Lubuk Basung (ANTARA) - Rozi Rahmat (40) warga Simpang Ampek Tapi, Nagari Lubukbasung, Kecamatan Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat menemukan tikus langka dan unik jenis bulan atau Echinosorex gymnura di depan warung miliknya, Minggu (31/10) sekitar pukul 23.00 WIB.
"Saya melihat satwa langka yang lagi asik bermain sembari mencari makan di halaman depan warung dan langsung saya tangkap menggunakan alat menangkap ikan," katanya di Lubukbasung, Selasa.
Tikus itu langsung dimasukkan ke dalam kandang.
Satwa itu menjadi tontonan bagi warga sekitar, mengingat mereka sebelumnya belum pernah melihat tikus tersebut yang sekilas menyerupai babi dan bulu pada badan bagian atas seperti landak.
"Satwa tersebut termasuk langka dan unik, karena dicari tau melalui halaman pencarian Google, saya bersama teman atas nama April Yunus (34), tidak menemukan," katanya.
Mengingat itu salah satu satwa langka, ia langsung menghubungi petugas Resor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Agam.
Satwa itu langsung diserahkan ke petugas Resor KSDA Agam untuk dilepasliarkan kembali ke alam.
Sementara itu, Kepala Resor KSDA Agam, Ade Putra menambahkan tikus bulan ini sedang diobsevasi dan diidentifikasi ke kantor Resor KSDA Agam.
Dari hasil identifikasi, tikus itu jenis bulan, berkelamin jantan, berukuran besar dengan panjang tubuh hingga kepala mencapai 32-40 centimeter, panjang ekor 20-30 centimeter dan berat sekitar dua kilogram.
"Tikus bulan itu bakal kita lepasliar ke alam dalam waktu dekat," katanya.
Ia menambahkan, bulu tubuhnya didominasi bulu berwarna putih atau abu-abu keputihan dengan beberapa bulu berwarna hitam yang tumbuh menyebar. Terkadang juga memiliki bulu hitam yang lebih banyak (rapat) di bagian tubuhnya.
Selain ukuran tubuhnya yang ‘meraksasa’ dan warna bulunya, ciri khas lainnya dari tikus bulan adalah bau tubuhnya yang tajam dan khas. Baunya seperti bau kandungan amonia yang tinggi.
Bau itu digunakan untuk memperingati tikus bulan lain dan menjauhkan mereka dari predator dan bau ini juga digunakan untuk menandai wilayah kekuasaan mereka.
Moncongnya panjang dan kerap mengeluarkan air liur. Dari ciri terakhir ini sering kali tikus bulan dianggap sebagai ‘selenodon’, tikus primitif yang hidup di Eropa dan Kuba.
Tikus bulan merupakan hewan nokturnal yang hidup secara soliter dan biasa menandai wilayahnya dengan sekresi berbau menusuk dan tajam seperti bau amonia.
Tinggal dalam sarang dalam liang, akar, dan kayu. Tikus bulan memakan invertebrata seperti cacing tanah, serangga, lipan, kalajengking, kaki seribu, kepiting, dan moluska. Juga memakan katak dan ikan kecil serta buah.
"Berkembang biak sepanjang tahun dengan masa kehamilan antara 30-40 hari," katanya.
Daerah sebarannya meliputi Semenanjung Malaya (Malaysia, Thailand, dan Myanmar), Sumatera, dan Kalimantan (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam).
Habitatnya adalah hutan primer dan sekunder pada dataran rendah, hutan bakau, hingga perkebunan, terutama di daerah yang agak basah.
Tikus bulan bisa hidup di hutan hujan, dataran rendah, rawa mangrove, hingga perkebunan.
Namun, satwa itu suka dengan tempat yang lembap. Karena itu, di mana pun mereka tinggal, mereka akan membuat rumah di dekat sungai atau rawa.
Jumlah populasi secara global tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan masih cukup umum. Oleh IUCN Red List dikategorikan dalam status konservasi Least Concern. ***2***
"Saya melihat satwa langka yang lagi asik bermain sembari mencari makan di halaman depan warung dan langsung saya tangkap menggunakan alat menangkap ikan," katanya di Lubukbasung, Selasa.
Tikus itu langsung dimasukkan ke dalam kandang.
Satwa itu menjadi tontonan bagi warga sekitar, mengingat mereka sebelumnya belum pernah melihat tikus tersebut yang sekilas menyerupai babi dan bulu pada badan bagian atas seperti landak.
"Satwa tersebut termasuk langka dan unik, karena dicari tau melalui halaman pencarian Google, saya bersama teman atas nama April Yunus (34), tidak menemukan," katanya.
Mengingat itu salah satu satwa langka, ia langsung menghubungi petugas Resor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Agam.
Satwa itu langsung diserahkan ke petugas Resor KSDA Agam untuk dilepasliarkan kembali ke alam.
Sementara itu, Kepala Resor KSDA Agam, Ade Putra menambahkan tikus bulan ini sedang diobsevasi dan diidentifikasi ke kantor Resor KSDA Agam.
Dari hasil identifikasi, tikus itu jenis bulan, berkelamin jantan, berukuran besar dengan panjang tubuh hingga kepala mencapai 32-40 centimeter, panjang ekor 20-30 centimeter dan berat sekitar dua kilogram.
"Tikus bulan itu bakal kita lepasliar ke alam dalam waktu dekat," katanya.
Ia menambahkan, bulu tubuhnya didominasi bulu berwarna putih atau abu-abu keputihan dengan beberapa bulu berwarna hitam yang tumbuh menyebar. Terkadang juga memiliki bulu hitam yang lebih banyak (rapat) di bagian tubuhnya.
Selain ukuran tubuhnya yang ‘meraksasa’ dan warna bulunya, ciri khas lainnya dari tikus bulan adalah bau tubuhnya yang tajam dan khas. Baunya seperti bau kandungan amonia yang tinggi.
Bau itu digunakan untuk memperingati tikus bulan lain dan menjauhkan mereka dari predator dan bau ini juga digunakan untuk menandai wilayah kekuasaan mereka.
Moncongnya panjang dan kerap mengeluarkan air liur. Dari ciri terakhir ini sering kali tikus bulan dianggap sebagai ‘selenodon’, tikus primitif yang hidup di Eropa dan Kuba.
Tikus bulan merupakan hewan nokturnal yang hidup secara soliter dan biasa menandai wilayahnya dengan sekresi berbau menusuk dan tajam seperti bau amonia.
Tinggal dalam sarang dalam liang, akar, dan kayu. Tikus bulan memakan invertebrata seperti cacing tanah, serangga, lipan, kalajengking, kaki seribu, kepiting, dan moluska. Juga memakan katak dan ikan kecil serta buah.
"Berkembang biak sepanjang tahun dengan masa kehamilan antara 30-40 hari," katanya.
Daerah sebarannya meliputi Semenanjung Malaya (Malaysia, Thailand, dan Myanmar), Sumatera, dan Kalimantan (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam).
Habitatnya adalah hutan primer dan sekunder pada dataran rendah, hutan bakau, hingga perkebunan, terutama di daerah yang agak basah.
Tikus bulan bisa hidup di hutan hujan, dataran rendah, rawa mangrove, hingga perkebunan.
Namun, satwa itu suka dengan tempat yang lembap. Karena itu, di mana pun mereka tinggal, mereka akan membuat rumah di dekat sungai atau rawa.
Jumlah populasi secara global tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan masih cukup umum. Oleh IUCN Red List dikategorikan dalam status konservasi Least Concern. ***2***