tetua silat setempat seiring perkembangan roda zaman.
Islam di Inderapura
Keberadaan Masjid Agung Inderapura penting bagi syiar agama Islam di Kesultanan Inderapura, karena pada waktu itu perkembangan Islam mulai pesat di Inderapura.
Bahkan menjadi pusat pengembangan agama Islam di Pesisir Selatan. Ketika itu menurut Amrul sebagian besar masyarakat sudah memeluk Islam, meski masih ada beragama Hindu.
Selain sebagai sarana ibadah, sejak mula berdiri Masjid Agung Inderapura memang sudah menjadi tempat belajar agama bagi masyarakat sekitar dan Pesisir Selatan pada umumnya.
Masyarakat dari berbagai nagari ketika itu ramai berdatangan menimba ilmu di Masjid Agung. Pada waktu Jumat jamaahnya mencapai 200 orang, bahkan jadi Rutinitas masyarakat Lunang Saut sholat Ied di sana.
Enda Kurnia dalam Tarikhuna : Journal of History and History Education volume 3 nomor 2 menjelaskan terdapat berbagai pendapat tentang masuknya Islam ke Kerajaan Inderapura.
Pertama berdasarkan tambo tinggi Kerajaan Inderapura yang menyatakan masuknya dan berkembangnya Islam di Sriwijaya yang dibawa Indrayana, anak dari Raja Sriwijaya.
Indrayana melarikan diri ke Indrawati karena ia ketahuan ayahnya menyebarkan agama Islam di Sriwijaya. Kemudian mendirikan kerajaan kecil di Indrajati. Indrayana lalu digantikan anaknya, Sultan Galomatsyah.
Dalam Tambo Alam Kerajaan Inderapura disebutkan Galomatsyah sudah sejak lama berinteraksi dengan Persia dan Jazirah Arab dan pada 656-665 ia diperintahkan pergi ke Mekkah betemu Sayyidina Ali untuk berguru.
Sekembalinya dari Mekkah kemudian Sultan Galomatsyah mengajarkan agama Islam di tengah masyarakat sekitar dan lingkungan Kerajaan Inderapura. Cerita lainnya adalah Islam masuk melalui pedagang.
Sementara Salamon Muller salah seorang Inggris yang pernah mengunjungi Kerajaan Inderapura pada 1838 mengatakan Islam berkembang di sana sejak 1279. Sebumnya Hindu sangat mengakar di Inderapura.
Tambo Alam Kerajaan Inderapura mengakui kuatnya Brahmaisme adalah penghalang utama kehadiran Islam di kerajaan itu. Perkembangan Islam masih pada kawasan pantai Timur Sumatera.
Perkembangan Islam di Kerajaan Inderapura semakin pesat ketika ia berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Drussalam yang dipimpin Sultan Al Riajatsjah al-Qahar pada 1337-1368. Ia menaklukan pantai Barat untuk mencapai Inderapura.
Jadi, proses Islamisasi dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama melalui peran para pedagang yang ikut memperkenalkan Islam pada masyarakat dan kalangan Kerajaan Inderapura.
Kedua, masuknya Islam ke Kerajaan Inderapura melalui kerjasama pedagang dan misionaris profesional (sufi). Ketika para pedagang memasuki pedalaman di Inderapura, banyak orang yang tertarik dengan Islam.
Dapat dikatakan pedagang dan para sufi mengajar Islam pada masyarakat secara intensif. Ketiga, tahap ekspansi Islam lewat kekuatan politik dan perdagangan.
Kolaborasi itu mempengaruhi proses Islamisasi dan dicapai secara damai karena campur tangan Raja sehingga mendorong rakyatnya dan kerajaan lain di bawah otoritasnya terlibat dalam proses Islamisasi.
Terletak di jalan poros utama Simpang Inderapura-Muara Sakai atau berjarak sekitar lima kilometer dari jalan lintas Barat Padang-Bengkulu, persisnya di Nagari (desa adat) Inderapura Tengah.
Bagian bawah dinding sebelah luar hanya dibalut keramik biasa berwarna hijau tua, sama seperti gapura gerbang masuknya. Pagarnya pun cuma batangan besi yang dilas dengan bentuk sederhana.
Bagian atasnya berlapis cat warna putih dan lantainya keramik biasa yang juga berwarna putih. Hanya saja pada kubahnya yang sedikit mengonfirmasi usia masjid itu. Bertingkat desain persegi delapan.
Riuh rendah suara canda anak-anak sekitar menjelang shalat Tarawih terdengar ceria, usai seharian berpuasa. Juga tak berbeda dengan masjid lain saat bulan Ramadhan di banyak tempat.
Namun siapa yang pernah menyangka jika Masjid Agung Inderapura merupakan masjid tertua atau masjid pertama yang pernah ada di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
"Pendiri pertamanya adalah Tuanku Marah Muhammad Arifin sekitar 1867. Beliau salah seorang raja Inderapura," ujar Wakil Ketua Masjid Agung Inderapura Amrul di Muara Sakai.
Marah Muhammad Arifin merupakan salah seorang raja Kerajaan Inderapura di masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu Raja Inderapura berubah nama menjadi Regen.
Inderapura adalah kerajaan samudera besar di kawasan Pantai Barat Sumatera yang kaya akan sumber daya alam lada, beras dan emas, dengan pelabuhan paling ramai di masanya.
Raja pertama Inderapura adalah Sultan Gegar Alamsyah. Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan maritim yang terkenal dengan pelabuhan Samudera pura.
Pusat pemerintahannya berada di wilayah muara sungai yang menjurus ke laut dengan muara lebar dan merupakan pertemuan dua buah muara sungai, Muara Sakai dan Muara Bantaian.
Kerjaan Inderapura awalnya bernama Teluk Air Pura didirikan seorang cucu Iskandar Zulkarnain 356 SM-324 SM atau putera dari Pilipeaus seorang penguasa Macedonia pada 382 SM-336 SM.
Kerajaan Teluk Air Pura bertahan hingga abad X Masehi. Usai periode tersebut dua orang kaum bangsawan India-Turki datang ke daerah itu dan mendirikan Kerajaan Indojati pada 800 M-1500 M.
Perkembangan selanjutnya kepemimpinan berganti dengan periode Kesultanan yang dimulai pada 1500 M-1824 M. Selanjutnya pada masa Pemerintahan Hindia Belanda 1824 M-1911 M berganti menjadi Regen.
Amrul melanjutkan awalnya Masjid Agung Inderapura bernama Masjid Palupuh karena dinding dan lantainya terbuat dari anyaman bambu. Ia terletak di komplek pemakaman raja-raja Inderapura atau makam Tandikek.
Posisinya ketika itu cukup jauh dari jalan raya, nyaris satu Kilometer, sehingga sulit bagi jamaah menjangkaunya. Kemudian atas usulan salah seorang pemuka agama, maka lokasinya dipindah ke tempat saat ini.
Pemindahan dilakukan pada masa Regen Marah Muhammad Bakhi Sultan Firman Syah Tuanku Balinduang pada 1881 dan berganti menjadi Masjid Agung.
Masjid Agung Inderapura dibangun di atas lahan seluas 40 Meter x 40 Meter dengan 36 tiang, mewakili jumlah nagari dari Silaut (Kecamatan Siluat)-Siguntur (Kecamatan Koto XI Tarusan).
Sedangkan kubah dengan desain persegi delapan melambangkan delapan penjuru mata angin, mengingat satu-satunya masjid di Pesisir Selatan waktu itu. Di puncak kubah ada gambar ayam sebagai tanda waktu.
Bangunannya waktu itu menjadi lebih kecil, yakni 13 Meter x 15 Meter, dengan 36 tiang dan kubah persegi delapan tiga tingkat.
Menurut Amrul Mara Muhammad Bakhi Sultan Firman Syah Tuanku Balinduang sangat ulet mengurus masjid, bahkan dikenal sebagai sosok yang baik, alim dan pandai memimpin.
Ia mengurus masjid hingga akhir hayatnya. Pada 1890 Sultan Firman Syah mangkat. Estafet kepengurusan dilanjutkan Rusli Sultan Muhammad Syah hanya sampai 1910. Ia mundur karena ada tekanan dari Belanda.
Kepengurusan kemudian diambil alih Sultan Iradat selama 25 tahun hingga 1935. Hanya berselang 15 tahun saja, akhirnya beliau pun menyerahkan pada keponakannya Jasad karena faktor usia dan kesehatan.
Hingga kini eksistensi Masjid Agung Inderapura terus bertahan sebagai pusat pengajaran ilmu agama Islam di Kecamatan Pancung Soal.
Di sana kini terdapat Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Setiap sore ada kegiatan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan pada malam harinya ba’da maghrib masjid ini juga ramai akan anak-anak.
Setiap dua minggu sekali digelar kegiatan Inderapura Mengaji di masjid Agung ini berupa ceramah setiap Sabtu malamnya, remaja maupun orang tua yang belajar mengaji dan kegiatan ta’lim disana.
Akan tetapi kini tidak adalagi pelajaran seni beladiri seperti awal-awal Masjid Agung berdiri. Hal itu dikarenakan putusnya generasi penerus tetua silat setempat seiring perkembangan roda zaman.
Islam di Inderapura
Keberadaan Masjid Agung Inderapura penting bagi syiar agama Islam di Kesultanan Inderapura, karena pada waktu itu perkembangan Islam mulai pesat di Inderapura.
Bahkan menjadi pusat pengembangan agama Islam di Pesisir Selatan. Ketika itu menurut Amrul sebagian besar masyarakat sudah memeluk Islam, meski masih ada beragama Hindu.
Selain sebagai sarana ibadah, sejak mula berdiri Masjid Agung Inderapura memang sudah menjadi tempat belajar agama bagi masyarakat sekitar dan Pesisir Selatan pada umumnya.
Masyarakat dari berbagai nagari ketika itu ramai berdatangan menimba ilmu di Masjid Agung. Pada waktu Jumat jamaahnya mencapai 200 orang, bahkan jadi Rutinitas masyarakat Lunang Saut sholat Ied di sana.
Enda Kurnia dalam Tarikhuna : Journal of History and History Education volume 3 nomor 2 menjelaskan terdapat berbagai pendapat tentang masuknya Islam ke Kerajaan Inderapura.
Pertama berdasarkan tambo tinggi Kerajaan Inderapura yang menyatakan masuknya dan berkembangnya Islam di Sriwijaya yang dibawa Indrayana, anak dari Raja Sriwijaya.
Indrayana melarikan diri ke Indrawati karena ia ketahuan ayahnya menyebarkan agama Islam di Sriwijaya. Kemudian mendirikan kerajaan kecil di Indrajati. Indrayana lalu digantikan anaknya, Sultan Galomatsyah.
Dalam Tambo Alam Kerajaan Inderapura disebutkan Galomatsyah sudah sejak lama berinteraksi dengan Persia dan Jazirah Arab dan pada 656-665 ia diperintahkan pergi ke Mekkah betemu Sayyidina Ali untuk berguru.
Sekembalinya dari Mekkah kemudian Sultan Galomatsyah mengajarkan agama Islam di tengah masyarakat sekitar dan lingkungan Kerajaan Inderapura. Cerita lainnya adalah Islam masuk melalui pedagang.
Sementara Salamon Muller salah seorang Inggris yang pernah mengunjungi Kerajaan Inderapura pada 1838 mengatakan Islam berkembang di sana sejak 1279. Sebumnya Hindu sangat mengakar di Inderapura.
Tambo Alam Kerajaan Inderapura mengakui kuatnya Brahmaisme adalah penghalang utama kehadiran Islam di kerajaan itu. Perkembangan Islam masih pada kawasan pantai Timur Sumatera.
Perkembangan Islam di Kerajaan Inderapura semakin pesat ketika ia berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Drussalam yang dipimpin Sultan Al Riajatsjah al-Qahar pada 1337-1368. Ia menaklukan pantai Barat untuk mencapai Inderapura.
Jadi, proses Islamisasi dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama melalui peran para pedagang yang ikut memperkenalkan Islam pada masyarakat dan kalangan Kerajaan Inderapura.
Kedua, masuknya Islam ke Kerajaan Inderapura melalui kerjasama pedagang dan misionaris profesional (sufi). Ketika para pedagang memasuki pedalaman di Inderapura, banyak orang yang tertarik dengan Islam.
Dapat dikatakan pedagang dan para sufi mengajar Islam pada masyarakat secara intensif. Ketiga, tahap ekspansi Islam lewat kekuatan politik dan perdagangan.
Kolaborasi itu mempengaruhi proses Islamisasi dan dicapai secara damai karena campur tangan Raja sehingga mendorong rakyatnya dan kerajaan lain di bawah otoritasnya terlibat dalam proses Islamisasi.